HomeMediaBelajar Kesalahan Saat Breaking News

Belajar Kesalahan Saat Breaking News

By Angghi Muliya Ma’mur
Senior Manager Digital Media di ANTV

Notes: Desember 2014, saat terjadi tragedi yang menimpa pesawat Air Asia QZ 8501, publik mengkritisi bagaimana media, terutama televisi, meliput kejadian mengenaskan ini. Potensi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik mudah terjadi saat Breaking News, terutama karena persaingan antar media, adu cepat. Saat peristiwa ini terjadi, saya sudah bergabung dengan Rappler Indonesia. Saya meninggalkan ANTV pada Oktober 2014. Cukup lama saya distasiun televisi itu, sejak Februari 2006. Sebelumnya saya bergabung dengan TV7 sejak 2001. Saya mengenal Angghi di TV7, sebagai reporter angkatan pertama. Sebagai jurnalis TV dia saya kategorikan sosok yang paling lengkap. Sampai sekarang. Dia juga menguasai aspek teknis di Master Control Room. Gak gaptek lah.

Berprestasi sejak awal. Menang Lomba Jurnalistik TV. Selalu dalam kategori terbaik dan karenanya cepat “naik pangkat”. Selalu mengambil hikmah dan belajar, meskipun pelajaran itu disampaikan secara “keras” bahkan “brutal” oleh senior-seniornya. Yg “brutal” bukan saya sih. Kalau “keras” iya.

Hasilnya? Kepercayaan full dari organisasi atas kemampuannya mengelola bidang apapun, termasuk multimedia. Sampai sekarang. Angghi juga moga2 menjadi doktor yang mumpuni di bidang media convergence. Master-nya sudah.

Saat itu, dia membaca “friendly reminder” saya di media sosial agar teman-teman televisi memperhatikan KEJ. Dia lantas menuliskan tulisan di bawah ini di status Facebooknya. Saya salin untuk terbit di blog agar bisa dibaca setiap saat melalui tautan yang saya sebarkan. Saya sendiri lupa akan detil-detil saat kejadian itu. Terlalu banyak breaking news dan peristiwa penting yang saya alami dengan teman-teman selama di TV.

Thanks Angghi.

***

Pelajaran dari Pelanggaran Kode Etik

Dua hari terakhir social media diramaikan dengan etika stasiun televisi berita di Indonesia yang sangat buruk dalam menayangkan breaking news penemuan korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501. KPI bahkan mengeluarkan surat sanksi teguran tertulis bagi 3 stasiun TVOne serta peringatan bagi Metro TV dan TVRI http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32455-liputan-evakuasi-korban-air-asia-kpi-jatuhkan-sanksi-pada-tv-one.

BREAKING NEWS, Adrenalin dan Stress
Menjadi produser program breaking news selalu membuat adrenalin menjadi tinggi, apalagi kompetisi dengan stasiun televisi lain untuk paling pertama menyiarkan breaking news menambah tinggi tekanan stress. Saya jadi teringat kali pertama menjadi produser breaking news di stasiun televisi TV7 milik kompas yaitu pada 5 september 2005. Saat itu saya baru 3 bulan menjadi assistant produser program berita kriminal bernama TKP.

Redaksi TV7 menerima kabar jatuhnya pesawat pada jam 11.00, bertepatan dengan saat on air program berita kriminal TKP. Kebetulan saat itu, saya yang memegang kendali program karena produser saya sedang tidak hadir. Saya masih ingat Pemimpin Redaksi Bambang SK dan Wakil Pemimpin Redaksi Uni Z Lubis naik bersamaan ke ruang kontrol studio news di lantai PH 1 gedung Wisma Dharmala tempat saya tengah mengendalikan siaran kriminal. Mereka langsung meminta saya memasukkan berita jatuhnya pesawat dalam bentuk Reader oleh presenter.

Saya juga langsung melakukan siaran hubungan telepon dengan kontributor TV7 di Medan yaitu Budiman Amin Tanjung (kami memanggilnya dengan BAT) untuk memberikan informasi terkait data awal jatuhnya pesawat. Siaran program kriminal berakhir pukul 11.30. Saat saya turun ke lantai 21 yaitu ruangan redaksi, Mbak Uni Lubis kembali memerintahkan saya naik kembali ke ruangan kontrol studio untuk breaking news karena sebentar lagi akan ada feeding satelit dari BAT mengirimkan gambar pertama di lokasi jatuhnya pesawat di jalan Jamin Ginting, Medan.

Saya pun langsung naik kembali ke ruang kontrol, dan kembali memanggil semua kru studio yaitu cameraman, audioman, VTR man dan grafis termasuk Program Director yaitu Tono, sahabat saya. Inilah detik-detik saya pertama kali memegang breaking news.

Program breaking news adalah menyiarkan program tanpa terencana. Sifatnya yang dadakan membuat program ini terkadang tanpa rundown atau urutan berita bahkan tidak tahu informasi apa yang akan saya siarkan karena semuanya akan terjadi tanpa melalui proses editing baik itu naskah ataupun gambar.

Saat itu belum dikenal istilah streaming video melalui internet. Sehingga setiap hari gambar dari luar Jakarta dikirim lewat cargo pesawat ataupun feeding satelit dari PT Telkom di daerah jika urgent. PT Telkom biasanya memberikan durasi minimal 10 menit bagi satu kali feeding dengan harga per menit saat itu 8 dollar amerika, sangat mahal dibandingkan sekarang melalui streaming internet. BAT menggunakan feeding satelit untuk mengirim gambar bagi keperluan breaking news.

Sebuah Kesalahan Etika Demi Kecepatan

Sifat breaking news yang mendadak membuat kami harus bertindak cepat, siaran kami mulai saat detik pertama menerima gambar video dari feeding satelit medan oleh BAT. Operator feeding merekam gambar ke kaset, dan di saat bersamaan gambar kami terima di studo dan langsung disiarkan. Kami tidak pernah tahu daftar gambar atau shotlist yang tengah dikirmkan BAT.

Saat itu yang ada dalam pikiran saya dan Tono adalah segera siaran menampilkan gambar di lokasi kejadian ke pemirsa mendahului stasiun tv lain. Momen masuknya OBB Breaking News adalah tanda siaran dimulai yang disertai adrenalin mulai tinggi bagi semua yang ada di studio. Tono bertugas mengendalikan gambar yang disiarkan sedangkan saya bertugas menyampaikan informasi yang benar kepada presenter untuk dibacakan sekaligus bertanggung jawab isi siaran baik itu berupa wawancara telepon ataupun menerima gambar dari feedingan. Setelah beberapa menit menerima sekaligus menyiarkan gambar, tiba-tiba saja muncul gambar petugas TNI dan Polisi tengah evakuasi yaitu menggotong korban tewas dengan kondisi mengenaskan. Semua yang berada di studio menjerit, termasuk Mbak Uni dan Mas Bambang SK. Mereka berdua langsung berteriak meminta gambar dialihkan ke presenter. Kondisi ini membuat tingkat stress di ruang kendali studio semakin tinggi.

Tono refleks mengalihkan gambar ke studio, dan presenter pun terkaget karena harus segera merespon dengan meminta maaf serta menyampaikan informasi ke pemirsa dengan kalimat yang terstruktur. Inilah kesalahan pertama saya melanggar etika dalam dunia penyiaran. Saat itu juga di dalam ruang kontrol di tengah siaran, mbak Uni langsung menegur saya dengan meminta saya lebih hati-hati menyiarkan gambar karena itu sadis apalagi bagi keluarga penumpang yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Tentunya kalimat yang keluar dengan nada tinggi, khas mbak Uni . Tingkat stress pun langsung naik bagi saya dan Tono.

Beruntung saat itu Produser Eksekutif saya yaitu bang Pasaoran Simanjuntak ternyata berada di ruangan feeding. Bang Saor memegang kaset untuk merekam gambar feeding, dan gambar awal hingga gambar yang berisi korban tewas sudah terekam di sebuah kaset. Operator VTR pun memasukkan kaset rekaman feeding dan memberi time code sebagai batas munculnya gambar korban. Sehingga kami bisa tahu kapan memberhentikan kaset sebelum gambar yang harus dihindari muncul kembali.

Tono pun memiliki dua sumber gambar untuk disiarkan yaitu kaset rekaman feeding serta gambar kelanjutan feeding yang terus berjalan selama siaran berlangsung. Memiliki dua sumber ini, membuat proses penyiaran gambar bisa lebih terjaga, Tono dengan mudah memindahkan gambar yang disiarkan dari feeding ataupun kaset jika ada gambar korban tewas yang muncul kembali di tengah proses feeding. Lebih dari 2 jam kami melakukan breaking news. Situasi ruang kendali siaran di studio news yang semula riuh dengan teriakan pemred dan wapemred berangsur surut. Bahkan keduanya turun ke ruang redaksi setelah melihat kami bisa mengendalikan gambar yang tersiar dengan baik tanpa melangar etika. Tetapi ternyata masalah siaran breaking news bukan berarti sudah selesai seiring berakhirnya siaran program.

Etika Siapa Pemilik Gambar

Saat saya turun ke ruang redaksi usai siaran program breaking, Mas Bambang SK dan Mbak Uni memanggil saya ke meja Korlip. Saya pun langsung ditanyai mengenai kepemilikan gambar saat feeding yang langsung tayang. Ternyata saat saya siaran breaking news, ada beberapa gambar yang kami tayangkan sama persis dengan gambar yang tengah ditayangkan SCTV. Hal ini terjadi karena saat proses feeding gambar dari PT Telkom Medan, frekuensi yang digunakan stasiun tv untuk menerima gambar adalah sama atau satu frekuensi. Sehingga ketika gambar dari medan muncul di layar feeding TV7 maka stasiun tv lain dapat melihatnya juga. Gambar ini masih tanpa logo stasiun iun tv, sehingga bisa saling klaim. Jika ini terjadi maka ada pelanggaran etika yang kembali saya langgar.

Saat itu satu-satunya cara mengkonfirmasi gambar siapa yang sedang siaran adalah dengan menanyai kontributor saat feeding berlangsung, apakah ini gambar yang dikirim miliknya atau teman kontributor stasiun tv lain yang tengah mengirimkan gambar. Saat itu baik BAT maupun Bang Saor sangat yakin gambar yang tersiar adalah miliki TV7. Namun mbak Uni tidak begitu saja percaya, beliau menelpon Karni Ilyas Pemred Liputan 6 SCTV untuk menyampaikan bahwa tadi ada gambar yang sama persis kami siarkan dengan SCTV. Sehingga bila itu ternyata gambar milik SCTV, mbak Uni akan meminta maaf dan langsung memberikan sanksi bagi saya. Beruntung saat ditelepon, Pak Karni justru memaklumi kejadian di program breaking news. Hal tersebut bisa terjadi karena satu frekuensi dari PT Telkom. Bahkan bisa jadi semua stasiun tv melakukan kesalahan etika serupa yaitu menggunakan gambar yang bukan miliknya. Semua hanya demi mengejar kecepatan di breaking news.

Saya pun akhirnya tidak diberikan sanksi oleh pimpinan redaksi. Namun program breaking news tersebut menjadi pelajaran pertama soal kode etika yang langsung tertanam di kepala.

Komisi Penyiaran Indonesia sudah terbentuk sejak tahun 2002, namun seingat saya di 2005 masih belum ada P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) sehingga stasiun televisi masih bebas menyiarkan program dengan gambar-gambar sadis.

Selalu Siapkan 2 Sumber Gambar

Pengalaman breaking news Mandala Air membuat saya selalu menyiapkan dua sumber gambar yaitu feeding satelit dan gambar awal yang sudah kami terima terekam dalam kaset. Salah satu menyiasati gambar awal adalah dengan grafis peta kejadian yang biasanya sudah dibuat teman-teman grafis secara cepat sebelum breaking news siaran. Hal ini saya lakukan ketika breaking news Bom Bali 2 pada 12 Oktober 2005. Sehingga saat itu siaran breaking news TV7 lebih terjaga, tidak ada gambar sadis korban tewas seperti yang terjadi pada bom bali 1.

Hal ini terus berlanjut ketika saya pindah ke stasiun ANTV. Program breaking news di ANTV yaitu penggerebekan teroris di Wonosobo tahun 2006, Jatuhnya pesawat Hercules TNI AU di Madiun tahun 2009, hingga jatuhnya pesawat Sukhoi 100 di Gunung Salak tahun 2012, tidak ada gambar korban tewas yang diperlihatkan dalam breaking news.

Kesadaran Kode Etik

Kini setelah 9 tahun berlalu sejak program breaking news yang saya pegang kali pertama. Kesalahan kode etika ternyata masih berlangsung di stasiun tv di Indonesia. Padahal saat ini teknologi televisi sudah jauh lebih berkembang daripada di tahun 2005. Proses feeding melalui satelit bisa tergantikan oleh streaming internet yang murah namun memiliki kualitas gambar sama. Seluruh gambar yang masuk ke ruang siaran, diproses oleh sebuah Software seperti ENPS, Dalet dll. Software ini memiliki fungsi video editing sederhana dengan waktu singkat sebelum masuk ke dalam server untuk disiarkan.

Sehingga bila masih terjadi sebuah kesalahan kode etik, maka soal kecepatan untuk menayangkan paling pertama tidak lagi menjadi sebuah alasan yang bisa lagi digunakan. Semua kembali kepada pemahaman tentang kode etik pada diri masing-masing. Itu sebabnya Dewan Pers kini mewajibkan semua wartawan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan agar bisa diketahui sejauh mana pemahaman wartawan terhadap kode etik jurnalistik http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/peraturan/?id=513. Tidak hanya soal kriteria gambar yang memenuhi unsur kesadisan tetapi juga etika dalam peliputan.

Batasan Etika Gambar

Saya masih ingat ketika menanyakan apa batasan unsur kesadisan dalam sebuah gambar kepada Mbak Uni Lubis. Jawabannya adalah pertama tanyakan kepada diri sendiri apakah gambar yang dilihat sadis atau membuat kita tidak nyaman, jika jawabannya adalah tidak sadis maka kemudian tanyakan juga kepada orang lain di Redaksi terutama perempuan mengenai penilaian mereka soal gambar yang sama. Hal tersebut harus dilakukan karena bisa jadi rasa menilai sebuah gambar berbeda-beda di setiap orang.

Jika ada satu orang yang menyatakan tidak nyaman melihatnya, maka jangan pernah keluarkan gambar tersebut. Apalagi dengan melakukan blur atau menyamarkan gambar, karena itu berarti menutupi kesalahan yang sudah diketahui dengan sengaja. JIka blur dilakukan maka secara jelas jurnalis tersebut telah menyatakan “Saya tahu Etika dan Secara Sadar Saya Langgar”

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Kalau Umur Manusia Terus Bertambah
Next post
Pilih Mana, Kampanye Door to Door atau Via Media Digital?

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *