HomeUncategorizedKontroversi Ide Ahok Soal Izin Rumah Ibadah

Kontroversi Ide Ahok Soal Izin Rumah Ibadah

Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama saat beri arahan pada pembukaan acara seleksi Tilawatil Quran (STQ) tingkat Provinsi pada bulan Ramadan 2015. Foto dari Instagram/@basukibtp
Gubernur DKI Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama saat beri arahan pada pembukaan acara seleksi Tilawatil Quran (STQ) tingkat Provinsi pada bulan Ramadan 2015. Foto dari Instagram/@basukibtp

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama melontarkan ide yang layak disimak. Dia mengusulkan peninjauan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Secara garis besar, SKB tersebut menuliskan bahwa pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan dari warga setempat. Ahok mengungkapkan hal ini terkait dengan ancaman menutup Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) di Jatinegara, Jakarta Timur. Gereja ini sudah berdiri selama 30 tahun, tanpa izin. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan ambang batas waktu 25 Juli 2015, bagi pihak gereja untuk mengurus izin. Jika tidak, gereja itu akan ditutup.

Menurut Ahok, panggilan populer Gubernur Basuki, GKPI bukan satu-satunya tempat ibadah yang tidak berizin, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB). “Sekarang yang jadi masalah di Jatinegara. Itu gereja sudah 30 tahun memang tidak ada izin. Ya, sama kok, banyak sekali masjid tidak ada izinnya kok. Banyak wihara, klenteng juga enggak punya izin. Kamu bisa temukan ratusan masjid yang tidak punya IMB,” ujar Basuki di Balai Kota DKI, Jumat (24/7/2015). Saya membaca pernyataan Ahok di laman Kompas.

Peraturan yang dimaksudkan oleh Ahok di atas, sebenarnya adalah Peraturan Bersama (PBM) yang diteken Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma’ruf pada 21 Maret 2006. PBM itu adalah revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Mendagri tahun 1969. Menurut SKB itu, pendirian tempat ibadah sangat bergantung kepada izin dari pemerintah daerah setempat. Pada praktiknya, di era Orde Baru, kepala daerah memberikan izin setelah mendapatkan rekomendasi dari Laksusda (pelaksana khusus daerah). Rekomendasu laksusda mempertiimbangkan aspek stabilitas dan keamanan.

Buku Kontroversi Gereja di Jakarta yang diterbitkan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), membahas latar-belakang SKB dan perjalanan regulasi gereja di Indonesia. Buku ini hasil penelitian tim Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Conference on Religion and Peace. Di buku ini juga dibahas kisah perjalanan 13 gereja di Jakarta.

Dalam buku di atas, dijelaskan bahwa SKB pada pada dasarnya mengatur kerukunan beragama secara umum. PBM lebih rinci mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan umat beragama, mekanisme perizinan rumah ibadah dan penyelesaian bila terjadi konflik. PBM mengatur bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah tanggung jawab bersama pemerintah dan umat beragama. Pemerintah diwakili oleh Gubernur di tingkat propinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota.

Aspirasi umat beragama diwakili pemuka agama resmi yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Anggota FKUB adalah 21 orang untuk tingkat propinsi, dan 17 orang di tingkat kabupaten/kota. Kuota perwakilan masing-masing agama berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama masing-masing daerah, dengan minimal satu agama diwakili satu orang. Komposisi ini memang mendorong agama mayoritas di negeri ini, yakni agama Islam, selalu mendapat representasi lebih besar.

Dalam PBM disebutkan bahwa selain memenuhi ketentuan teknis bangunan pendirian rumah ibadah wajib memenuhi:

(1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 90 orang pengguna rumah ibadah tersebut yang disahkah pejabat sesuai dengan batas wilayah setempat;
(2) KTP 60 orang masyarakat setempat yang disahkan kepala desa atau lurah;
(3) Rekomendasi tertulis kantor departemen agama kabupaten atau kota setempat;
(4) Rekomendasi FKUB kabupaten atau kota setempat. Rekomendasi harus atas dasar musyawarah dan mufakat dan tidak dapat dihasilkan melalui voting.

Nah, empat hal ini bukan perkara gampang untuk dipenuhi oleh mereka yang ingin mendirikan gereja, di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pengalaman yang sama bagi mereka yang ingin mendirikan mesjid di wilayah yang penduduknya mayoritas beragama non Islam. Persyaratan dukungan masyarakat sekitar biasanya jadi ganjalan. Kasus Gereja Kristen Indonesia Yasmin, di Bogor, adalah salah satu contohnya.

Jika persyaratan berupa dukungan dari masyarakat sekitar tidak terpenuhi, pemerintah wajib memfasilitasi lokasi baru. Bangunan lain yang digunakan sebagai tempat ibadah pun harus memiliki izin pemda, setelah ada rekomendasi kantor departemen agama dan FKUB. Masa berlaku izin bangunan sebagai rumah ibadah sementara adalah dua tahun.

Tim peneliti dalam buku Kontroversi Gereja di Jakarta mencatat dua masalah yang muncul dari PBM. Pertama, politisasi kewenangan pemda dalam menerbitkan IMB. Dalam beberapa kasus, bisa terjadi pemberian IMB ditukar dengan janji memberikan dukungan politik dalam pemilu kepala daerah. “Di beberapa wilayah, seperti Bogor, diindikasikan calon kepala daerah dalam kampanye menjanjikan untuk tidak mengeluarkan IMB bagi agama tertentu,” demikian penulis buku. Kepala daerah yang ingin popular cenderung melayani aspirasi mayoritas pemilih, dan bisa melakukan upaya menahan izin rumah ibadah untuk mengerem pertumbuhan pengikut agama tertentu.

Kedua, komposisi FKUB dan pola pengambilan keputusan yang harus musyarawah dan mufakat. Faktor representasi dalam FKUB kerapkali menjadi batu ganjalan, karena merugikan kelompok minoritas. “Representasi juga menjadi masalah karena tidak memberikan ruang bagi keberagaman “denominasi” di beberapa agama. Majelis Ulama Indonesia, misalnya tidak mengakomodasi Ahmadiyah. Insiden Tolikara membuka mata kita bahwa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), juga menutup peluang bagi gereja denominasi lain untuk berkegiatan di Tolikara.

Membaca analisis dalam buku itu, saya makin paham mengapa dalam berbagai kasus, organisasi seperti MUI, Persatuan Gereja Indonesia dan Konferensi Wali Gereja Indonesia, tiga diantara organisasi yang dianggap wakil resmi dalam FKUB, kurang “bersahabat” kepada kelompok agama yang dianggap bukan “anggotanya” atau “tidak resmi”.

Ketiga, persyaratan dukungan dari masyarakat berupa 60 KTP berpeluang melahirkan diskriminasi. Buku itu menguti survei LSI-Lazuardi Birru 2010, yang menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia tidak toleran terkait pendirian rumah ibadah. Dalam survei ditemukan bahwa 64,9 persen umat Islam keberatan jika di daerahnya dibangun rumah ibadah agama lain. Dukungan masyarakat ini adalah bagian yang disebut sebagai regulasi sosial.

Regulasi sosial menimbulkan celah bagi kelompok atau pihak yang ingin mendapatkan uang dalam memgurus perizinan rumah ibadah, termasuk kelompok paramiliter yang mengusung symbol agama. Dalam kisah yang diceritakan terkait sejumlah gereja di Jakarta, Nampak bahwa mengurus izin dengan memanfaatkan jasa perantara dan menggunakan uang sebagai tolok ukur justru menimbulkan masalah .

Buku yang ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean dan kawan-kawan ini mengelompokkan gereja yang diteliti dalam kategori: gereja tak dipermasalahkan sejak awal sampai kini, gereja bermasalah dan terselesaikan, gereja tak bermasalah yang kemudian dipermasalahkan (GKI Yasmin masuk di sini), gereja bermasalah dan belum terselesaikan (HKBP Filadelfia masuk di sini, Berikut kronologi yang dibuat Andreas Harsono atas HKBP Filadelfia).

Yang menarik adalah kisah gereja yang sejak awal tak mendapat masalah. Contohnya yang dipelajari dalam penelitian ini adalah Gereja Katolik St Aloysius dan Kapel St Valentino di pemukiman TNI AD di Cijantung. Praktis tidak ada hambatan soal alokasi tanah, pengurusan IMB sampai pemenuhan syarat dukungan dari warga sekitarnya. Kapel St Valentino dibangun di komplek RPKAD (kini Kopassus). Pengumpulan dana untuk membangun gereja juga tidak sulit, banyak dapat bantuan dari pejabat militer dan pengusaha. Fungsi pengayoman negara membuat proses Gereja Katolik St Aloysius dan Kapel St Valentino berjalan mulus.

Dalam kisah terkait gereja bermasalah kemudian terselesaikan juga Nampak peran “negara” yang ditunjukkan oleh sikap tegas kepala daerah dan aparat keamanan, dalam hal ini polisi, dalam menghalau pihak yang ingin menganggu gereja atau keberatan dengan cara anarkis.

Mesjid pengganti yang rusak terbakar di insiden Tolikara akan dibangun di tanah milik Tentara Nasional Indonesia, yaitu di halaman komando rayon militer Kurubaga, Tolikara. Ini lokasi yang dianggap aman, setelah ribut-ribut yang berujung 11 luka-luka, 1 tewas. Panglima TNI Jendral TNI Gatot Nurmantyo juga memerintahkan anggotanya membangun kios yang terbakar. Lokasinya di tanah milik negara,

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menegaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak pernah melarang orang untuk melakukan ibadah di mana pun, termasuk dalam kasus pendirian Gereja Kristen Protestan Indonesia di Jatinegara.

Bahkan, jika mengacu pada perizinan gereja yang belum diurus, bukan hanya GKPI Jakarta yang memiliki masalah itu. Basuki mengatakan, banyak sekali rumah ibadah yang tidak memiliki izin di Jakarta, bahkan masjid-masjid sekalipun.

“Sekarang yang jadi masalah di Jatinegara. Itu gereja sudah 30 tahun memang tidak ada izin. Ya, sama kok, banyak sekali masjid tidak ada izinnya kok. Banyak wihara, klenteng juga enggak punya izin. Kamu bisa temukan ratusan masjid yang tidak punya IMB,” ujar Basuki di Balai Kota DKI, Jumat (24/7/2015).

Akan tetapi, ada satu hal yang dinilai Basuki menjadi permasalahan utama pembangunan rumah ibadah di Jakarta selama ini. Masalah inilah yang membentur GKPI di Jatinegara sehingga Pemprov DKI tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya.

Hal itu ialah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Secara garis besar, SKB tersebut menuliskan bahwa pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan dari warga setempat.

“Kalau kasus ini, (GKPI Jatinegara) memang kita harus akui negara ini ada masalah. Bagaimana bisa SKB dua menteri mengalahkan UUD 1945 ? Saya enggak tahu ya, prinsipnya harus dicabut ini (SKB dua menteri). Karena itu yang suka dipakai oleh sekelompok kecil orang yang intoleransi. Bagaimana bisa rumah ibadah mendapatkan izin dari mayoritas?” ujar Basuki.

Basuki mengatakan, banyak masjid tidak berizin di Jakarta dibiarkan. Hal itu disebabkan mayoritas warga sekitarnya beragama Islam sehingga mengizinkan masjid berdiri di lingkungan mereka.

Hal berbeda akan terjadi pada rumah ibadah agama minoritas. Sebab, belum tentu masyarakat mayoritas menyetujui hal itu.

“Bagaimana bisa rumah ibadah (gereja) mendapatkan izin dari warga (beragama) mayoritas? Kita kan tidak ingin negara ini dikotak-kotak. Orang Islam ya Islam semua, orang Buddha ya Buddha semua, Kristen ya Kristen semua,” ujar Basuki.

Oleh sebab itu, menurut Basuki, SKB dua menteri harus dihapuskan terlebih dahulu. Jika tidak, kejadian seperti gereja Jatinegara yang tidak dapat dibangun karena tidak mendapat persetujuan warga akan terjadi kembali.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Jangan Pilih Pemimpin Yang Diskriminatif
Next post
Laporan Kerja Mendag Rachmat Gobel, Memangkas Rantai Pasokan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *