HomePolitikPilkada Serentak 2015 dan Skandal #PapaMintaSaham

Pilkada Serentak 2015 dan Skandal #PapaMintaSaham

Hasil Pilkada 2015 akan menentukan apakah kita akan miliki pemimpin yang bersih dan mampu membangun daerahnya, atau menghasilkan kualitas pemimpin yang berujung di jerat pidana korupsi.

Aktivis memakai topeng bergambar Ketua DPR RI Setya Novanto melakukan teatrikal Catut Jumbo di Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 2015. Foto oleh Maulana Surya/Antara
Aktivis memakai topeng bergambar Ketua DPR RI Setya Novanto melakukan teatrikal Catut Jumbo di Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 2015. Foto oleh Maulana Surya/Antara

Debat paling hangat di ruang-ruang negosiasi di Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) 21, di Paris adalah menyangkut hal paling krusial: Uang.

Pada 2009, negara kaya berjanji untuk memobilisasi 100 miliar dolar AS untuk membantu negara berkembang mengatasi dampak perubahan iklim mulai 2020.

Apakah uang swasta termasuk di dalam pendanaan ini? Apakah bentuknya hibah atau pinjaman? Bagaimana dengan penggunaan uang dari negara kaya? Lembaga multilateral? Lembaga pendanaan pembangunan? Berapa untuk mitigasi? Berapa untuk adaptasi?

Berapa banyak Indonesia akan mendapatkan dana itu mengingat kita negara besar yang menjadi paru-paru dunia dengan 130 juta hektar hutan?

Uang, uang, uang. Itu salah satu pokok bahasan penting di COP 21.

Sekjen PBB Ban Ki-moon saat menyampaikan pidato di COP 21, Paris, Prancis, pada 7 Desember 2015. Foto oleh Pia Ranada/Rappler
Sekjen PBB Ban Ki-moon saat menyampaikan pidato di COP 21, Paris, Prancis, pada 7 Desember 2015. Foto oleh Pia Ranada/Rappler

Saya mengikuti proses negosiasi di COP 21 seraya memantau sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyangkut kasus “Papa minta saham”, kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur Sumatera Utara dan istrinya, serta persiapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2015.

Mengetahui alotnya perundingan soal duit di COP 21, saya jadi berpikir, “Jika tidak ada korupsi, jika kepala daerah yang kita pilih adalah figur yang punya integritas dan visioner, kita tidak perlu capek-capek mengharapkan kucuran duit dari negara kaya yang entah kapan terwujud. Kita bisa melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan duit sendiri”.

Memerangi perubahan iklim adalah sebuah tugas kemanusiaan untuk kelanjutan hidup penghuni bumi. Untuk menyediakan rumah yang sehat dan nyaman bagi generasi penerus. Bagi anak dan cucu kita. Meminjam kalimat Presiden Amerika Serikat Barack Obama, memerangi perubahan iklim adalah solusi buat semuanya, termasuk bagi radikalisme dan aksi terorisme yang ada di mana-mana.

Perubahan iklim adalah tugas dan misi kemanusiaan. Apakah kita harus bergantung pada belas kasih negara kaya? Bukankah mereka juga, yang melalui perusahaan-perusahaannya, mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pertengahan tahun ini merilis bahwa ada 56 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum di KPK. Mereka terdiri dari gubernur, wakil gubernur, wali kota, bupati, dan wakil bupati.

Rata-rata mereka terjerat kasus penyalahgunaan wewenang, baik dalam hal pengelolaan anggaran dan aset daerah, maupun menerima duit haram terkait perizinan di daerah.

Lembaga swadaya masyarakat untuk urusan anti-korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), merilis bahwa pada 2014, kerugian akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 529 triliun.

Dari satu kasus yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya saja, ada dugaan kerugian Rp 2 triliun.

Katakanlah hitungan ICW itu benar. Kalaupun meleset, jika benar 50 persen, maka jumlah duit yang seharusnya untuk pembangunan dan kegiatan yang penting bagi kelanjutan manusia dan kemanusiaan, sampai memelihara lingkungan hidup, hilang Rp 260-an triliun.

Jika itu tidak terjadi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo tak perlu keliling dunia berbicara, This is your opportunity”, atau “Please invest”, atau “Silakan datang ke Indonesia”.

Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi tidak perlu mundur karena merasa gagal target pajak tak tercapai.

Kita, dengan kekayaan bumi dan pemikiran kreatif manusia Indonesia, bisa membangun negeri ini lebih besar dengan kekuatan sendiri, dan kolaborasi pihak luar negeri dalam semangat kesetaraan.

Petugas membongkar alat peraga kampanye bergambar pasangan calon wali kota/wakil wali kota dalam Pilkada Surabaya 2015 di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Desember 2015, yang sudah melampaui masa kampanye. Foto oleh Didik Suhartono/Antara
Petugas membongkar alat peraga kampanye bergambar pasangan calon wali kota/wakil wali kota dalam Pilkada Surabaya 2015 di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Desember 2015, yang sudah melampaui masa kampanye. Foto oleh Didik Suhartono/Antara
Ini yang membuat saya berpikir, pilkada serentak pada 9 Desember 2015 menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Pilkada yang melibatkan lebih dari 100 juta pemilih di 260 kabupaten kota dan sembilan provinsi itu, menentukan apakah kita berhasil memilih pemimpin daerah yang bersih, berwibawa, memiliki visi membangun Indonesia yang lebih baik.

Pilkada serentak 2015 yang terjadi di 32 dari 34 provinsi ini akan mencatat sejarah, bukan karena kita bisa menyelenggarakan pemilihan umum yang serentak, nasional dan tergolong paling kompleks di dunia. Jika itu yang dituju, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah cuma boleh menepuk dada karena berhasil menjadi event organizer (EO) pemilu dan pilkada.

Yang lebih penting dari itu adalah kualitas penyelenggaraan dan hasilnya.

“Pilkada penting sebagai ekspresi dan ekspektasi masyarakat akan hadirnya pemimpin yang dapat menyejahterakan daerahnya,” kata Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Natalia Soebagjo, ketika saya kontak Senin pagi.

Ia mengingatkan bahwa pilkada serentak memiliki tantangan dalam memastikan aspek keadilan dan kejujuran.

Data Institut Konstitusi dan Demokrasi menunjukkan bahwa pilkada kali ini akan diikuti juga oleh 14 calon kepala daerah dan tiga calon kepala daerah yang terpidana korupsi.

Apakah pemilih akan menyerahkan masa depannya kepada mereka? Dan mengambil risiko para pemimpin daerah itu tak lebih baik kelasnya dibanding nama-nama yang disebut dalam skandal “Papa minta saham”?

Di Paris, saya mengintip informasi dari ruang-ruang negosiasi di COP 21, dan menelusuri tempat-tempat yang menjadi sasaran serangan teroris yang mematikan pada 13 November 2015. Dunia berkembang dengan ancaman dan tantangan yang kian kompleks.

Mereka yang menang dalam pilkada serentak 2015 harus menjawab ancaman dan tantangan itu bersama seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Menyimak Pesona Al Gore di COP 21
Next post
6 Catatan Saya dari COP 21 di Paris

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *