Di Puncak Gunung Ijen, Kami Mengenang Jasa Para Pahlawan
Sepuluh perempuan lintas profesi bersepakat mendaki Gunung Ijen untuk mengibarkan bendera Merah Putih dan menyatakan terima kasih atas jasa para pahlawan.
Dua kali saya merasakan aura yang berbeda saat menyanyikan lagu kebangsaanIndonesia Raya tahun ini. Yang pertama, saat saya dan 28 teman sekelas saat tahun pertama di Institut Pertanian Bogor (IPB), secara spontan menyanyikan lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman itu di Goa Pindul, Gunung Kidul, pada 5 September 2015.
Saat menyusuri aliran air di bawah goa dan melihat bendera Merah Putih tergantung di salah satu lubang yang menganga ke atas, spontan kami menyanyikan lagu itu. Suasana magis. Merinding. Sebagian dari kami menitikkan air mata.
Sebelumnya, kami menyanyikan Hymne IPB dengan penuh haru. Sebagian kami baru bertemu kembali setelah berpisah 30 tahun.
Pengalaman kedua adalah akhir pekan lalu pada Minggu, 8 November, saat kami — sepuluh perempuan dari berbagai profesi — menyanyikan lagu Indonesia Rayadi puncak Gunung Ijen, di kawasan Banyuwangi, Jawa Timur. Ada rasa tidak percaya, bahwa kami, yang sebagian besar berusia di atas 45 tahun, masih bisa mencapai puncak gunung yang memiliki kawah yang indah itu.
Inilah komentar Mbak Wardhani Soedjono ketika saya memasang foto kami di dinding Facebook saya:
“Merdeka!!! Dengan izin Tuhan kami berhasil mendaki Gunung Ijen, melihat kawahnya yang tak terkatakan indahnya, berkebaya di puncak gunung, mengenang jasa pahlawan bangsa. Dan inilah kami, tiga perempuan berkebaya merah dari 10 perempuan yang semangatnya tak lekang oleh terjal dan curamnya Gunung Ijen. Sekali merdeka tetap merdeka! #HariPahlawan #Banyuwangi #2015Ijen.”
Mbak Dhani adalah yang paling senior di antara kami yang hari Minggu itu memberanikan diri mendaki Gunung Ijen. Usianya 65 tahun. Melihatnya meneguhkan hati menapakkan kaki sampai ke puncak gunung, bersemangat menggunakan kebaya warna merah dan kain batik, mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu nasional dari Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila,sampai Indonesia Raya, sungguh menggetarkan. Mengharukan.
Perjalanan ke Ijen sebenarnya direncanakan untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus lalu. Tapi, situasi tidak memungkinkan karena abu erupsi Gunung Raung membuat penerbangan ke Banyuwangi terganggu. Bandara Blimbingsari kerap ditutup. Jadi, kami menundanya untuk awal November, jelang peringatan Hari Pahlawan 10 November yang jatuh hari ini.
“Hanya perempuan perkasa yang jauh-jauh datang khusus ke Ijen, berkebaya, dan mengibarkan bendera Merah Putih,” kata mantan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Wah, kami jauh dari perkasa. Cerita di balik layar pendakian sungguh membuat kami meringis, tertawa mengingatnya. Dari mulai sakit perut, mules, sampai lutut dan tangan bergetar, kedinginan dan lemas, serta godaan untuk kembali ke base camp.
“Haduh, kayaknya saya enggak sanggup,” bisik saya berkali-kali kepada pemandu yang menemani naik. “Semangat, Bu. Pasti bisa. Pelan-pelan saja. Istirahat dulu. Atur nafas. Bayangkan kalau sampai di puncak,” ini kata-kata Adri, sang pemandu. Ketika turun pun debu dan jalanan licin membuat beberapa kali terseok nyaris jatuh. Phew.
Tapi, kami malu mengeluh, manakala melihat lalu-lalang penambang belerang yang setiap hari harus menempuh jarak pulang pergi naik turun gunung sejauh 3 kilometer, turun ke kawah yang terjal, memanggul 70-80 kilogram belerang padat, untuk mendapatkan duit Rp 40-50 ribuan.
Sebuah kehidupan yang keras. Berat. Luar biasa. Mereka, penambang belerang itu, adalah pahlawan bagi keluarga mereka.
Azwar Anas datang ke hotel tempat kami menginap di Banyuwangi pada Minggu siang. Dia melihat kicauan saya yang menggambarkan keindahan sejumlah tempat tujuan wisata alam di Banyuwangi sejak Sabtu siang. Selama lima tahun memimpin Banyuwangi, Azwar Anas adalah figur yang mampu mengajak rakyat Banyuwangi mengubah kabupaten itu menjadi kabupaten yang sarat dengan prestasi.
Kami pergi ke Pantai Pulau Merah dan menikmati padang savana di Taman Nasional Baluran. Menikmati kota yang ditata rapi, bersih, dan hijau. Tapi puncak dari kunjungan ke kota yang dijuluki The Sunrise of Java itu adalah Gunung Ijen. Mengibarkan bendera Merah Putih di puncaknya, mengucapkan syukur atas perkenan dan berkah Tuhan Yang Maha Esa, dan mengenang jasa mereka yang pernah berarti dalam hidup kami, sebagai pribadi maupun sebagai bangsa.
Media lokal memberitakan kegiatan kami di sini.
Kata “menaklukkan” gunung sebenarnya kurang tepat. Tak ada manusia bisa menaklukkan alam dan kehendakNya. Yang benar adalah, kami berhasil menaklukkan rasa tidak percaya diri kami, rasa khawatir kami, untuk bisa mencapai puncak setinggi 2.443 meter.
Buat kalian yang masih muda, termasuk anggota termuda kami, Natashya Gutierrez, kepala biro Rappler Indonesia, mendaki gunung setinggi itu bukan persoalan besar.
Bagi saya, it’s a big deal. Menaklukkan keraguan, menguatkan keberanian, dengan satu tujuan: Mengibarkan bendera Merah Putih di sana dan menyanyikanIndonesia Raya.
Ini ucapan syukur dan terima kasih bagi pahlawan yang membuat Indonesia merdeka, dan masih berdiri kokoh sampai hari ini. Ini cara kami mencintai Indonesia.
Selamat Hari Pahlawan 2015! Hiduplah Indonesia Raya!
2 Comments
Hai Mbak Uni, keren cerita-nya. Selain ke aaji@permatabank.co.id boleh juga dimasukkan ke imel personal saya di domy.aji@gmail.com ya. Thanks.
keren uni…