HomeUncategorizedInteraksi Jurnalis dan Media Sosial

Interaksi Jurnalis dan Media Sosial


“ANGGAP saja konten media sosial itu sebagai data.  Bukan informasi.  Data didapat dari mana saja. Bisa benar atau salah.  Untuk menjadi informasi harus diolah.  Apalagi kalau informasi yang untuk dimuat  oleh media massa.  Wajib diverifikasi.”  Rikard Bagun menyampaikan hal ini dalam Diskusi Peluncuran Hasil “Survei Penggunaan Konten Media Sosial Oleh Jurnalis, Jumat (17/2/2012) lalu.

Rikard Bagun adalah pemimpin redaksi harian Kompas. Ia menjadi pembicara bersama-sama dengan presenter Metro TV Najwa Shihab, Direktur Nielsen Media Research Indonesia, Irawati Pratignyo, dan Direktur Pengelola InMark Digital, Ventura Elisawati.  Saya bersama Juni Soehardjo mempresentasikan hasil survey yang diadakan Dewan Pers dalam kurun waktu 29 November 2011-3 Februari 2012.

Najwa Shihab membagi pengalaman pribadinya memanfaatkan konten media sosial (atau jejaring sosial terutama Facebook dan Twitter) dalam proses pencarian ide bagi acara bincang-bincang yang dikelolanya, Mata Najwa.  Dia menjadi presenter sekaligus produsernya.  Dari segi ide, usulan nara sumber, sudut pandang wawancara, tanggapan dari pemirsa yang terjadi secara real-time dilakukan memanfaatkan akun media sosial program maupun akun personal.

Tak terkecuali dalam mencari narasumber yang sulit dikontak.  “Dalam episode mengenai pilot yang konsumsi narkoba, kami sempat kesulitan mencari siapa yang bersedia jadi narasumber. Semua tutup mulut.  Kami lalu melakukan riset narasumber melalui akun media sosial, dengan kata kunci tertentu.  Dapat. Media sosial sangat membantu kerja saya,” ungkap Najwa Shihab.

Kian pentingnya sumber informasi lain bagi media tradisional termasuk televisi juga terasa dalam peliputan bencana.  Informasi yang dikumpulkan dan diproduksi tim redaksi disandingkan dengan data dari akun semacam @jalinmerapi untuk ditayangkan ke pemirsa.  Kami di ANTV pun melakukan hal yang sama.  Memanfaatkan akun yang dikelola penggiat bantuan bencana sebagai data tambahan, baik menyangkut kebutuhan bantuan maupun kondisi korban dan pengungsian.

Pada prinsipnya menurut saya, warga (termasuk jurnalis warga) dapat membantu melengkapi peliputan bencana.  Kuncinya kembali sebagaimana sikap yang disampaikan pemimpin redaksi Kompas di atas.  Media dan jurnalis wajib melakukan verifikasi.

Ventura Elisawati mengangkat sejumlah isu, misalnya soal bagaimana etika bagi jurnalis yang melakukan live-tweet saat melakukan peliputan, atau memuat hasil liputannya di akun media sosial termasuk blog, padahal belum tayang/terbit di medianya?  Etiskah itu? Sejauh mana jurnalis bisa membagi info peliputan kepada publik sebelum informasi itu tayang/terbit. Mengenai hal ini saya tertarik menuliskannya di lain kesempatan.

Diskusi di Dewan Pers menjadi menarik karena respon dari yang hadir termasuk rekan-rekan yang mengelola media digital di sejumlah harian dan majalah.  Pertanyaan besar muncul menyangkut maraknya media digital.  Soal penegakan etika sudah dijawab Dewan Pers dengan menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Siber yang diresmikan pada 3 Februari 2012.  Bagaimana dengan model bisnisnya?  Apakah masuk ke bisnis media digital semata karena ikut-ikutan? Supaya nampak sebagai perusahaan modern?

Menarik mendengarkan ucapan Rikard Bagun.  “Kompas kini punya 12 derivatif, program turunan dalam bentuk digital.  Tapi kami sering bertanya juga apa memang konsumen memerlukan itu semua?”  Pertanyaan ini mewakili sejumlah perasaan yang hadir.  Menurut saya model bisnis dari media digital bukan cuma problem Indonesia.  Bahkan di AS, Eropa dan Australia pun masalah ini terus dibahas.

Irawati Pratignyo mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan menyampaikan optimisme pengembangan media digital di Indonesia. Data Nielsen menunjukkan pengembangan dan konsumsi media digital di Indonesia terus meningkat, meski masih kalah dibandingkan dengan media tradisional seperti televisi dan radio.  Tetapi sudah mengalahkan koran harian, majalah, sinema dan media luar-ruang.

Data ini menunjukkan bagaimana pola konsumsi media.  Tahun 2011, TV masih tercatat sebagai sumber utama konsumen media, dengan angka 95 persen disusul radio 27 persen, koran harian 13 persen, majalah 7 persen, sinema 5 persen,  media luar-ruang 13 persen.  Khusus untuk konsumsi media siber (online), Nielsen mencatat angka 24 persen untuk konsumsi media via internet dan 60 persen via telpon seluler.

Trennya meningkat, seiring dengan meningkatnya penetrasi internet dan penggunaan telpon seluler yang menjadi dua kali lipat dalam lima tahun ini. Bahkan dalam hal waktu yang disediakan oleh responden Nielsen untuk konsumsi media, TV tercatat 20,3 jam per minggu, sementara internet 14 jam per minggu rata-rata.

Tren mengkonsumsi media di era digital ini jelas mempengaruhi bagaimana media memproduksi konten, dengan melibatkan produser lain yang konsumen media itu sendiri.  Interaktifitas menjadi kata kunci, dan itulah sebenarnya salah satu alasan dibalik penyelenggaraaan Survei Penggunaan Konten Media Sosial Oleh Jurnalis yang dilakukan Dewan Pers.

Isu lain yang mengemuka saat perumusan survei adalah dengan berbagai jejaring sosial dan media sosial yang berfungsi sebagai penyedia informasi bagi warga masyarakat, dimanakah letak dan peran jurnalis dalam dunia baru ini? Apakah mereka akan menggunakan jejaring sosial dan media sosial sebagai sumber informasi? Apakah jejaring sosial dan media sosial dapat dipercaya (credible) dan karenanya layak menjadi sumber informasi? Bagaimana dengan prosedur standar memperlakukan berita yang didapat dari jejaring sosial dan media sosial?

Pertanyaan lainnya pada saat yang sama adalah apakah jurnalis akan menggunakan jejaring sosial dan media sosial untuk menyebarluaskan informasi yang mereka olah? Bagaimana dengan kode etik jurnalistik yang mengikat mereka? Penggunaan jejaring sosial dan media sosial memberikan jurnalis suatu platform baru dalam memasarkan media mereka berikut tulisan mereka. Apabila mereka memiliki follower atau pengikut dalam akun Twitter yang cukup banyak, maka tidak tertutup kemungkinan mereka membentuk komunitas pembacanya sendiri dan ini tentu akan menguntungkan dari segi komersial maupun non-komersial.

Survei ini menjaring 157 responden jurnalis, yang tersebar di 21 kota, mulai dari Nangroe Aceh Darussalam sampai Maluku.  Proporsi terbesar tetap di DKI Jakarta, yakni 70 orang (45 persen responden).  Responden laki-laki lebih banyak yakni 133 (85 persen), sisanya perempuan. Lebih lengkap mengenai temuan awal hasil survei dapat diakses di http://www.dewanpers.or.id/kegiatan/berita/926-survei-penggunaan-konten-di-media-sosial-oleh-jurnalis.

Sebanyak 151 responden atau 96 persen mengaku memiliki akun Facebook, dan 67 persen akun Twitter.  Facebook juga masih menjadi pilihan teratas bagi responden untuk mencari sumber berita (58 persen), sedangkan Twitter di posisi kedua (46 persen).  Menjawab pertanyaan seberapa sering responden memanfaatkan konten Facebook dan Twitter sebagai bahan berita, 54 persen responden menyatakan mereka memanfaatkan media sosial tersebut kurang dari dua kali sehari, artinya cukup selektif.  Sekitar 20 persen menyatakan mereka memanfaatkan media sosial terutama Facebook dan Twitter dua sampai lima kali sehari sebagai bahan berita.

Ada 22 persen responden yang menjawab bahwa mereka menggunakan percakapan di kedua media sosial itu lebih dari lima kali sehari.  Dalam diskusi terungkap bahwa responden lebih mempercayai Facebook karena sifat hubungan antar pengguna yang relatif tertutup, ada unsur kedekatan, dan Facebook memang lebih dulu popular ketimbang Twitter.

Lantas, apa manfaat media sosial bagi responden?  76 persen menggunakannya sebagai sarana memantau informasi, 46 persen sebagai sumber ide berita, 36 persen sebagai sarana monitoring/evaluasi, 31 persen sebagai sumber mencari sumber, 24 persen sebagai bahan berita dan 16 persen sebagai sarana verifikasi.  Lantas bagaimana partisipasi responden dalam menciptakan konten bagi media sosial?  Jawaban  diperoleh dari pertanyaan mengenai pesan apa yang biasanya disampaikan melalui akun media sosial responden?

Sebanyak 41 persen responden menginformasikan mengenai kegiatan kerja yang tengah dilakukan.  Ada 40 persen responden  menginformasikan mengenai berita menarik di organisasi media di mana mereka bekerja.  Media sosial berfungsi menjadi sarana meluaskan basis konsumen berita yang diproduksi organisasi media/jurnalis. Sebanyak 32 persen responden menggunakan akun media sosialnya untuk ekspresi personal atau perasaan (termasuk galau?), hanya 11 persen yang menggunakan akun media sosialnya sebagai sarana melakukan kritik sosial atas kebijakan public/komentar berita/peristiwa.

Yang membesarkan hati adalah bagaimana sikap responden terhadap konten media sosial.  Sebanyak 75 persen melakukan verifikasi ulang atas informasi di media sosial yang akan dijadikan bahan berita.  Verifikasi sebagian dari informasi dilakukan oleh 14 persen responden, dan 8 persen melakukan verifikasi hanya pada yang berpotensi merugikan narasumber. Tingginya tingkat kepatuhan akan disiplin verifikasi ini menjawab kritikan banyak pihak bahwa jurnalis di era digital cenderung untuk mengutip begitu saja konten di media sosial sebagai bahan berita tanpa mengecek ulang.

Akurasi dari produk jurnalistik tentu saja menjadikan media/jurnalis masih menjadi rujukan informasi terpercaya bagi publik.  Menurut saya, hasil ini juga tercermin pada survei yang dilakukan Edelman Trust yang menunjukkan media di Indonesia menjadi institusi publik paling dipercaya responden, mencapai 80%, lebih besar dari rata-rata regional. Beritanya ada di sini: http://nasional.vivanews.com/news/read/285957-kepercayaan-terhadap-media-di-ri-tertinggi.

Hasil survei penggunaan konten media sosial oleh jurnalis ini makin menguatkan kesimpulan bahwa media dan jurnalisnya tak bisa menafikan kehadiran medium baru yang hadir karena perkembangan teknologi komunikasi.  Najwa Shihab mengutip Larry King mantan presenter Larry King Live di CNN yang mengaku tidak suka media sosial dan masih menyatakan dunia berubah, mendengarkan publik sama pentingnya dengan telling the story atau menyampaikan berita.

Jurnalis harus menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman.  Rikard Bagun mengingatkan bahwa zaman batu berakhir bukan karena kita kehabisan batu, melainkan karena datangnya teknologi.  Penguasaan teknologi menjadi bagian dari elemen ketrampilan dasar bagi setiap jurnalis sebagaimana diatur dalam Standar Kompetensi Wartawan yang tengah dilakukan berbagai lembaga merujuk pada keputusan Dewan Pers.

Di tingkat global kecenderungan penggunaan konten media sosial oleh jurnalis pun meningkat.  Sebuah survei yang digelar oleh Digital Journalism Study dan dipublikasikan oleh Oriella PR untuk keempat kalinya Mei tahun lalu menemukan bahwa 47 persen dar 478 jurnalis responden di 15 negara menggunakan Twitter sebagai sumber berita. Penggunaan konten Facebook untuk tujuan yang sama meningkat menjadi 35 persen dari 25 persen tahun sebelumnya.

Hanya sekitar 20 persen jurnalis responden menjadikan materi siaran pers sebagai bahan berita. “Kalau kami di Kompas, siaran pers apalagi mengenai rencana acara biasanya masuk kotak sampah.  Bisa saja acaranya batal.  Kami menunggu sampai acara berlangsung dan melihat nilai beritanya,” ujar Rikard Bagun.

Kecenderungan jurnalis menggunakan konten media sosial, baik dalam survei Dewan Pers maupun di tingkat global tentu menjadi pemikiran bagi kalangan praktisi komunikasi dan kehumasan.  Apakah masih efektif menggunakan cara tradisional seperti konperensi pers dan mengirim siaran pers  agar dapat tempat di media?

Tahun 2012 akan menjadi ajang pembuktikan kian pentingnya konten media sosial bagi jurnalis.  Burt Herman, pendiri dari HacksHackers dan situs Storify mengatakan bahwa News2012 adalah #OccupyTheNews. Hestek ini terinsipirasi dari gerakan #OccupyWallStreet yang menular keberbagai tempat. “Journalism will be more collaborative, embracing the fundamental social nature of the Internet, “ kata Herman, sebagaimana dikutip Nieman Media Lab.

“The story will be shaped by people involved in the news, curated by savvy editors from diverse sources and circulated back again to the audience. This is the new real-time news cycle,” kata Herman. Dia bahkan memprediksi, hadiah Pulitzer, penghargaan paling bergengsi dalam jurnalisme di AS, menyangkut kecepatan berita (Breaking News, Scoop), akan dinilai dari siapa yang paling dulu menyampaikan berita ke publik.  Itu bisa ditelusuri melalui akun media sosial media yang bersangkutan tentunya.

Apa yang terjadi dalam gerakan Occupy Wall Street adalah contoh bagaimana penggiat media sosial melengkapi berita media tradisional saat aparat menghalangi peliputan oleh jurnalis professional.  Aliran informasi, gambar, dan video yang masuk ke ruang redaksi, dengan bantuan verifikasi dari editor yang ada di mana saja, orang-orang yang bisa memberikan dukungan atau bahkan bantahan atas setiap informasi yang muncul dari warga.  Menurut Herman, jurnalisme 2012 adalah decentralized, real-time, collaborative, and curated future.

Bagaimana menurut Anda?###

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Berkicau tentang Mbak Whitney
Next post
MENYAMBUT KICAUAN PRESIDEN

2 Comments

  1. February 21, 2012 at 5:23 pm — Reply

    banyak juga jurnalis yang mengutif pernyataan dari tokoh di social media.. Tifatul sering seklai tweetnya di quote. Diluar pernah ada yang interview via twitter antara narasumber dan wartawan.

  2. February 21, 2012 at 5:23 pm — Reply

    banyak juga jurnalis yang mengutif pernyataan dari tokoh di social media.. Tifatul sering seklai tweetnya di quote. Diluar pernah ada yang interview via twitter antara narasumber dan wartawan.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *