HomeUncategorizedBenarkah Tiongkok Menang Telak Soal Kereta Cepat?

Benarkah Tiongkok Menang Telak Soal Kereta Cepat?

Sejak awal Jokowi sudah kepincut dengan kereta api cepat Tiongkok.  Kalkulasi bisnis jadi alasan.  Bagaimana dengan kalkulasi politik?

Shinkansen. (Sumber foto: Wikipedia.org)
Shinkansen. (Sumber foto: Wikipedia.org)

Mengapa Tiongkok memenangi kompetisi membangun jalur kereta api cepat (High Speed Railways) dari Jakarta ke Bandung?

Pertanyaan itu menjadi bahan diskusi dan pemberitaan media.  Media di Jepang memberitakan sikap pemerintahnya yang kecewa atas keputusan pemerintah Indonesia memberikan proyek senilai Rp 60 triliun itu (total Rp 87 triliun termasuk properti dan stasiun), kepada pihak Tiongkok melalui kerjasama kemitraan (joint venture) konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kedua negara.  Skema kerjasama dengan Tiongkok adalah business to business.

Karena skala prioritas anggaran, pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo memutuskan tidak akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung sepanjang 150 kilometer.  Pemerintah, kata Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, memutuskan akan konsentrasi membangun jalur kereta api dan transportasi di luar Pulau Jawa dan daerah terdepan, di perbatasan dengan negara lain.

Presiden Jokowi mengutus Sofyan Djalil menemui Perdana Menteri Shinzo Abe akhir September lalu.  Tapi, Sofyan hanya bertemu dengan Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga.  Dalam pertemuan itu disampaikan  bahwa swasta Jepang tidak dapat terlibat dalam skema kerja sama bisnis (business to business) proyek kereta cepat, karena tidak sesuai dengan model bisnis dan regulasi pemerintah Jepang.

“Bisnis model dan undang-undang Jepang tidak memungkinkan bantuan atau kredit konsensi itu diberikan ke perusahaan Jepang,” ujar Sofyan Djalil, sebagaimana dikutip laman Antara.com.

Jepang sudah membuat studi kelayakan membangun jalur kereta api cepat sekitar dua tahun lalu, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Sebagaimana praktiknya selama ini, skema proyek dengan Jepang adalah antar pemerintah, dan mensyaratkan jaminan anggaran dari pemerintah. Tiongkok masuk dalam kompetisi ketika “diundang” oleh pemerintahan Jokowi.

Maret 2015 Jokowi berkunjung ke Beijing, untuk kedua kalinya setelah hadir di pertemuan puncak pemimpin ekonomi negara anggota APEC, organisasi kerjasama ekonomi Asia Pasifik, pada November 2014.  Dalam kunjungan yang kedua, Jokowi dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menyaksikan penandatanganan kesepakatan (MoU) antara menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno dengan Xu Shaosi, ketua Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi (NDRC).  Lembaga ini semacam Badan Perencanaan Nasional yang sangat berpengaruh dalam menyusun strategi ekonomi dan investasi Negeri Tirai Bambu.

Laman setkab.go.id pada tanggal 27 Maret 2015 memberitakan bahwa MoU antara Menteri BUMN dan NDRC itu mencakup proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Pertemuan itu dikemas dengan tema “Kemitraan untuk Perdamaian dan Kesejahteraan.”

Sebenarnya ini kelanjutan dari kekaguman Jokowi saat mencoba kereta api super cepat, HSR dari Beijing ke Tianjin.  Jokowi melakukannya dalam kunjungan pertama kali ke luar negeri sebagai presiden, ke pertemuan APEC, November 2014.   Tianjin, kota pelabuhan dan kawasan industri berjarak sekitar 150 kilometer, hampir sama dengan jarak Jakarta-Bandung.  Perjalanan ditempuh sekitar 36 menit dengan kecepatan paling tinggi 306 kilometer per jam.  Di sini lah nampaknya Jokowi terpikat dengan teknologi kereta api cepat Tiongkok.

Akhir Maret 2015, dalam kunjungan yang kedua, menghadiri Boao Forum for Asia di Hainan, Jokowi juga ke Beijing untuk kunjungan bilateral. Fokus pembicaraan bilateral antara Jokowi dan Xi Jinping saat itu terkait upaya peningkatan kerja sama di bidang perdagangan, keuangan, infrastruktur, perindustrian, pariwisata, dan hubungan antar masyarakat.

Ketika Presiden Xi Jinping berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika, April 2015, atau sebulan setelah kunjungan Jokowi ke Beijing, Jokowi menagih janji Tiongkok membangun infrastruktur, program andalannya. Saat itu Presiden Xi mengatakan, bahwa ia berjanji terus mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan terus meningkatkan investasi ke Indonesia.

“Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sudah sepakat akan membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung, dan terbuka kemungkinan juga untuk Jakarta-Surabaya,” kata Xi Jinping, seperti dikutip dari laman resmi setkabgo.id , Kamis (23/4/2015).  Kedua kepala negara menyaksikan penandatanganan kerjasama investasi senilai US$ 60 miliar, yang dilakukan Menteri BUMN Rini dan Ketua NDRC Xu Shaosi

Tidak hanya akan membangun jalan kereta, RI-Tiongkok juga memastikan akan ikut dalam sejumlah pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di antaranya, pembangunan 24 pelabuhan, 15 pelabuhan udara (airport), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta sepanjang 8.700 km, dan pembangunan pembangkit listrik (powerplan) berkapasitas 35 ribu megawatt.

Jadi, dari awal sebenarnya Jokowi sudah kepincut dengan teknologi Tiongkok, dan berkeinginan menggaet Tiongkok membiayai proyek infratruktur di Indonesia.  Dari jalur kereta api, jalan dan jalan tol, pelabuhan sampai pembangkit listrik. Jokowi mengincar dana US$ 21,1 triliun yang akan digelontorkan Tiongkok untuk membangun sabuk ekonomi jalur sutra.

Jokowi juga mengakui kedekatan dengan Presiden Xi.

Saat bercerita di depan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LI dan LII Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jokowi mengaku bertanya kepada Jinping soal rahasia sukses Tiongkok. Ini dilakukannya di sela pertemuan APEC di Beijing.

“Pertama beliau sampaikan partai harus bersatu karena menguatkan negara. Di mereka bisa, di kita itu yang sulit. Ini yang pertama langsung sulit,” canda Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/11/2014).

Kedua, kata Jokowi, Jinping menyampaikan bahwa setiap negara harus memiliki gagasan, visi, dan mimpi yang besar. Dia menilai sebuah negara perlu rencana jangka panjang untuk 50-100 tahun akan datang.

“Jangan berpikir 5-10 tahun. Saya lihat, pelabuhan di Tianjin, mereka berpikir tidak sehari, dua hari. Mereka merancang sampai 100 tahun, rencananya apa, maket-nya apa,” kata Jokowi.

Menurut Jokowi, Jinping juga menjelaskan bahwa setiap presiden harus melanjutkan rencana jangka panjang yang sudah ditetapkan. Hal ketiga yang disebut Jokowi dipelajarinya dari Jinping adalah soal pembangunan infrastruktur dan konektivitas.

“Duitnya dari mana? Dia (Jinping) bilang terserah, tapi jadikan provinsi dengan provinsi dan pulau dengan pulau. Itu yang akan gerakkan ekonomi rakyat,” kata Jokowi.

Dari percakapannya dengan Jinping itulah, menurut Jokowi, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah revolusi pola pikir. Pola pikir masyarakat Indonesia harus diubah agar ada pertumbuhan ekonomi yang cepat di Indonesia.

“Kalau berpikir biasa-biasa saja, keduluan sama negara lain,” kata dia.

Di situ Jokowi merasa cocok dengan pemikiran Xi dan bagaimana membangun ekonomi ke depan.  Gagasan Poros Maritim yang menjadi program pembangunan Jokowi juga seolah menemukan dukungan dari ambisi pemerintahan Xi Jiping melalui Poros Maritim Dunia dan inisiatif Jalan Sutera Maritim Abad 21 atau 21st Century Maritime Silk Road.  Presiden Xi berjanji memasukkan Indonesia dalam negara yang akan didukung merealisasikan konektivitas maritim di kawasan, melalui pembangunan infrastruktur.

Kalau dari sisi personal merasa cocok, bagaimana dengan sisi geopolitik?

Apa yang dilakukan Jokowi, termasuk ketika secara cepat menyetujui keikutsertaan Indonesia insiatif Tiongkok mendirikan Bank Investasi  Infrastruktur Asia (AIIB) adalah contoh nyata.  Indonesia tengah melakukan diplomasi mendayung diantara dua karang.  Ini pilihan yang sudah lama diambil oleh Indonesia dalam politik internasional.  Istilah mendayung diantara dua karang diperkenalkan oleh wakil presiden dan proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta.

Tiongkok pula yang datang mengulurkan tangan, membeli obligasi negara Indonesia sebesar US$ 5 juta dolar, pertengahan Agustus 2015.  Kepada Rappler, Duta Besar Tiongkok di Indonesia, Xie Feng, mengatakan bahwa pemerintahnya akan melakukan pembelian berikutnya untuk meningkatkan kepercayaan terhadap obligasi Indonesia di saat pelemahan ekonomi.  Pemerintahan Jokowi sebenarnya meminta AS dan Malaysia melakukan hal yang sama ketika pelemahan ekonomi mulai dirasakan pada awal tahun 2015.  Hanya Tiongkok yang merespons.

Pada 26 Oktober ini, Jokowi akan berkunjung ke AS dan bertemu Presiden Barack Obama. Agenda utama tetap mengundang investasi dan kerjasama bisnis.  Awal September lalu Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral bersama Dutabesar AS Robert Blake menyaksikan MoU antara PLN dan lebih dari 50 pengusaha AS di bidang energi. Untuk energi dan listrik, Jokowi tak mau terlalu bergantung kepada Tiongkok, sebagaimana kritik publik.

Maju-mundur proyek kereta cepat

Dari sisi kenyamanan, menumpang kereta api cepat teknologi Jepang, Eropa dan Tiongkok, sama saja. Dalam kecepatan 300 kilometer per jam pun, berdiri dan berjalan di gerbong, guncangan sangat kecil.  Ketepatan waktu pun sama baiknya.

“Bagi pemerintah Indonesia, yang penting mana yang paling menguntungkan.  Bagi keuangan negara dan juga bagi rakyat pengguna,” kata Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli dalam sebuah diskusi dengan editor media di Jakarta (25/8/2015).  Saat serah-terima jabatan sebagai menko menggantikan Indroyono Soesilo, Rizal  sempat melontarkan sinyalemen bahwa ada pejabat yang terlibat menjadi beking dalam kompetisi kereta api cepat antara Tiongkok dan Jepang.  Rizal juga mengkritik Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait proyek 35.000 megawatt listrik yang menurutnya terlalu ambisius.

Kritik Rizal yang dianggap dialamatkan ke kolega menteri sempat dianggap memicu kegaduhan.  Jokowi memanggil Rizal Ramli. Wapres JK menegur baik melalui media maupun di sidang kabinet.

Di mata publik selama ini, mantan menteri perdagangan Rachmat Gobel dianggap sebagai sosok yang dekat dengan Jepang.  Sementara Rini Soemarno sejak proses awal mewakili Indonesia dalam, berhubungan dengan Tiongkok.  .

Pada tanggal 9 Agustus 2015, Rachmat Gobel yang saat itu masih menjabat menteri perdagangan berkunjung ke Jepang, salah satunya membicarakan minat Jepang dalam membangun kereta api cepat. “Jepang menyatakan sangat berminat untuk melaksanakan proyek Shinkansen dan telah membuat feasibility study dengan menawarkan pembiayaan murah yang diiringi dengan pengembangan SDM, pengadaan barang sebagian dari Indonesia, serta alih teknologi bagi Indonesia,” kata Gobel, pemilik Grup Panasonic Gobel, merek terkenal dari Jepang.

Ketika Jokowi melakukan kocok-ulang (reshuffle) kabinet, pada 12 Agustus 2015,  posisi Rachmat Gobel digantikan Thomas Lembong, seorang bankir investasi.

Dalam mengambil keputusan siapa pemenangnya, Jokowi menugasi tim yang dipimpin Darmin Nasution.  Anggota tim termasuk Rizal Ramli, Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Sejak awal Jonan menolak ide membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan alasan tidak perlu, dan seharusnya pemerintah fokus membangun kereta api di luar Jawa, termasuk di Papua.  Jonan sebelumnya memimpin PT Kereta Api Indonesia.  PT KAI tidak dilibatkan dalam konsorsium BUMN menggarap kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Tim yang dipimpin Darmin memutuskan berdasarkan hasil evaluasi terhadap dua proposal, yang dilakukan Boston Consulting. “Sebenarnya saya tidak setuju pakai konsultan.  Kan menteri  bisa memutuskan,” kata Rizal Ramli.

Tanggal 4 September Darmin Nasution menyampaikan keputusan Jokowi membatalkan proyek pemerintah terkait kereta api cepat Jakarta-Bandung.  Pemerintah, kata Darmin, memutuskan membangun kereta api kecepatan menengah, sehingga waktu tempuh 11-14 menit lebih lama dari rencana  semula 36-37 menit sebagai mana proposal Tiongkok dan Jepang yang mematok kecepatan sampai 300 kilometer per jam.  Mengurangi kecepatan akan menurunkan biaya investasi sampai 30 persen.  Itupun, diputuskan tidak pakai APBN.

Penumpang high speed train jurusan Shanghai-Beijing merasa nyaman bepergian selama hampir 5 jam. Foto oleh Uni Lubis
Penumpang high speed train jurusan Shanghai-Beijing merasa nyaman bepergian selama hampir 5 jam. Foto oleh Uni Lubis

Publik terkejut, begitu juga media.  Maklum, selama bulan Agustus, Perdana Menteri Jepang dan Presiden Tiongkok mengirimkan utusannya melobi pemerintah Indonesia melalui sejumlah menteri, bahkan bertemu langsung dengan Jokowi. Tiongkok bahkan menggelar pameran khusus di sebuah mal di Jakarta, memamerkan model kereta api cepatnya  yang terbaru, dan menggelar bincang-bincang dengan media dan publik umum atas teknologi HSR negeri itu.

Di tengah pelemahan ekonomi dan kebutuhan Indonesia mengundang investor asing menanamkan modal di Indonesia, termasuk di proyek infrastruktur, keputusan membatalkan proyek kereta api cepat dianggap sebagai sinyal negatif.  Ketidakpastian meningkat.

Entah kebetulan, jaring pengaman sudah ditebar. Pada tanggal 28 Agustus 2015, Jokowi meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, senilai Rp 54 triliun.  Proyek ini seharusnya dimulai 2012, tapi terkendala pembebasan lahan.  Proyek listrik dengan kapasitas 2 x 1.000 megawatt ini ditentang lembaga swadaya masyarakat termasuuk Greepeace Indonesia. Pemilik proyek adalah kerjasama pemerintah dan swasta antara Indonesia dan Jepang.

Jadi, pemerintah Jokowi membantu proyek terkait Jepang yang sempat mangkrak.

Tanggal 9 September 2015, Rini mengumumkan bahwa kereta cepat Jakarta-Bandung jalan terus, dan  akan bergerak pulang-pergi dari stasiun Gambir menuju Manggarai, Walini, Bandung Kopo, dan Gede Bage.  Ini lebih sedikit dibanding dengan proposal Tiongkok yang tadinya melewati delapan stasiun termasuk Halim Perdana Kusumah yang rencananya akan bersambung dengan stasiun Light Rail Transit atau kereta api ringan.  Walini adalah areal perkebunan the di bawah PT Perkebunan Nusantara VIII.  Menurut Rini,  BUMN perkebunan itu memiliki 2.952 hektar lahan yang sudah tidak produktif sebagai kebun teh karena tingkat polusi tinggi.  Areal itu akan dikembangkan menjadi daerah lokasi wisata dan konperensi.

Kepastian bahwa proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung bakal jalan, muncul dari Doha, Qatar. Dalam lawatan ke Timur Tengah, Jokowi melakukan dialog dengan Diaspora Indonesia di Qatar. Acara digelar di Wisma Duta di Doha.  Jokowi membantah pihaknya membatalkan proyek kereta api cepat.

“Kalau saya menunggu hitung-hitungannya, kalau hitung-hitungannya masuk akal silakan jalan. Jadi bukan dibatalkan, siapa bilang dibatalkan,” kata Presiden Jokowi, (14/9/2015).

Presiden menegaskan, ada 3 (tiga) hal yang ia berikan penekanan, yaitu: 1) Tidak menggunakan APBN; 2) Tidak menggunakan jaminan pemerintah; 3) Itu urusannya Business to Business (B to B), entah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan BUMN atau swasta dengan swasta.

Dua hari kemudian, Rini Soemarno mengumumkan BUMN secara resmi mengambilalih proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.  “Kami tindak lanjuti kembali, dan berbagai hal dibahas terkait kereta api cepat sehingga kita dapat selesikan segera kesepakatannya, dan kereta api cepat tersebut dapat segera dibangun,” kata Menteri BUMN Rini Soemarno seperti dikutip Antara di Beijing, Rabu (16/9/2015) malam.

Ditemui seusai menyaksikan penandatanganan kesepakatan pinjaman tiga bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BNI dan BRI dengan Bank Pembangunan China (CDB), Rini mengatakan, Tiongkok menyanggupi persyaratan yang ditetapkan Indonesia dalam pembangunan kereta api cepat, yakni bahwa pembangunannya dilakukan murni secara bisnis (business to business atau B to B), tanpa jaminan atau pendampingan pemerintah, serta tidak menggunakan APBN.

“Mereka bahkan setuju untuk ikut membangun stasiun-nya, disertai alih teknologi. Dengan demikian, karena ini dilakukan secara B to B, maka harus ada keuntungan yang kita dapat, termasuk alih teknologi,” tutur Rini.

“Terkait alih teknologi tersebut, Tiongkok (China) sepakat untuk memberikan pelatihan kepada Indonesia, apakah ahli mereka ke Indonesia, atau kita mengirimkan tenaga ahli kita untuk belajar di Tiongkok,” katanya.

Rini mengatakan Tiongkok  sepakat untuk melakukan produksi bersama gerbong kereta api, tidak saja gerbong kereta api cepat, tetapi juga kereta api listrik dan light train yang kini sedang dibangun.

“Gerbong kereta hasil produksi bersama RI-Tiongkok tersebut dapat ekspor ke negara lain sehingga ini juga menjadi pemasukan bagi negara dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru,” ungkap Rini.

Terkait produksi bersama gerbong kereta tersebut, Tiongkok sepakat untuk membangun pabrik aluminium di Indonesia.

“Jadi, Tiongkok setuju bahwa bahan baku aluminium, yakni bauksit, harus diolah menjadi produk akhir, yaitu aluminium, baru diekspor. Ini kan memberikan nilai tambah yang berlipat. Jika industri aluminium dapat dibangun, maka slab aluminium sebagai bahan untuk membuat gerbong kereta api sudah dapat kita hasilkan pula melalui kerja sama ini, bahkan untuk kepentingan industri pesawat terbang juga,” tutur Menteri BUMN, sebagaimana dimuat laman Antara.com

Rini mengemukakan, berbagai kesepakatan tersebut akan dibahas secara intensif sehingga berbagai proyek terkait pembangunan kereta api cepat tersebut dapat segera dilaksanakan.

“Jika berbagai kesepakatan tersebut sudah disahkan, maka proyek dapat dilaksanakan dengan perkiraan tenaga kerja yang dapat diserap sekitar 40.000 orang. Jika kereta api cepat ini terbangun, semisal untuk rute Jakarta-Bandung, maka kita ingin ekonomi di kota-kota yang berada di sepanjang jalur tersebut, seperti Karawang dan Walini, juga hidup, masyarakat menjadi lebih sejahtera,” katanya.

Kritik dari berbagai pihak akan proyek ini berlanjut.  Tak kurang dari mantan menteri lingkungan hidup Emil Salim yang menganggap proyek ini tidak perlu.  Yang menjadi sasaran kritik adalah Rini sebagai menteri BUMN.  Padahal, sebagaimana bisa dibaca di atas, sejak awal Jokowi yang bersikeras membangun proyek ini, dan memiliki inklinasi memilih Tiongkok.

Dampak politik kemenangan Tiongkok

Kalah dalam kompetisi membangun proyek perdana kereta api cepat di Indonesia membuat pemerintah Jepang kecewa berat.  Publik di sana mempertanyakan, mengapa teknologi shinkanzen atau kereta api cepat mereka yang punya reputasi tinggi, kalah dibanding dengan Tiongkok yang baru memulai proyek kereta api cepatnya pada 1994, dan mulai masuk ke kereta api dengan kecepatan 250 kilometer per jam pada 1999.  Jepang membangun shinkanzen sejak 1 Oktober 1964, menyambut Olimpiade Tokyo.

Tapi dalam waktu satu dekade terakhir, Tiongkok membangun 17.000 kilometer HSR, atau 70 persen dari panjang jalur HSR di dunia, termasuk di Jepang dan negara di Eropa seperti Jerman dan Perancis.  Akhir 2015, Tiongkok menargetkan menggenapi jalur HSR-nya menjadi 20.000 kilometer.

Menteri Transportasi Jepang, Akihiro Ota, menunjukkan sikap kesal pemerintahnya atas keputusan Indonesia.  “Jepang akan meninjau kembali semua hubungan bisnis dengan Indonesia, terutama di bidang pertanahan, infrastruktur dan transportasi,” kata Akihiro Ota, dalam sebuah jumpa pers di kantornya, di Tokyo (2/10).

Jepang adalah salah satu negara yang rutin berinvestasi dalam jumlah besar di Indonesia. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kuartal I 2015 investasi Negeri Samurai itu duduk di peringkat dua dengan nilai US$ 1,2 miliar
Dari nilai tersebut nilai realisasi investasi baru sebesar US$ 771,4 juta dan perluasan investasi sebesar US$ 436,2 juta. Jepang adalah pionir investasi asing di Indonesia sejak 1967.

Data BKPM menunjukkan  realisasi investasi Tiongkok di Indonesia semakin meningkat dari US$ 297 juta tahun 2013, menjadi US$ 800 juta tahun 2014. Pada triwulan IV-2014, realisasi investasi Tiongkok sebesar US$ 471 juta, dan membuat negara tersebut berada pada posisi 4 terbesar investor asing di Indonesia. “Dalam lima tahun terakhir, sektor terbesar investasi Tiongkok di Indonesia adalah sektor utilitas yaitu listrik, air, dan gas yang mencakup 23 persen, selanjutnya di sektor pertambangan 21 persen dan industri logam 16 persen,” kata Franky, dalam keterangan pers yang disampaikan BKPM April 2015.

Persaingan memenangi proyek membangun HSR Jakarta-Bandung, adalah gambaran terkini bagaimana melihat kedua ekonomi terkuat di kawasan Asia itu mencoba menancapkan kukunya, dan memperluas pengaruh ekonominya.  Proyek HSR juga ajang pamer bagi pencapaian teknologi tinggi di bidang transportasi.  Jepang memenangi citra keselamatan.  Tiongkok, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, kuat dari sisi skema bisnis dan keuntungan ekonomi.

“”Kalau dilihat dampak terhadap aspek-aspek ekonomi yang lain, kalau dilihat local content-nya (muatan lokalnya), memang antara dua itu, sebenarnya cenderung yang unggul China,” jelas Darmin usai menyerahkan rekomendasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (3/9).  Namun, lanjut Darmin, bila dilihat dari rekam jejak (track record) teknologinya serta tidak pernah ada kecelakaan, Jepang lebih unggul.

Tanggal 17 September 2015, hampir bersamaan dengan penandatanganan kerjasama antara tiga Bank BUMN dengan China Development Bank untuk membiayai proyek kereta api cepat, Tiongkok menekan kesepakatan dengan pihak swasta AS, membangun jalur kereta api cepat antara Las Vegas-Los Angeles.

Ketika ide membangun jalur kereta api cepat ini muncul tahun 2011, tak ada yang percaya bahwa ide itu bakal terwujud.  Biayanya mahal, sekitar US$ 5 miliar.  Tapi Tiongkok yang sedang kelebihan kapasitas atas produksi rel dan gerbong kereta api cepatnya, giat ekspansi ke luar negeri.  Tiongkok sudah mendapatkan kontrak di Rusia dan Turki.  Kini di AS dan Indonesia.

Kerjasama dengan AS seolah menepis isu soal keselamatan yang sangat penting persyaratan dunia transportasi di AS. Lagipula, kecelakaan yang pernah terjadi di Tiongkok dan menewaskan 40 orang pada 2011, memaksa Tiongkok bebenah, termasuk mengurangi kecepatan menjadi maksimum rata-rata 300 kilometer.

Di dunia ini, proyek kereta api cepat dianggap sebagai proyek gengsi.  Biayanya mahal, nyaris mustahil menuai profit dan harus didukung penuh oleh pemerintah.

Sebuah artikel di laman Christian Science Monitor membahas sulitnya proyek kereta api cepat memanen laba.  Zhang Jian, analis dari Beijing Transport University mengatakan bahwa hanya ada tiga proyek  kereta api cepat yang bisa menuai laba atas biaya konstruksinya, yaitu jalur Tokyo-Osaka, Paris-Lyon dan Beijing Shanghai.  “Tidak ada lagi tempat lain di dunia yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi untuk membuat proyek kereta api cepat menguntungkan,” kata Zhang Zian, sebagaimana dikutip CSM, (17/2/2015).

Jalur HSR Beijing-Shanghai  sepanjang 1.318 kilometer menuai profit sebesar 1,3 juta Yuan setelah tahun ketiga beroperasi.  “Sebanyak 78 persen investasi HSR adalah untuk konstruksi sipil,” kata Zhao Goutang, deputi kepala insinyur China Railways kepada Rappler di atas kereta api yang melaju dari Shanghai ke Beijing (27/8/2015)

Dengan Zhao Guotang deputy chief engineer China Railway (Foto oleh Uni Lubis)
Dengan Zhao Guotang deputy chief engineer China Railway (Foto oleh Uni Lubis)

Benarkah Tiongkok menang?

Jika merujuk siapa yang bakal membangun proyek, kesannya demikian.  Tapi, sebenarnya, Tiongkok banyak memberikan konsesi kepada Indonesia.  Itu menjelaskan mengapa Tiongkok terkesan menahan diri tidak banyak komentar ketika pemerintah Indonesia melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno, memutuskan melanjutkan proyek HSR ini dengan konsorsium BUMN Tiongkok.

Proposal Jepang menawarkan pembiayaan sebesar Rp 60-an triliun, sementara Tiongkok Rp 50-an triliun. Pihak Jepang meminta bunga sebesar 0,01 persen dari dana investasi, sementara Tiongkok meminta dua persen. Kedua penawaran itu sama-sama mematok ongkos per penumpang nantinya seharga Rp 200.000.

Tiongkok menawarkan skema kemitraan dengan membangun perusahaan bersama, antara konsorsium BUMN Tiongkok dengan BUMN Indonesia.  Dari Indonesia, BUMN yang terlibat adalah , PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara (Persero) VIII yang akan menguasai 60 persen kepemilikan dalam proyek HSR itu.

Tiongkok yang akan mengambil kepemilikan 40 persen dan menyediakan dana pinjaman untuk pembangunan proyek bernilai total Rp 87 triliun itu menugasi China Railway International, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, The Third Railway Survey and Design Institute Group Corporation (TSDI), China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, China Railway Signal and Communication Corporation.

Hanya dengan Indonesia Dalam proyek kereta api super cepat, Tiongkok bersedia menyetujui format kemitraan alias joint-venture.  “Proposal kami adalah yang terbaik untuk Indonesia,” kata Duta Besar Xie Feng.  Format ini kemudian berlaku juga dalam rencana kerjasama membangun kereta api super cepat di AS.

Soal pembiayaan.  Tiongkok menawarkan suku bunga 2 persen dalam dolar AS.  Ini dianggap lebih murah dibanding tawaran Jepang, yaitu 0,1 persen dalam mata uang Jepang, Yen.

Seorang bankir Indonesia membuat kalkulasi.  Jika pinjaman tenor tiga tahun dalam mata yang Yen sukubunganya 0,1 persen, maka konversi dalam mata uang dolar AS adalah 0,1 persen + 1,82 persen (swap rate), yang hasillnya adalah 1,92 persen sukubunga dalam dolar AS.   Bandingkan dengan tenor pinjaman lima tahun dengan sukubunga 0,1 persen, jika dikonversi ke mata uang dolar AS adalah 0,1 persen + 2,38 persen, hasilnya   2,48 persen dalam dolar AS.  Jika pinjaman tenor 10 tahun, dikonversi ke US$, maka menjadi 0,1 persen + 3,029 persen.  Hasilnya 3,129 persen.  “Jadi, untuk tenor 5 tahun dan 10 tahun pinjaman dolar dengan sukubunga 2 persen jelas lebih murah dibanding pinjaman Yen dengan sukubunga 0,1 persen.

Ini menjelaskan mengapa Darmin Nasution mengatakan secara kalkukasi ekonomi proposal Tiongkok lebih menarik.

Tiongkok mengaku sudah membuat kalkulasi bisnis yang serius, membandingkan jalur Jakarta-Bandung dengan Beijing-Tianjin.  “Kami optimistis proyek ini bakal sukses secara ekonomi,” kata Zhao Goutang.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI  DPR RI (29/9/2015)  Deputi Bidang Jasa Keuangan, Jasa. Survei dan Konsultan Kementerian BUMN, Gatot Trihargo menjelaskan kronologi pinjaman kepada China Development Bank (CDB) senilai 3 juta dolar AS yang diperuntukan kepada tiga Bank BUMN (BNI, BRI dan Mandiri). Intinya kesepakatan itu bertujuan membiayai investasi sesuai perintah Jokowi menindaklanjuti kerjasama dengan Tiongkok. Masuknya duit senilai US$ 3 miliar dalam waktu tiga tahun itu juga dimaksudkan  memperkuat posisi Indonesia dan Bank Indonesia dalam menghadapi tekanan terhadap mata uang rupiah.

Hal lain adalah soal jangka waktu pembangunan.  Tiongkok menyanggupi membangun dalam jangka waktu tiga tahun.  Proposal Jepang membutuhkan waktu lebih lama. Jika Tiongkok mulai tahun ini, maka akan selesai pada 2018.  Ini berarti proyek selesai dan bisa dioperasikan setahun sebelum Pemilihan Umum 2019.

Meski baru memerintah satu tahun di periode pertama, banyak yang memprediksi bahwa Jokowi akan mencoba maju lagi untuk masa jabatan yang kedua. Keberhasilan membangun infrastruktur sebagaimana yang dijanjikan Jokowi saat kampanye Pilpres 2014, akan ditentukan antaralain oleh sukses atau tidaknya pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung.  Ibaratnya, pemerintahan Jokowi membawa Indonesia masuk ke era baru teknologi transportasi kereta api.  Menjadi yang pertama di kawasan ASEAN, memiliki jalur kereta api super cepat.   Ini bakal mendorong peluang terpilihnya kembali Jokowi.

Tiongkok membuktikan sanggup membangun jalur kereta api super cepat Beijing-Shanghai sepanjang 1.318 kilometer dalam waktu tiga tahun, lebih cepat dari rencana lima tahun.  Tapi, banyak kondisi yang berbeda, termasuk sistem politik yang memungkinkan kemudahan pembebasan lahan dan ketersediaan listrik yang cukup.  Ini tantangan membangun di Jakarta-Bandung.

Jadi, bukan soal keselamatan atau hitungan ekonomis belaka.  Bagi Jokowi, memilih Tiongkok panjang kalkulasinya.  Sepanjang persiapan dia melaju kembali pada pemilu 2019 dengan mengibarkan bendera sukses megaproyek teknologi tinggi.  Kalau itu memang sebuah lompatan katak (leap frog), mengapa tidak?  ###

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Kita Membiarkan Mereka Mati Perlahan-lahan
Next post
Duet Tommy-Timbo Umumkan Pengurus Baru Forum Pemred

3 Comments

  1. […] Padahal, sejak awal adalah Jokowi yang memikili preferensi untuk bermitra dengan Tiongkok di proyek prestisius kereta api super cepat dari Jakarta ke Bandung. Alasanya, selain kalkulasi ekonomi ada kalkulasi politik. […]

  2. […] Padahal, sejak awal adalah Jokowi yang memikili preferensi untuk bermitra dengan Tiongkok di proyek prestisius kereta api super cepat dari Jakarta ke Bandung. Alasanya, selain kalkulasi ekonomi ada kalkulasi politik. […]

  3. […] Padahal, sejak awal adalah Jokowi yang memikili preferensi untuk bermitra dengan Tiongkok di proyek prestisius kereta api super cepat dari Jakarta ke Bandung. Alasanya, selain kalkulasi ekonomi ada kalkulasi politik. […]

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *