HomeUncategorizedRUU Pilkada, Catatan dari Diskusi Dewan Pers

RUU Pilkada, Catatan dari Diskusi Dewan Pers

Diskusi RUU Pilkada di DP 1

Diskusi RUU Pilkada di DP 2
Bagaimana seharusnya pers bersikap jika ada perbedaan pendapat diantara wakil rakyat terkait pembahasan sebuah Undang-Undang?

Pertanyaan ini menjadi salah satu yang mendorong Dewan Pers menggelar diskusi bertajuk “Suara Pers dan Insan Pers Terhadap Rencana Perubahan RUU Pemilihan Kepala Daerah”. Diskusi diadakan Jumat (19 September 2014), di ruang pertemuan Dewan Pers. Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan membuka diskusi dengan melontarkan pertanyaan di atas. Dewan Pers yang memiliki komisi kajian hukum dan perundang-undangan, menganggap debat di beragam forum mengenai topik hangat ini perlu dibahas dari sudut pandang peran media. Selain Prof Bagir Manan, diskusi juga menghadirkan DR Daniel Dhakidae dan Budiarto Shambazy, wartawan senior harian Kompas.
Prof Bagir menceritakan keterlibatannya dalam penyusunan pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen. Pada ayat (4) Pasal ini tertulis, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”

 

“Kami berdebat cukup panjang soal penafsiran Pasal 18 (4), apakah kalimat dipilih secara demokratis di situ artinya dipilih secara langsung? Ataukah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat?” kata Prof Bagir. Pada akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tim perumus amandemen UUD 1945 ini memutuskan untuk menyerahkan implementasi dari kalimat itu ke perkembangan jaman. “Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung atau lewat DPRD itu sama demokratisnya. Biarkah situasi dan proses politik ke depan yang memutuskan,” lanjut Prof Bagir.

 

Pada tahun 2004, Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 24 ayat (5) UU tersebut mengatur bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh (Gubernur, Bupati dan Walikota), dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

 

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dianggap sesuai dengan semangat reformasi. Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpinnya. “Pemilihan langsung juga menjadi ajang pendidikan politik dan peradaban bagi rakyat,” kata Prof Bagir. Ekses yang muncul dan kemudian menjadi perdebatan dan amunisi bagi yang ingin mengubah menjadi Pemilukada oleh DPRD antaralain, mahalnya ongkos Pemilukada karena praktik politik uang.

Penyelenggaraan Pemilukada langsung juga dikritik karena boros dana dan energi. Sedikitnya lima sampai 10 Pemilukada tingkat II digelar setiap bulan. Ada 505 kabupaten kota dan 34 propinsi di seluruh Indonesia. Di Bulukuma, Sulawesi Selatan, misalnya, pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah mengajukan anggaran senilai Rp 18 Milyar untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Bupati (http://www.rumahpemilu.org/in/read/6996/Biaya-Pilkada-Per-Kabupaten-Capai-Belasan-Miliar).

Masalahnya, ongkos Pilkada yang mahal ini karena calon yang disodorkan oleh partai politik ke rakyat adalah calon yang memenuhi aspirasi elit parpol, bukan calon yang dikehendaki rakyat pemilih.  Akibatnya, calon yang tidak merakyat ini harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenangi pemilu. Popularity dan likeability sudah menjamin sebagian dari electability.
Menurut catatan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dimuat dalam Koran SINDO, 21 Januari 2012, sejak 2008 hingga Desember 2011 ada 440 pilkada. Dari jumlah total itu terdapat 392 pilkada yang disengketakan di MK dan dari jumlah tersebut hanya 45 perkara yang permohonannya dikabulkan, tidak sampai 15 persen. (http://dewandaerah.wordpress.com/2012/08/20/sengketa-pilkada-dan-kedewasaan-berdemokrasi).
MK menyampaikan data ini dalam pertemuan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Daerah. Data Permasalahan itu bisa terkait kecurangan,money politics,dan perasaan kecewa dari pasangan yang kalah yang tidak mau menerima kemenangan lawannya sehingga mengajukan uji materi di MK. Untuk itu, DPD RI bersama MK akan merumuskan langkah-langkah koordinasi dan kerja sama dalam mengantisipasi dampak buruk dari setiap sengketa pilkada yang diuji di MK.
Tujuannya agar setiap putusan MK dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Peran ini bisa diartikulasikan oleh anggota DPD dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memimilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.

Menurut Prof Bagir, karena pilkada langsung maupun tidak langsung sama demokratisnya, maka semestinya politisi di Senayan yang tanggal 25 September ini memutuskan memilih yang mana, melihat mana sistem yang lebih menjamin partisipasi langsung rakyat, mengukuhkan kedaulatan rakyat. Di AS dan Eropa awalnya menggunakan sistem perwakilan untuk memilih kepala daerah atau negara bagian. Kini hampir semuanya menjalankan pemilihan langsung oleh rakyat karena lebih kental semangat demokrasinya. “Dulu anggota senat di AS dipilih oleh DPR.  Kini dipilih langsung,” kata Prof Bagir.

Ketua Dewan Pers juga mengutip Jean Jacques Rousseau, filsuf yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan ilmu politik modern, yang mengatakan sebaik-baiknya demokrasi adalah yang bisa menyerap secara langsung kehendak rakyat. Artinya, pemilihan langsung. Prof Bagir juga mengingatkan bahwa di Inggris, revisi terhadap UU Pemilu dilakukan cukup lama dan hati-hati, sampai melibatkan tiga masa jabatan Perdana Menteri. Begitu juga di Belanda. Beleid terkait pemilu menyangkut kepentingan esensial warga karena dampaknya ke segala sendi kehidupan. “Jangan buru-buru karena kepentingan politik sesaat. Negara lain melakukannya dengan membentuk komisi negara berisi para ahli yang khusus membahas soal seperti ini,” ujar Prof Bagir.

Dr Daniel Dhakidae, penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru mengingatkan eksistensi UU Otonomi daerah dalam pembahasan RUU Pilkada. Ketika membahas UU Otonomi, kata Daniel, dibahas bahwa otonomi ini harus berada di clearpores acne tempat yang tidak terlalu rendah sehingga cakupan wilayah kerjanya cukup leluasa, tapi tidak juga terlalu tinggi. Akhirnya diputuskan bahwa pemberlakukan otonomi daerah ada di daerah tingkat dua, yaitu kabupaten dan kota. Ada juga trauma sejarah jika otonomi diberikan ke level provinsi. Daniel memaparkan pengalaman pemberontakan PRRI di Sumatera, Permesta dan Sulawesi juga RMS di Maluku. “Pengalaman ini membuat pemerintah saat membuat UU Otonomi alergi dengan provinsi,” kata Daniel.

Dalam perjalanannya ada ekses. Para gubernur merasa tidak dihormati dan dihargai oleh bupati dan walikota. Kepala daerah tingkat dua melampaui koordinasi di level provinsi dan melambung ke pemerintah pusat, terutama menyangkut alokasi proyek dan anggaran. “Harus diingat bahwa esensi dari otonomi daerah adalah efektivitas dan efisiensi layanan kepada rakyat. Jangan soal otoritas jadi isu utama,” kata Daniel. Problemnya adalah komunikasi dan kemampuan memimpin (leaderships).
Mengingat UU Otonomi masih berlaku, dan lokasinya ada di level daerah tingkat dua, Daniel menyodorkan opsi, bahwa pemilihan kepala daerah tingkat dua harus dilakukan secara langsung, sementara pemilihan gubernur bisa dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat satu. “Kecuali kalau UU Otonomi direvisi,” kata Pemimpin Redaksi jurnal Prisma itu. Dalam konstitusi Indonesia, kata Daniel, gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. “Apa yang kita jalankan selama ini, berdasarkan konstitusi, kan sebenarnya sudah seperti jalankan semi atau quasi negara federal. Provinsi sama dengan states,” ujar Daniel.

Soal begitu banyaknya energi yang harus dicurahkan untuk melakukan pilkada di tingkat kabupaten, kota dan provinsi juga dibahas. Siklus pilkada nyaris terjadi setiap hari dalam 365 hari, satu tahun. Ide melakukan pilkada serentak di tingkat dua menjadi relevan. “Kita jadi punya ratusan hari lain di mana pemimpin dan rakyat bisa bekerja penuh tanpa direcoki urusan pilkada,” kata Daniel.

 

Budiarto Shambazy, wartawan Kompas mengatakan idealnya soal RUU Pilkada ini diputuskan oleh referendum, seperti halnya referendum rakyat Skotlandia pekan lalu untuk memilih tetap bergabung dengan Inggris Raya atau merdeka sebagai negara yang berdaulat. Sayangnya aturan mengenai referendum sudah dihapus. Mengapa referendum? Budi Shambazy menggarisbawahi situasi yang krusial, dan jika pihak yang meminta Pilkada melalui DPRD menang, maka ini pintu masuk untuk mengembalikan ke demokrasi terpimpin, “Sebentar lagi mereka akan mengusulkan presiden pun tidak lagi dipilih langsung,” kata Budi. Menurutnya, keadaan sudah mencapai krisis, dan karena itu media harus menentukan sikap.

Pak Sabam Siagian, redaktur senior koran The Jakarta Post mengingatkan perlunya media dan wartawan dibekali teknik dan kemampuan meliput Pilkada. Sering disebutkan bahwa Pilkada langsung sarat politik uang. Bagaimana menelisik politik uang? Bagaimana melaporkan tanpa membahayakan keselamatan jiwa wartawan dan medianya? Apa sih yang disebut dengan politik uang? Jika media punya kemampuan meliput politik uang dan menyajikannya ke publik, ini menjadi kontrol bagi ekses Pilkada langsung. “Setiap kali saya bertemu wartawan daerah di pelatihan-pelatihan, keluhan ini muncul. Teman-teman wartawan di daerah juga alami hambatan dalam meliput kasus politik, apalagi politik uang,” ujar Pak Sabam.

Saya menganggap diskusi yang dilakukan oleh Dewan Pers dan pembicaranya menarik dan menawarkan alternatif yang layak dipertimbangkan partai politik. Sejak awal saya berpendapat bahwa revisi UU Pilkada ini adalah sebuah kepentingan politik sesaat yang datang dari koalisi yang jagonya kalah dalam Pemilihan Presiden lalu. Argumentasi bahwa sistem pilkada langsung itu melanggar konstitusi, bahkan tidak Pancasilais, adalah argumentasi yang pantas ditujukan pada pihak yang menolak pilkada langsung. Selama 10 tahun ini kemana saja mereka? Sama-sama melanggar konstitusi dan tidak Pancasilais?
Soal apakah situasinya sudah krisis? Argumentasi Budi Shambazy layak dipikirkan. Tapi saya kog ragu bahwa rakyat akan diam jika pemilu presiden secara langsung dihapuskan. Saya menduga jutaan rakyat akan turun ke jalan mencegah hal ini terjadi, karena ini pintu kembali ke era demokrasi terpimpin. Nasib rakyat ditangan transaksi dan negosiasi para politisi.
Bagaimana media harus meliput dan bersikap, menurut saya ya sesuai dengan tugas jurnalistik. Memberikan ruang kepada semua pihak, tidak hanya pihak yang bersebrangan, melainkan suara-suara jernih sebagaimana yang disampaikan dalam diskusi Dewan Pers. Mencoba mendudukkan perkara pada hal yang sebenarnya. Belajar dari sejarah politik modern di negara lain, juga di negeri sendiri.
Menggali data yang lengkap, termasuk soal contoh-contoh hasil Pilkada langsung yang baik. Hanya menonjolkan figur Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, Bima Arya, Abdullah Azwar Anas sebagai prestasi menurut saya kurang kuat, karena sebagaimana dibahas dalam berbagai forum, ada 500 lebih kabupaten kota, dan 34 propinsi. Nama-nama ini bahkan tidak sampai 10 persennya. Ini juga kelemahan komunikasi publik pihak yang mendukung pilkada langsung.

Hari ini, saya berharap pilihan para politisi di Senayan adalah pilihan yang paling baik untuk rakyat dan paling memberikan ruang partisipasi langsung bagi rakyat untuk terlibat dalam setiap proses demokrasi. Para politisi itu berhutang kepada semua pihak yang terlibat dalam memperjuangkan reformasi mengakhiri rejim politik otoritarian tahun 1998. UU Pilkada Langsung pun baru berusia 10 tahun. “Berikan kesempatan bagi UU ini, karena inilah semangat perkembangan demokrasi di berbagai belahan dunia. Atau, sebaiknya pembahasan RUU Pilkada ini dihentikan. Kurang berapa hari lagi para politisi di Senayan itu bekerja? Kog mau mengambil keputusan penting,” kata Prof Bagir.
Tulisan ini mungkin tidak dibaca mereka yang di Senayan. Saya harus membuat catatan atas pikiran-pikiran solutif yang muncul dalam diskusi Dewan Pers ini.###

 

 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Penurunan Kemiskinan di Indonesia Melambat, Apa BIG IDEAS nya?
Next post
EF Women Leaders Network

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *