Belajar Membangun Wisata Berbasis Komunitas Dari Masyarakat Dieng
Akhir pekan lalu festival budaya dan musik digelar di sejumlah daerah. Dari kawasan Danau Toba sampai Erau di Tenggarong, kita berharap gebyar tak berhenti di acara kirab dan seremoni.
JAKARTA, Indonesia Dua pekan lalu saya menonton #JazzAtasAwan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasinya persis di perbatasan dengan wilayah Dieng yang masuk Kabupaten Wonosobo. Panggung jazz digelar 2 malam, 5-6 Agustus, dilanjutkan Kirab Budaya Upacara Gunting Rambut Anak Bajang. Sejak tahun lalu saya sudah berniat menonton Jazz Atas Awan. Saya ingin membandingkannya dengan sensasi menonton Jazz Gunung di Bromo, Java Jazzdan New Orleans Jazz Festival.
Saya membeli dua lembar tiket VIP Jazz Atas Awan Dieng awal Juli 2016. Saat itu ketua panitia acara itu, Budhi Hermanto, mengatakan 3.500 lembar tiket yang disiapkan panitia hampir ludes. Tiket dijual Rp 250 ribu via situs online mereka. Jika membeli di lokasi harganya Rp 350 ribu. Nyatanya, sebelum pelaksanaan semua tiket habis dibeli. Sold Out. Ketika akhirnya saya sampai di lokasi acara, Jumat sore (5/8), saya terkesima. Ini benar-benar festival rakyat.
Saya teringat pengalaman menikmati New Orleans Jazz, akhir April tahun ini. Jazz Atas Awan digelar di sebuah lapangan di sisi Komplek Candi Arjuna. Panitia membangun sebuah panggung, dan memagarinya dengan pagar besi tak terlalu tinggi. Pembeli tiket bisa menonton di dalam area pagar, cukup luas. Hawa dingin menggigit. Panitia menyediakan tungku api penghangat.
Yang tidak membeli tiket bisa menikmatinya di luar pagar, cukup nyaman, karena pagarnya hanya berupa jeruji pendek. Di sekitar area, puluhan kios menjual makanan dan berbagai cinderamata karya penduduk sekitar. Produk lokal Banjarnegara dan Wonosobo. Dari manisan Carica hingga kopi Arabica Dieng.
Ketika puncak acara Jazz Atas Awan dilaksanakan, malam minggu, sedikitnya 30 ribu orang memenuhi sekitar lokasi. Macet ribuan orang mengular sampai ke pinggir jalan raya Dieng. Macet parah membuat kendaraan bermotor bagaikan parkir di jalanan beberapa jam sampai keesokan siang, Hari Minggu, saat kirab budaya dan acara puncak gunting rambut gimbal dilakukan. Pada saat itu, sedikitnya 100 ribu orang tumplek di jalanan. Tempat wisata penuh sesak. Pedagang makanan panen. Rumah-rumah penduduk yang dikemas sebagai homestay memasang tanda: Kamar Penuh.
Saya ingin mengulanginya sekali lagi, Jazz Atas Awan dan Festival Budaya Dieng, adalah festival rakyat. Idenya datang dari komunitas sekitar, dikerjakan bersama-sama oleh komunitas dan masyarakat. Ya, pemerintah daerah dengan segala cerita di balik layarnya membantu. Saya mendapatkan informasi dari penyelenggara, biaya pelaksanaan Festival Budaya Dieng yang tahun ini sekitar Rp 1,3 miliar. Untuk Jazz Atas Awan Rp 412 juta. Penampil diberikan akomodasi untuk menginap dan transportasi. Pemasukan, Rp 875 juta dari tiket dan Rp 230 juta dari sponsor, kata Budhi Hermanto. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membantu Rp 35 juta, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara Rp 100 juta dan Pemerintah Pusat Rp 80 juta. Warga Dieng iuran juga, terkumpul Rp 50 juta, kata Budhi.
Karena dana yang terbatas itu, musisi dengan nama besar yang tampil pun terbatas. Mereka adalah sosok yang mau ikut serta mendukung festival ala rakyat ini. Termasuk musisi Anji. Kegiatan nonprofit ini berimplikasi kepada ekonomi lokal. Dari penjual gorengan tempe kemul dan kripik jamur sampai penyedia penginapan. Teman-teman dari jurusan ekonomi Universitas Gadjah Mada ada yang menghitung, uang yang beredar di Dieng selama pelaksanaan DCF 2016, sedikitnya Rp 8,6 miliar. Hajjah Romlah, pemilik home stay Maharani, rumah tempat saya dan teman-teman Rappler menginap mengakui, sejak Jazz Atas Awan digelar empat tahun lalu, kian banyak yang berkunjung ke Dieng. Anak-anak Jakarta itu banyak. Ada karyawan perusahaan dari Bali yang datang satu grup, ujar Bu Hajjah.
Sebuah kegiatan budaya dipadukan dengan festival musik menjadikan Dieng sebagai tujuan wisata yang memikat. Tiga tahun lalu saya memgunjungi Telaga Warna. Tahun ini saya mengunjunginya lagi. Terasa ada perbedaan. Tempat wisata dikelola lebih baik dan bersih. Panitia membuat daftar acara yang bisa diakses dari telepon pintar. Masyarakat Dieng menyambut pengunjung dengan riang dan ramah.
Saya teringat ucapan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat kami bertemu di Banyuwangi, November 2015. Membangun pariwisata itu perlu sejalan, antara membangun sarana fisik dengan sumberdaya manusia. Penting memastikan wisatawan mendapat pengalaman lengkap yang berkesan, sehingga mau datang kembali. Minimal dia bercerita kepada pihak lain, ujar Azwar Anas. Banyuwangi dianggap kabupaten yang sukses membangun pariwisata daerah. Tahun 2016 Banyuwangi menggelar 58 festival dan menargetkan kunjungan 2 juta wisatawan nasional.
Dengan potensi ekonomi yang tidak sedikit, saya berharap masyarakat dataran tinggi Dieng makin semangat melanjutkan kegiatan tahunan festival budaya dan musik jazz. Karena dilakukan oleh masyarakat, saya menaruh harapan bahwa pariwisata yang dibangun di sana, tetap mempertahankan kearifan lokal dan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Kami bisa saja menerbitkan tiket lebih banyak, karena ada permintaan. Tapi kami juga mempertimbangkan daya dukung, termasuk menjaga agar kawasan candi yang menjadi lokasi acara tidak rusak. Begitu juga di Telaga Warna dan sekitarnya, kata Budhi.
Saya mengingat pengalaman di Dieng pada akhir pekan lalu, seraya menikmati informasi dari sejumlah acara budaya yang digelar di sejumlah daerah. Pada umumnya memanfaatkan gebyar ulang tahun kemerdekaan RI ke-71. Yang paling heboh, karena dihadiri Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sejumlah menteri dan artis dunia hiburan kelas nasional, adalah Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba.
Cukup lama kawasan danau yang elok ini luput dari perhatian. Danau Toba menjadi satu dari 10 tujuan wisata yang jadi prioritas pemerintah di tahun 2016. Tentu kita berharap gebyar dan perhatian saat Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba, tidak hilang begitu saja setelah Jokowi dan tamu-tamu dari Jakarta pergi dari sana. Ada banyak janji pemerintah pusat yang disampaikan Jokowi. Yang lebih penting, adalah kesiapan masyarakat daerah dan pemerintahnya.
Minggu (21/8) di Kawasan Gunung Bromo juga digelar acara tahunan Jazz Gunung. Pengelolanya dimotori oleh seorang bankir terkenal yang memiliki resor di sana. Bankir yang sama akhir bulan ini menggelar Ijen Jazz Festival bekerjasama dengan pemerintah daerah Banyuwangi. Prambanan Jazz yang dimulai tahun lalu diklaim sebagai festival jazz internasional. Tahun ini mereka menghadirkan Boys II Men dan Rick Price.
Di Kalimantan Timur, tepatnya di Tenggarong, pekan ini dilangsungkan Festival ERAU. Bentuknya adalah beragam kegiatan budaya dan karnaval juga. Di Pantai Pasir Putih, Ancol, Jakarta, juga digelar Jakarta Melayu Festival 2016. Acara tahunan ini dihadiri sejumlah tokoh, diplomat, pula mantan menteri yang baru diberhentikan Presiden Jokowi, Anies Baswedan dan Ferry Mursyidan Baldan. Saya tahu acara ini gara-gara melihat foto-foto di dinding Facebook Ferry Mursyidan Baldan.
Saya percaya bahwa memberikan perhatian kepada sektor pariwisata adalah keputusan yang tepat untuk membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan. Ekonomi yang lebih tahan terhadap goncangan. Saya pernah menulis pengalaman Spanyol, negara anggota Uni Eropa yang nyaris bangkrut pada tahun 2012, dan sempat berpikir untuk keluar dari masyarakat bersatu Eropa untuk meringankan beban fiskal dan moneter. Ketika tahun 2015 saya ke Negeri Matador itu, Spanyol ditahbiskan sebagai negeri paling kompetitif dalam sektor pariwisata berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia atau WEF.
Membangun pariwisata juga membangun ekonomi lokal. Memberdayakan sumberdaya manusia lokal. Membangun berdasarkan nilai kearifan lokal. Bagi pemerintah dan investor, kerapkali ukuran keberhasilan adalah jumlah wisatawan yang berkunjung. Ketika merayakan pergantian tahun 2016 di kawasan wisata Raja Ampat, di Papua, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan target wisatawan sebanyak 20 juta pada dalam 2-3 tahun ini.
Semoga target ini dicapai dengan mengikutsertakan masyarakat setempat. Jika tidak, maka proyek membangun pariwisata ini nantinya hanya menjadi bagi-bagi rezeki bagi investor. Dari masyarakat Dieng, saya melihat kebersamaan komunitas membangun tujuan wisata. Saya yakin ada daerah-daerah lain yang menjalani proses yang sama seperti Kelompok Sadar Wisata di Dieng. Jika pembaca tahu, silahkan berbagi informasi di sini.
Foto-foto: Uni Lubis/5-7 Agustus 2016
No Comment