Dari Brexit kita berpikir tentang nasib Papua
Kehendak berpisah dari sebuah kelembagaan kekuasaan bisa dipicu oleh rasa marah, kesal, takut, dan perasaan ditinggalkan
Di media massa terbitan Inggris, kita bisa melihat wajah anak-anak muda yang nampak kaget dan kecewa. Mereka tak menduga bahwa referendum yang dilakukan pada 23 Juni 2016 itu berujung dengan kemenangan pihak yang mendukung Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Istilah Brexit muncul dari kata-kata “Britain” dan “Exit”. Anak-anak muda ini merasa hasil referendum membuat jalan bagi masa depan mereka menyempit.
Suara yang pro Brexit memang menang tipis, 52%. Sedangkan 48% sisanya memilih untuk tetap bersama di dalam Uni Eropa.
Dari berbagai analisa yang muncul di media, suara yang pro Brexit muncul dari mereka yang tinggal di daerah yang tertinggal dibandingkan dengan kota besar, seperti London, Manchester, dan Liverpool. Mereka berusia lebih tua, berasal dari kelas pekerja, berpenghasilan rendah, dan tak memiliki paspor.
Nyaris seumur hidup mereka berada di daerahnya, dan merasa ditinggalkan oleh elit London.
Mereka yang memilih tetap bersama Uni Eropa, sebaliknya, adalah kaum muda berpendidikan; kelas profesional dan/atau wirausahawan, termasuk di bidang keuangan yang bisnisnya lintas batas negara.
Kaum imigran yang menjadi bagian dari 64,5 juta penduduk Inggris juga memilih tetap bersama Uni Eropa. Mereka yang secara ekonomi lebih kuat, dan terbuka untuk melanjutkan pendidikan di negara lain, mencari pekerjaan, bahkan mencari jodoh di negara tetangga, memilih tetap bertahan bersama Uni Eropa alias “remain”.
Dari informasi di atas, kita melihat ada semangat ingin lebih “inward looking” alias melihat ke dalam di kalangan pemilik suara pro Brexit. Mereka merasa terancam dengan aliran imigran yang masuk ke Inggris, salah satu dari kekuatan ekonomi di dunia.
Tekanan ekonomi dirasakan kian berat sejak krisis finansial 2008, yang mendorong negara-negara cenderung memproteksi lapangan pekerjaannya. Sejumlah negara anggota Uni Eropa yang mengalami kesulitan ekonomi dan bahkan nyaris bangkrut, dianggap sebagai beban bagi anggota yang ekonominya lebih baik.
Kemarahan dan rasa takut
Jangankan warga Inggris. Bahkan warga Spanyol pun sempat ingin keluar dari Uni Eropa. Saya ingat percakapan dengan teman saya di sebuah kedai kopi di Madrid, Spanyol, pada musim panas 2012.
Teman saya ini, Juan Jose Guemes, adalah petinggi sebuah sekolah bisnis. Saat itu ekonomi Spanyol sedang susah.
“Banyak warga kami yang merasa, Spanyol akan lebih cepat mengatasi krisis jika tidak terikat dengan birokrasi ketat yang diberlakukan Uni Eropa. Mulai banyak warga yang ingin Spanyol keluar dari UE,” kata Juan waktu itu.
Well, soal birokrasi berbelit-belit di Uni Eropa juga diakui mereka yang bekerja di kelembagaan yang berkantor pusat di Brussel, Belgia, itu. Musim gugur 2003 saya mendapat kesempatan mengikuti European Union Visitor Programme selama tiga minggu di Brussel. Setiap kali bertemu dengan pejabat Uni Eropa di semua level, mereka mengeluhkan hal yang sama.
Jules Maaten, mantan anggota parlemen Eropa yang kini memimpin lembaga swadaya masyarakat di Manila, Filipina, menyebutkan bahwa semangat referendum meninggalkan Uni Eropa dipicu oleh ketakutan dan kemarahan, atas lambannya birokrasi, dan sikap elitis dan legalistik yang ditunjukkan lembaga beranggotakan 27 negara tersebut.
Setelah pro Brexit menang, lalu apa?
Selama beberapa jam setelah hasil referendum diumumkan, pendukung merayakan “kemerdekaan” mereka. Meski demikian, butuh waktu sedikitnya dua tahun bagi Inggris untuk melepaskan diri sepenuhnya dari Uni Eropa.
Penyesalan mulai muncul dan banyak yang menginginkan ada referendum ulang, sebagaimana yang disampaikan kepada pemerintah.
Penyesalan muncul karena setelah menentukan nasibnya dalam referendum, banyak warga yang pro Brexit baru mempelajari apa sih Uni Eropa itu? Apa manfaatnya bagi mereka? Bagi masa depan anak-anak dan cucu mereka? Bagi penguatan demokrasi dan masyarakat majemuk yang selama ini dianggap memperkuat ekonomi dan politik Inggris?
Mari Elka Pangestu, ekonom senior Universitas Indonesia, mengatakan bahwa hasil referendum akan menimbulkan gejolak ekonomi, terutama di pasar uang dan investasi.
“Tetapi yang perlu diwaspadai adalah dampak lanjutan secara politik, karena menimbulkan preseden,” kata Mari Pangestu.
Benar saja, sehari sesudah referendum Inggris, Skotlandia melemparkan sinyal ingin berpisah dari Britania Raya. Skotlandia ingin menjadi bagian Uni Eropa dan berencana melakukan referendum menentukan nasibnya sendiri.
Di media sosial kita melihat orang memasang status bernada canda:
Brexit. Grexit. Departugal. Italeave. Fruckoff. Czechout. Oustria. Finish. Slovakout. Latervia. Byegium.
— Rahul Goma Phulore (@missingfaktor) June 21, 2016
Tetapi, dengan situasi ekonomi yang kian sulit, ketidakpastian atas ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok yang pasti berdampak ke dunia, serta krisis aliran pengungsi dari kawasan yang bergolak di Timur Tengah ke negara Eropa, canda itu perlu ditanggapi lebih serius.
Termasuk kekesalan, kemarahan, ketakutan, serta perasaan ditinggalkan yang dirasakan oleh warga yang memilih Brexit.
Dari Brexit ke PapuaExit?
Kemarahan yang ditunjukkan warga Inggris yang memilih melawan elit London, begitu mereka menyebutnya, membuat kita teringat akan potensi separatis yang masih besar di Papua dan Papua Barat, dua provinsi paling timur di Nusantara.
Cerita soal Papua dari kalangan pemerintah biasanya mengerucut kepada dua hal: Pembangunan infrastruktur dan penyaluran dana otonomi khusus serta proyek pembangunan, dan janji untuk menuntaskan kasus terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Bumi Cenderawasih itu.
Proyek pembangunan jalan Trans Papua, yang direncanakan selesai pada 2018, misalnya, adalah proyek andalan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menghubungkan kabupaten-kota di Papua yang dipisahkan oleh pegunungan dan bukit.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan pernah memaparkan kontribusi pemerintah pusat ke Papua. Menurut Luhut, dana yang digelontorkan ke Papua senilai Rp 160 triliun.
Dana itu sebagian besar digunakan untuk membangun infrastruktur dan ekonomi. Maret tahun ini Luhut juga pergi ke Papua untuk “belanja”, mengumpulkan masalah yang ada di Papua.
Presiden Jokowi akhir April lalu juga berkunjung ke Papua untuk meresmikan proyek Pasar Mama-Mama. Pasar ini sejak lama diperjuangkan oleh warga lokal.
Tragisnya, Robert Jitmau alias Rojit, sosok yang sejak lama melakukan advokasi pendirian Pasar Mama-Mama itu ditemukan tewas pada 20 Mei.
Laporan polisi menyatakan Rojit tewas ditabrak orang tak dikenal. Kematian Rojit menambah daftar panjang pertanyaan soal nasib aktivis penggiat sipil di sana.
Pemerintah pusat, melalui Menko Luhut, mendesak untuk membentuk tim terpadu yang dapat bekerja menuntaskan 11 kasus dugaan kasus pelanggaran HAM di Papua, agar tidak menjadi beban terus-menerus, terutama kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014.
Tarik menarik dalam penanganan kasus-kasus ini, antara pihak Kejaksaan Agung dan Komnas HAM sempat membuat tokoh Papua meradang.
Matius Murib, direktur lembaga pembela HAM di Papua, bersikap skeptis. Menurutnya, penegakkan HAM di Indonesia sampai saat ini masih terhambat. Pemenuhan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM belum juga dapat dirasakan oleh mereka.
“Mekanisme penuntasan pelanggaran HAM yang diberlakukan di Indonesia, seperti UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hanya membebaskan para pelaku dari tanggungjawabnya dan menguatkan impunitas pelanggar HAM di Indonesia,” kata Murib.
Mei lalu, Laurenzus Kadepa, legislator dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papu,. mengatakan proses hukum atas kasus Wamena dan Wasior hingga saat ini mandek. Terjadi tarik ulur antar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI dengan alasan-alasan formalis-normatik tanpa mempertimbangkan betapa kesalnya para korban menonton sandiwara peradilan di Indonesia dalam kondisi mereka yang kian terpuruk, sambil mengharapkan keadilan yang tak kunjung datang.
Saya mengontak Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, pada 27 Juni 2016. Ia mengatakan bahwa proses penanganan tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di atas kini dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
“Jampidus berkoordinasi dengan Komnas HAM,” kata Prasetyo, hari ini.
Papua termiskin
Triliunan dana yang digelontorkan ke Papua itu sebenarnya selalu memicu pertanyaan: Ke mana dana-dana itu sebenarnya disalurkan? Mengapa warga Papua tetap miskin, dan dua provinsi di pulau Kepala Burung itu menjadi provinsi termiskin di Indonesia?
Cypri Jehan Paju Dale, seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial diUniversitas Bern, Swiss, dalam tulisannya di Rappler, Mei lalu, memaparkan, “Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun”.
Cypri, yang juga penulis buku berjudul Paradoks Papua itu mengatakan, “Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka”.
Jadi, pendekatan ekonomi dan pembangunan yang selama ini diutamakan oleh pemerintah pusat, bagi sebagian warga dianggap tidak cukup. Ini ditunjukkan dengan suhu politik yang menghangat di sana.
Mei lalu, ratusan anggota dan simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan unjuk rasa menuntut referendum bagi Papua di Abepura, sementara ratusan warga pendukung integrasi melakukan demonstrasi di Sentani.
Sebelumnya, 2.000-an warga yang berdemo mendukung Gerakan Pembebasan Papua (ULMWP) menjadi anggota tetap kelompok diplomatik lintas negara Melanesian Spearhead Group (MSG) ditangkap.
Ada banyak pekerjaan rumah bagi Jokowi dalam memenuhi aspirasi warga Papua.
Dalam sejarah politik di Indonesia, mungkin cuma Jokowi, setelah Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, yang dianggap paling “bersih” dari keterlibatan rezim yang sebelumnya menggunakan pendekatan militer di Papua, dan merasa cukup puas dengan memberikan otonomi khusus dan triliunan duit.
Gus Dur melakukan pendekatan dialog dan menyentuh rasa budaya warga di sana. Jokowi harusnya bisa, dan lebih waspada membaca tanda-tanda zaman.
Semangat separatisme selalu ada di bumi Papua, terkait dengan sejarahnya. Semangat ini bahkan sudah ada sebelum fenomena Brexit. Bukan tidak mungkin, semangat ini menguat lagi.
No Comment