HomeInspirasiIndonesia Cina, Setelah 40 Tahun Wafatnya Mao Zedong

Indonesia Cina, Setelah 40 Tahun Wafatnya Mao Zedong

Presiden Soekarno dan Mao Zedong, di Beijing, 1956. Sumber foto: historum.com

Presiden Soekarno dan Mao Zedong, di Beijing, 1956. Sumber foto: historum.com

JUMAT pagi lalu, Zhang Hongliang, 60 tahun, profesor pada Minzu University, Beijing, bergegas meninggalkan rumahnya. Ia menuju ke sebuah tempat rahasia di bagian barat laut Beijing, bertemu teman-temannya. Mereka bersua untuk menyanyikan puja-puji bagi Mao Zedong.

Terilhami oleh ucapan-ucapan Mao, Zhang, dan teman-temannya sesama akademisi, berkumpul untuk mengheningkan cipta selama semenit. Mereka kemudian berpidato ihwal kehebatan Sang Pemimpin Rakyat, Mao Zedong. Pertemuan itu kemudian ditutup dengan The Internationale, nyanyian pergerakan yang mengusung semangat perjuangan kaum yang hina serta tertindas.

Kalau kami melupakan pemikiran Mao, Cina tak akan memiliki masa depan, kata Zhang, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh vokal kelompok neo-Maois. Tanpa ada Ketua Mao, tak ada Cina baru, lanjutnya, sebagaimana dikutip koran Inggris, The Guardian, edisi Minggu 11 September 2016.

Situasi di Cina, dalam hal kembali ke nilai-nilai dasar, mirip yang terjadi di Indonesia. Dewasa ini kita melihat banyak tokoh yang menilai, pemerintah, legislatif, juga generasi baru, melupakan nilai-nilai dasar berbangsa Indonesia. Sehingga muncul tuntutan agar UUD 1945 dikembalikan ke bentuk sebelum diamandemen.

Gambar Mao Zedong di Lapangan Tian Anmen. Foto oleh Uni Z. Lubis

Gambar Mao Zedong di Lapangan Tiananmen. Foto oleh Uni Z. Lubis

Di Cina, foto Mao masih dipasang di mana-mana. Di Lapangan Tiananmen, kawasan yang lapang dan luas di pusat kota Beijing, foto Sang Ketua terpampang dengan mencolok. Di berbagai daerah, monumen baru dalam bentuk patung Mao juga didirikan. Gambar Mao juga tersimpan di dompet dalam bentuk gambar duit. Meski demikian, perayaan wafatnya Mao tak berlangsung meriah. Masyarakat merayakannya, tanpa dukungan pemerintah.

Di Tangshan, kawasan industri yang luluh lantak akibat gempa bumi sebulan sebelum wafatnya Mao, para pendukungnya memperingati kematian Mao dengan festival puisi, wayang boneka, kaligrafi, dan mendongeng.Sebuah foto yang dipublikasikan oleh situs berita Huan Bohai menunjukkan sekumpulan warga berdiri mengelilingi spanduk: Ketua Mao adalah Nomor Satu

Koran di Beijing melaporkan ratusan pendukung Mao berkumpul di Lapangan Tiananmen. Di situ, jasad Ketua Mao dibalsam. Jasad itu dibaringkan di sebuah marmer panjangnya tiga meter, disimpan di sebuah moseleum yang dibuka untuk umum sejak 1977.

arton553 (1)

Perjalanan saya tak lengkap bila saya tak menyaksikan jasad Sang Ketua,kata seorang peziarah, Huang Xin, 56 tahun. Setelah berhasil menyaksikan jasad Sang Ketua, mata Huang berkaca-kaca. Air matanya menetes. Generasi kami memiliki ikatan mendalam dengan beliau. Beliau berhasil menciptakan masyarakat yang harmonis. Warga saling percaya satu dengan lainnya, tanpa saling mencurangi. Tidak seperti saat ini, lanjutnya.

Perayaan wafatnya Mao juga berlangsung di dunia maya. Saat ini terdapat sekitar 710 juta warga Cina yang terhubung lewat dunia maya. Sekitar 2,5 juta di antaranya berpartisipasi di acara kampanye meletakkan karangan bunga, di aplikasi pesan WeChat.

Meski demikian, Mao memiliki sisi muram, di tengah gencarnya kelompok neo-Maois mengabarkan kebaikan Sang Ketua. Saya melihatnya sebagai salah satu penjahat terbesar di abad ke-20, kata Frank Diktter, sejarawan dari Belanda yang sudah menulis tiga buku mengenai kejahatan Mao semasa memerintah.

Akibat kebijakan Mao untuk menggencarkan industrialisasi, yang dikenal sebagai Lompatan Jauh ke Depan, sebanyak 45 juta diperkirakan meninggal kelaparan pada akhir 1950-an. Sekitar 2 juta warga meninggal akibat pergolakan politik yang dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan, yang dimulai 50 tahun lalu dan baru berakhir pada saat kematian Mao pada 1976.

Sikap Pemerintah Cina terhadap Mao sebenarnya gampang ditebak. Di satu sisi menghargai jasa Mao sebagai pemersatu bangsa, namun di sisi lain tragedi memilukan di era Mao tak boleh terulang. Sikap itu bisa dibaca melalui Harian Rakyat, koran yang menjadi corong resmi Pemerintah, edisi 17 Mei 2016.

Saya kutipkan di sini tulisan di Harian Rakyat itu. Cina harus belajar dari Revolusi Kebudayaan yang panjang dan rusuh itu, dan tak boleh mengulangi kesalahan serupa. Kita tidak boleh melupakan bahwa Revolusi dari 1966 hingga 1976 itu, yang diumumkan sebagai peperangan kelas, membuat Cina terjebak ke dalam kekerasan dan kekacauan,tulis Harian Rakyat.

Lanjutnya, Selama Revolusi Kebudayaan, ekonomi mandek. Sekolah-sekolah ditutup. Beberapa sejarawan memperkirakan sebanyak 1,5 juta jiwa meninggal, dan jutaan orang jadi korban politik.

Untuk memperingati 50 tahun Revolusi Budaya, yang dimulai pada 16 Mei 1966, Harian Rakyat menulis bahwa Sejarah membuktikan bahwa Revolusi Budaya salah dalam teori dan praktek. Gerakan itu tidak akan membuat revolusi atau kemajuan, dalam hal apapun. Cina harus belajar dari kehancuran begitu besar yang diakibatkan Revolusi Budaya, lanjut Harian Rakyat.

****

Kalau ukurannya adalah seberapa banyak Indonesia disebut dalam buku biografinya, Indonesia bukanlah bagian penting bagi kehidupan Mao. Di buku biografi tak resmi mengenai Mao, berjudul The Private Life of Chairman Mao. The inside story of the man who made modern China, kata Indonesia tak disebut. Yang ditulis adalah Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sebanyak dua kali, di halaman 273 dan 499.

Penyebutannya pun tidak panjang. Di halaman 273 misalnya, disebut bahwa pada September 1956, pemimpin Indonesia, Sukarno, berkunjung ke Cina. Mao menemani Sukarno dalam iring-iringan, dengan mobil terbuka.

Di halaman 499, nama Sukarno disebut lagi. Ketika itu, Sukarno ditemui Wang Guangmei, istri Liu Shaoqi, salah satu pemuka politik Cina ketika itu. Wang menggunakan baju tradisional Cina yang dihiasi untaian mutiara dan perhiasan lain yang mahal. Dandanan Wang itu, oleh lawan politiknya dinilai sebagai gaya hidup borjuis, dan dijadikan salah satu senjata untuk menghujatnya.

Bagi Indonesia, Mao pernah menjadi tokoh yang memiliki pengaruh kuat. Kejayaan Partai Komunis Indonesia di masa lalu tak lepas dari pengaruh Partai Komunis Cina. Bahkan menurut sebuah teori, tragedi G30S muncul setelah adanya nasihat Mao Zedong, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Cina dari 19 Juni 1945 -9 September 1976.

Nasihat itu bisa dibaca di buku Kudeta 1 Oktober: Sebuah Studi tentang Konspirasi, yang diterbitkan oleh Penerbit Obor. Sebagian naskahnya bisa Anda nikmati di Google book. Penulisnya adalah Victor Miroslav Fic, sejarawan dari Ceko yang menjadi profesor emeritus bidang sejarah di Selama lebih dari 35 tahun Departemen Politik Universitas Brock, ST Catharines, Kanada. Ia menulis buku ini untuk keperluan disertasinya.

Dialog antara Mao Zedong dengan Dipa Nusantara Aidit itu didapat Victor Miroslav Fic setelah lebih dari 35 tahun, menelisik data pergolakan politik yang dikenal sebagai G30S PKI itu. Fic menyatakan tragedi kudeta 1 Oktober 1965 itu merupakan konspirasi antara Soekarno-Aidit-Mao Zedong untuk membersihkan pucuk pimpinan Angkatan Darat.

Saya kutip di sini tulisan karya Muhammad Subarkah di koran Republika, yang juga dimuat di milis ppiindia, bahwa rencana kudeta itu bermula pada sebuah kejadian yang menimpa mendiang Presiden Soekarno di Istana Mereka pada 4 Agustus 1965. Saat itu kesehatan Si Bung semakin memburuk. Ia sempat jatuh pingsan empat kali dan muntah-muntah 11 kali akibat gangguan ginjal akut.

Tim dokter Presiden yang berasal dari Cina itu yakin bahwa umur Soekarno sudah di ujung tanduk. Hanya dengan satu serangan lagi, berupa pingsan dan muntah, Presiden akan meninggal. Ia setiap saat bisa meninggal atau lumpuh.

DN Aidit dan Mao Zedong, Beijing, 1965. Sumber foto:

DN Aidit dan Mao Zedong, Beijing, 1965. Sumber foto: Indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com

Memburuknya kesehatan Presiden kemudian menyebar ke segenap penjuru petinggi politik. Aidit yang saat itu sedang berada di Cina pun mendapat kabar buruk tersebut. Esok harinya, yakni pada 5 Agustus 1965, ketika bertemu dengan Mao Zedong, di sebuah kawasan Zhongnanhai, Peking, keduanya mendiskusikan kondisi Presiden Soekarno. Aidit meminta nasihat mengenai apa yang harus dilakukan bila Presiden meninggal.

Dijawab oleh Mao, Habisi para jenderal dan perwira senior itu dalam sekali pukul!

Selang dua hari kemudian, pada 7 Agustus Aidit beserta rombongannya dengan pesawat yang disediakan Cina pun pulang ke Tanah Air. Setelah mendarat di Kemayoran ia langsung ke Istana menemui Soekarno. Fic di dalam buku ini menulis, karena seriusnya topik pembicaraan, maka Aidit perlu mengulang pertemuan dengan Presiden keesokan harinya di Istana Bogor.

Dalam pertemuan Aidit dengan Presiden di kamar tidurnya, berdua saja di Istana Bogor itulah Aidit menyampaikan pokok-pokok utama pesan Mao, tulis Miroslav Fic. Pertemuan antara Aidit dan Soekarno tidak ada catatan tertulisnya karena sifatnya sangat rahasia. Namun, salah satu hasilnya adalah Soekarno sepakat pergi ke Cina untuk beristirahat panjang di Danau Angsa.

Fic bahkan menyimpulkan Soekarno, Aidit, dan Mao kemudian menyepakati sebuah perjanjian seperti yang ditulis sendiri oleh Aidit dalam suratnya tertanggal 10 November 1965 yang ditujukan kepada para kader partai: Sosro (Soekarno Red) dan Tjeweng (Soebandrio): jelas tidak membuktikan kesetiakawanan apalagi memenuhi janji yang telah diucapkan, sebab dari sana semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan digugat terus. Dalam memperjuangkan konsep, partai kita tidak peduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban bila tidak memenuhi perjanjian, tulis Aidit yang ditujukan kepada CBD PKI se-Indonesia.

Gerakan 30 September itu kemudian terbukti gagal. Aidit dan PKI malah menjadi korban. Bila penuturan Fic benar, Mao Zedong turut berperan di balik tragedi memilukan ini.

Aidit meninggal ditembak oleh tentara yang memburunya, pada 22 November 1965, di Boyolali. Kematiannya diratapi oleh tokoh Komunis dunia. Presiden Kuba Fidel Castro mengutuk ditembaknya Aidit, yang tanpa melalui proses pengadilan itu. Mao Zedong, yang juga mentor Aidit, menuangkan kesedihannya atas wafatnya sang murid melalui sebuah puisi:

Belasungkawa Untuk Aidit

(Dalam irama Pu Suan Zi)

Di jendela dingin berdiri reranting jarang,
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama,
di musim semi malah jatuh berguguran

Kesedihan tiada tandingan,
mengapa gerangan diri mencari kerisauan,
Bunga telah berguguran, di musim semi nanti
pasti mekar kembali,
simpan harumwanginya hingga di tahun mendatang.

MAO ZEDONG

****

Dua puluh tahun setelah tragedi G30S, hubungan diplomatik Indonesia- Cina baru dipulihkan melalui sebuah nota kesepahaman. Lima tahun kemudian, pada 1990, hubungan diplomatik Indonesia-Cina sepenuhnya pulih. Setelah itu, kehadiran Cina semakin terasa. Lihatlah, jangan-jangan pesawat telepon, AC, kulkas, dan komputer yang Anda gunakan saat ini buatan Cina, negeri yang dirintis oleh Mao Zedong.

Iwan Qodar Himawan

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Belajar Membangun Wisata Berbasis Komunitas Dari Masyarakat Dieng
Next post
FOTO: Salat Idul Adha di Masjid “Jalan Sapi” di Beijing

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *