HomePolitikMengapa Paris Menjadi Sasaran Serangan Teroris?

Mengapa Paris Menjadi Sasaran Serangan Teroris?

Tragedi #ParisAttacks jilid 2 terjadi hanya beberapa jam setelah Amerika Serikat melancarkan serangan udara menggempur markas ISIS di Suriah, dan disebut-sebut menewaskan ‘Jihadi John’.

TERLUKA. Seorang pria berlumuran darah di bajunya sedang menelepon rekannya, lokasi di sekitar gedung kesenian Bataclan, Paris, Perancis, 14 November 2015. Foto oleh Etienne Laurent/EPA
TERLUKA. Seorang pria berlumuran darah di bajunya sedang menelepon rekannya, lokasi di sekitar gedung kesenian Bataclan, Paris, Perancis, 14 November 2015. Foto oleh Etienne Laurent/EPA

Saya mendapat informasi mengenai serangan teroris di Paris, #ParisAttack jilid 2 yang sejauh ini menewaskan 129 orang, saat transit di bandara Doha International, Qatar, dalam perjalanan ke Miami, Amerika Serikat, 14 November.

Seluruh televisi di bandara megah itu menyiarkan breaking news saluran CNN. Saya sempat mengirimkan WhatsApp ke Duta Besar Indonesia di Paris, Letjen TNI (Purn) Hotmangaradja Panjaitan, menanyakan apakah ada korban warga negara Indonesia. Alhamdulillah sejauh ini KBRI belum menerima informasi ada korban WNI dalam serangan brutal itu.

Tiba di bandara internasional Miami, Florida, dampak pasca serangan teror di Paris mulai terasa. Penumpang pesawat Qatar QR 777 yang saya tumpangi harus menunggu agak lama di atas pesawat, dan begitu keluar pintu sudah disambut sejumlah petugas yang mengecek satu per satu paspor dan mewawancarai agak detil para penumpang. Ada dua pemeriksaan sebelum ke pintu imigrasi. Di bandara, ada tentara bersenapan laras panjang menjaga di beberapa sudut.

Paris, yang akan menjadi tuan rumah pertemuaan Conference of Parties (COP) 21 itu sebenarnya sejak 30 Oktober sudah mengetatkan keamanan di pintu perbatasan negara itu. COP 21, atau Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, akan digelar tanggal 30 November sampai 11 Desember 2015.

Puluhan kepala pemerintahan termasuk Presiden AS Barrack Obama dan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dijadwalkan hadir. Serangan Jumat malam ini seperti tamparan menyakitkan bagi keamanan dan intelijen Perancis.

Januari tahun ini, Paris juga diguncang tragedi penyerangan ke kantor redaksi Charlie Hebdo. Tragedi Charlie Hebdo mengoyak sendi kehidupan di negeri yang memiliki moto liberte, egalite, dan fraternite itu. Prinsip kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan yang didengungkan ratusan tahun dipertanyakan, apakah benar penerapannya?

Serangan teror bersenjata dan bom ke The City Of Light terjadi hanya beberapa jam setelah Pentagon mengumumkan serangan udara militer AS ke Raqa, sebuah kota di Suriah yang dipercayai menjadi salah satu pusat kegiatan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Jihadi John, warga Inggris yang namanya mendunia dan dianggap sebagai jagal yang secara sadis mengeksekusi tahanan ISIS, dikabarkan tewas dalam serangan udara itu. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan serangan udara militer AS adalah aksi membela diri, dan mengatakan kematian Jihadi John, yang nama aslinya adalah Mohammad Emwazi, belum bisa dipastikan.

Jihadi John, eksekutor ISIS, dilaporkan tewas dalam serangan udara oleh AS. Foto oleh AFP
Jihadi John, eksekutor ISIS, dilaporkan tewas dalam serangan udara oleh AS. Foto oleh AFP
Begitupun, analis menganggap jika benar Jihadi John tewas dalam serangan udara AS itu, maka kematiannya bisa dianggap sebagai martir oleh kelompok militan dalam ISIS. Melalui pernyataan yang dipublikasikan secara online, ISIS mengaku bertanggungjawab atas serangan berdarah di enam lokasi di Paris itu.

Pernyataan ISIS menanggapi kemarahan Presiden Francois Hollande yang mengatakan serangan itu adalah aksi perang yang dilancarkan ISIS kepada Perancis sebagai negara merdeka.

Baik dalam pernyataan di laman Internet maupun keterangan saksi mata, di antara teroris ada yang berteriak mengecam keterlibatan Perancis dalam serangan militer ke Suriah. Pihak ISIS mengatakan mereka menjadikan Perancis sebagai target utama serangan, dan tidak akan berhenti pada serangan Jumat ini.

Mengapa menyerang di Paris?

Dalam satu abad abad terakhir, Perancis diguncang 13 aksi teror berdarah. Dua serangan terakhir benar-benar mengguncang pemerintahan Hollande.

Ketika terjadi serangan pada Charlie Hebdo, isu diskriminasi yang memiliki sejarah panjang di Paris menjadi bahasan hangat. Paris, kota yang disebut sebagai kota yang romantis dan indah, menyimpan luka dalam akibat kekerasan dalam tindak bernuansa diskriminatif bagi kaum imigran.

Laman Guardian memuat tulisan Nabila Ramdani yang berjudul Charlie Hebdo: Don’t blame this bloodshed on France’s Muslims.

Saya kutipkan sebuah paragrafnya,“Sadly, the French capital has been associated with some of the worst barbarism in human history”.

Penerbit dan pemimpin redaksi tabloid Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, berpose di depan karya komiknya di Paris, pada 27 Desember 2012. Charbonnier tewas pada 7 Januari 2015 saat kantornya diserang. Foto oleh AFP
Penerbit dan pemimpin redaksi tabloid Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, berpose di depan karya komiknya di Paris, pada 27 Desember 2012. Charbonnier tewas pada 7 Januari 2015 saat kantornya diserang. Foto oleh AFP

Ramdani menuliskan mulai dari Revolusi 1789 yang menewaskan ribuan orang, banyak di antaranya dihukum pancung di depan publik. Pembunuhan massal terjadi di jalanan, alun-alun kota antara abad ke-19 dan 20, melalui dua masa perang dunia.

Pada yang kedua, puluhan ribu Yahudi dieksekusi dan dikirim ke kamp konsentrasi yang mematikan. Pasca perang banyak gendarmes, polisi militer Prancis yang mendapat pelatihan dari Gestapo, terlibat dalam aksi brutal terhadap warga Aljazair yang harus menyingkir dari negaranya karena memperjuangkan kemerdekaan dari jajahan Perancis.

Jadi, kata Ramdani yang tinggal di Paris, tiga orang Perancis keturunan Aljazair yang dipercaya bertanggungjawab atas kematian 12 orang dalam #ParisAttack jilid 1, 7 Januari 2015 boleh jadi adalah aktivitas “kini” dari bentuk perlawanan yang pernah terjadi tahun 1960-an, ketika mereka memindahkan medan perang di Aljazair ke Paris.

Sebuah insiden berdarah tahun 1961, menyebabkan 200 orang Aljazair dibantai di area berbagai monumen populer di Paris, termasuk di sekitar Menara Eiffel dan Katedral Nortre Dame. Sejumlah jembatan cantik di sepanjang Sungai Seine menjadi saksi banyaknya orang keturunan Aljazair yang dibenamkan di sungai itu sampai mati.

Ramdani mengingatkan sejarah panjang diskriminasi dan kekerasan yang dialami minoritas yang tinggal di Paris. Kini Paris menjadi rumah bagi sekitar 4 juta warga Muslim, terbesar di Eropa. Sebagian besar berasal dari negara Afrika, negara bekas jajahan Perancis.

Politisi di Perancis, baik dari sayap kiri maupun kanan, sudah terbiasa menyalahkan Islam sebagai penyebab beragam bentuk problem sosial yang terjadi di sana. Problem sosial yang sebenarnya dipicu oleh diskriminasi di semua lini, termasuk dalam hak mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Sebenarnya, tidak ada kaitannya dengan agama.

Polisi menemukan sidik jari Cherif Kouachi, salah satu pelaku tragedi serangan ke Charlie Hebdo, dalam barang yang disita dari rumahnya. Di antaranya bendera “jihadi” yang biasa digunakan kelompok Al-Qaeda dan ISIS.

Kita mengikuti, sesudah serangan berdarah ke kantor media Charlie Hebdo, sejumlah masjid di sekitar Paris menjadi target kemarahan publik. Kekerasan, sebagaimana sejarah Paris, pula sejarah dunia, selalu memancing kekerasan. Begitu siklusnya.

“Menimpakan kesalahan pada jutaan Muslim Perancis yang tinggal di sana dan mematuhi hukum yang berlaku, adalah sama sinisnya dengan mereka yang mencoba menyalahkan sekelompok penulis dan seniman kartun,” kata Ramdani.

Saya menyepakati apa yang menjadi keresahan Ramdani, pula sikapnya.

Setelah terjadinya #ParisAttacks jilid dua, saya yakin Ramdani makin resah. Begitu pula rakyat Perancis, pula masyarakat di kawasan Uni Eropa. Sejak berdiri, ISIS menargetkan rekrutmen di kawasan Eropa. Pernyataan bertanggungjawab atas serangan berdarah Jumat ini bakal membuat fobia terhadap Islam menguat di sana, begitu pula sikap terhadap kaum imigran.

Sejumlah tokoh Islam dunia mengecam tindakan teror yang justru menyerang Islam, karena membawa nama Islam dalam nama kelompok dan seruan “Allahu Akbar. Hal serupa terjadi setiap kali ada aksi teroris yang membawa nama Islam di Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa semangat kelompok militan Islam redup.

Teror, sebuah aksi kekerasan yang bertujuan menyebarkan ketakutan di masyarakat memang bisa dilakukan oleh siapa saja, agama maupun kelompok mana saja. Teror bom di Mal Alam Sutra Oktober lalu, misalnya dilakukan oleh Leopard Wisnu, seorang beragama Katolik. Sejauh ini motifnya ekonomi.

Anders Behring Breivik, pelaku Bom Oslo mengatakan bahwa aksi teror yang dia lakukan bertujuan mencari perhatian atas manifesto yang dibuatnya, Deklarasi Kemerdekaan Eropa. Di dalamnya terkandung sikap Islamofobia, anti-feminisme dan anti-budaya Marxisme.

Begitupun, aksi teror yang mengatasnamakan Islam memang menjadi sorotan dunia sejak Tragedi 11 September 2001. Sejak itu, AS memimpin koalisi perang melawan teror dan mengajak serta sekutunya, terutama di Eropa, termasuk Perancis, negeri yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di Eropa, dengan masyarakat yang majemuk.

Mudah “terbakar” isu diskriminasi. Perancis misalnya memberlakukan larangan penggunaan hijab di bagi perempuan Islam. Aturan yang membatasi kemerdekaan berekspresi ini didukung oleh publik di sana termasuk politisinya.

Di luar isu internal, Perancis tergolong negara yang paling getol mendukung perang melawan kelompok militan Islam di sejumlah negara. Sedikitnya 10.000 tentara Perancis diterjunkan di beberapa kawasan di Afrika yang memiliki penduduk Islam cukup besar, termasuk di dalamnya 3.200 di Irak, memerangi ISIS.

Perancis juga mengalami problem radikalisasi di penjara. Meskipun data pastinya sulit dicari, namun diperkirakan 70 persen dari tahanan di penjara di Perancis beragama Islam. Bandingkan dengan di Inggris yang sekitar 14 persen. Mereka yang pernah dipenjara karena aksi teror, justru kian radikal dan mengulangi aksinya.

Faktor internal dan politik luar negeri Perancis membuat serangan teroris dengan mengatasnamakan Islam besar kemungkinan terjadi di sana. Ini yang kita lihat dengan #ParisAttacks jilid 1 dan 2.

ISIS merasuk dalam, melalui media sosial maupun ke kalangan birokrasi

Apa yang terjadi di Paris harus menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia. Perasaan diperlakukan tidak adil menjadi lahan subur bagi gerakan militan dalam menanamkan ideologi politiknya. Motif ekonomi menyertai, sebagaimana dalam beberapa kasus bergabungnya sejumlah warga Indonesia dengan ISIS di Suriah.

Saya pernah menuliskan mengapa mereka susah payah ke Suriah.

Data Badan Penanggulangan Nasional Anti Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa pengikut ISIS di Indonesia sudah tersebar di 10 kota.

Screenshot dari YouTube video pada 23 Juli 2014, menampilkan seorang WNI mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS
Screenshot dari YouTube video pada 23 Juli 2014, menampilkan seorang WNI mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS

Mereka yang bergabung dengan ISIS memiliki beragam profesi. Ridwan Agustin dan Tommy Hendratno, misalnya, adalah dua pilot asal Indonesia yang diduga kuat bergabung dengan ISIS.

Tommy, yang mantan anggota TNI disebut pernah mendapat melatihan kemiliteran di Perancis, adalah polisi federal Australia yang pertama kali mencium keterlibatan keduanya dengan ISIS.

Awal November ini, BNPT mengungkapkan bahwa salah satu direktur di Badan Pengelola Batam, diduga kuat bergabung dengan ISIS. Deputi BNPT Brigadir Jenderal Polisi Hamidin mengatakan bahwa Dwi Djoko Widodo, direktur itu, diduga bergabung dengan ISIS sejak beberapa bulan lalu.

“Ini menunjukkan ISIS sudah masuk ke mana-mana,” kata Hamidin.

Sebuah riset menunjukan bahwa perilaku online dan penggunaan sosial media di kalangan ekstrimis di Indonesia membuat propaganda ISIS mencapai cakupan yang lebih luas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Insitut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) mengatakan bahwa pemerintah tidak akan dapat melawan gerakan tersebut kecuali mereka mampu melatih para ahli agar dapat menganalisis isi komunikasi para ekstrimis tersebut .

Riset yang dirilis pada 30 Oktober ini menjelaskan bagaimana para ekstrimis di Indonesia menggunakan Facebook, Twitter, dan beberapa aplikasi telepon seluler seperti WhatsApp dan Telegram.

Penelitian ini membagi analisanya menjadi empat periode, 1999-2003 periode Jemaah Islamiyah, 2004-2009 periode Noordin, 2010-2013 periode pasca kamp pelatihan di Aceh, dan 2014-2015 ketika ISIS mulai muncul.

“Propaganda ISIS disebarluaskan melalui media sosial dan dapat mendoktrin para penonton agar tertarik dengan ISIS,” tutur Direktur IPAC Sidney Jones dalam rilisnya.

“Namun yang paling memengaruhi seseorang adalah saat mereka mulai bergabung dengan kelompok diskusi radikal.”

Data Gedung Putih, yang tahun lalu mengadakan seminar anti-terorisme, menunjukkan bahwa setiap hari setidaknya 90 ribu konten bermuatan kekerasan dan ekstrimisme dimuat ke ranah Internet, oleh ISIS, dan afiliasinya.

Bagaimana meredam paham radikal?

Perang melawan teror di dunia maya menjadi semakin sulit karena unsur anonimitas. Pemerintah juga memiliki kesulitan untuk memonitor, termasuk menutup situs maupun akun media sosial yang menebar paham radikal. Panduan membuat alat ledak dan berjihad berserakan di dunia maya.

“Hati-hati jika punya anak yang gemar menutup diri di kamar, atau menyendiri dalam mengakses Internet. Kalau dia mengakses konten porno, masih mendingan. Jika yang diakses adalah situs radikal, itu artinya musibah besar bagi keluarga,” kata Abdul Rahman Ayub dalam diskusi mengenai ancaman ISIS yang diadakan perkumpulan Eisenhower Fellowships, Maret 2015.

Abdul adalah mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI), veteran perang Afghanistan, dan pernah menjadi sosok yang paling dicari oleh pemerintah Australia. Tahun 1997,dia dikirim ke Australia oleh tokoh pemimpin Jamaah Islamiyah saat itu, Abu Bakar Ba’asyir, pendiri pesantren Al Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah. Tujuannya merekrut pengikut muda dan mengajarkan paham Islam radikal.

Kisah Abdul Rahman Ayub yang kini insyaf bisa dibaca di sini.

Alwi Shihab, utusan khusus Presiden untuk wilayah Timur Tengah menyoroti pentingnya pelajaran agama yang benar di berbagai tingkatan dan sekolah.

Sensor dan blokir menurut saya bukan cara tepat, karena siapapun yang memiliki tujuan politik apalagi membawa sentimen agama akan menemukan cara mencapai tujuanya, termasuk menggunakan ranah media sosial. Memasok sebanyak mungkin konten positif adalah solusi yang lebih baik. Ini dari segi komunikasi publik.

Di luar itu, yang paling penting adalah belajar dari bahaya tindak diskriminatif yang dilakukan negara terhadap warganya, yang menjadi pemicu ketidakpuasan dan perasaan diperlakukan tidak adil.

Dari kacamata kelompok manapun, agama manapun, perasaan ketidakadilan yang menumpuk, membara bagaikan lava panas, bisa membakar dendam, mengarahkan kepada tindakan radikal yang mengancam kemanusiaan dan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Yang terjadi di Paris bisa terjadi di mana saja, jika masalah yang sama ada. Bisa juga dengan alasan lainnya. Politik, ekonomi, atau sebenarnya aksi kriminal luar biasa yang dilakukan mereka yang tak menghargai kemanusiaan.

Itu sebabnya kita perlu mengutuk keras siapa pun pelaku teror, dengan alasan apapun. Selain mengutuk keras, kita juga perlu melongok ke dalam diri sendiri #notetoself.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Di Puncak Gunung Ijen, Kami Mengenang Jasa Para Pahlawan
Next post
4 hal tentang Indonesia di KTT Perubahan Iklim COP 21

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *