Parade Bhinneka Tunggal Ika dan Konperensi AIBC 2016
CATATAN MINGGU INI
Sabtu pekan ini saya menengok ke lapangan, melihat jalannya Parade Bhinneka Tunggal Ika yang diprakarsai sejumlah pihak yang mengaku peduli dengan nilai-nilai persatuan seraya menghargai perbedaan. Acara dipusatkan di depan gerbang Taman Monumen Nasional, di seberang Patung Kuda. Hasil pengamatan saya bisa diikuti di akun Twitter saya, @unilubis, dengan tagar #1911, sesuai dengan tanggal kegiatan, 19 November 2016. Anda juga bisa menikmati laporan tim liputan Rappler Indonesia di sini.
Kalau Anda melihat foto anak-anak muda menggunakan kostum ala Romawi menjadi viral di media sosial, itu jepretan saya. Saya melewati mereka saat melintas di depan panggung. Eh, sebentar, berhenti dong, saya foto ya, pinta saya kepada mereka. Mereka berhenti, senyum-senyum. Mendadak ada yang membawa tongsis, atau kita kenal sebagai tongkat untuk swafoto, menghampiri mereka. Sekalian saya foto.
Itu cuma salah satu highlight-nya. Tidak menduga akan viral juga.
Panitia parade awalnya mengklaim, acara akan diikuti sekitar 100 ribu peserta. Menurut perkiraan polisi yang saya temui di sana, jumlah yang kemudian ikut konvoi dari area panggung yang dibangun di depan Taman Monas itu, ke arah Patung Tugu Tani, sekitar 2 ribu orang. Cuaca terik, panas sinar matahari menyengat sejak pagi. Menurut kalkulasi saya, pesertanya sekitar 4 ribuan. Cukup untuk menggelorakan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Lagipula, tagar #IndonesiaBhinneka sempat trending topic.
Saya melihat sejumlah mobil siaran langsung televisi parkir tak jauh dari panggung acara yang diisi oleh orasi sejumlah orang yang tidak begitu saya kenal. Puluhan jurnalis mengepung panggung , sebagian seperti saya, mengabadikan para peserta yang memilih duduk di taman, bersembunyi di balik pepohonan untuk menghindari terik sinar matahari. Saya memang tak bersemangat meliput panggung. Saat demo 4 November 2016 pun saya tidak mengikuti orasi-orasi. Kami di Rappler berbagi tugas. Yang saya ingin tahu adalah keadaan peserta. Berbicara dengan mereka, mencari tahu apakah mereka paham apa yang diperjuangkan.
Saya sempat mewawancarai Pak Agus yang datang bersama istrinya, Bu Lilis ke acara parade. Selama setiap warga menjalankan adat-istiadatnya masing-masing, ibadah agamanya masing-masing, saling menghargai, itulah Bhinneka Tunggal Ika, ujar warga Citayam, Bogor ini. Pak Agus tertarik ikut parade karena peduli dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya bertanya, apakah menurutnya NKRI terancam? Menurut Pak Agus tidak.
Saya meliput demo 4 November 2016, lantas melihat parade 19 November. Selain jumlah peserta, yang saya lihat berbeda diantara kedua demo adalah: pengorganisasian lebih rapi dilakukan oleh demo 4 November. Parade 9 November terasa lebih rilek, karena tak ada orasi dan spanduk, pula pamflet yang berisi ajakan ganyang ini-ganyang itu, turunkan ini-turunkan itu. Kombinasi kedua hal itu, peserta yang jauh lebih sedikit dan pamflet yang notabene hampir seragam dan dicetak di art-paper, membuat polisi yang berjaga pun lebih santai. Lebih banyak duduk-duduk di pinggiran trotoar.
Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Polisi Dwiyoko saya lihat memantau kegiatan panggung. #1911. Pada demo 4 November, Kapolres Dwiyoko sepanjang hari berdiri, bersiaga di atas kendaraan kepolisian dikawal di kiri kanan oleh polisi dan tentara dengan helm dan tameng. Kombes Dwiyoko memimpin langsung pengamanan yang melibatkan 20 ribu polisi dan tentara.
Parade #1911 diklaim murni keinginan mengusung semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tapi menurut saya, ide parade ini muncul untuk merespon aksi demo 4 November dan status hukum yang menimpa Gubernur Basuki Ahok Tjahaya Purnama. Ini mudah dibaca dari bocornya notulensi rapat persiapan ke publik. Susunan panitia dalam notulensi rapat itu dikenal sebagai pendukung berat Ahok. Klarifikasi salah satu Teman Ahok mengenai notulensi rapat perencanaan parade Bhinneka Tunggal Ika itu bisa dibaca di sini.
Nuansa gayung bersambut atas demo 4 November juga terlihat dari kalimat yang dicetak pada ribuan lembar pamflet pada aksi #1911. Mempertahankan Pemerintah Konstitusional, demikian bunyinya. Ini seperti menjawab kecurigaan yang muncul dari sebagian orang bahwa demo 4 November antaralain bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Jokowi Widodo.
Salah satunya adalah Sekretariat Nasional Komite Penegakan Pro Justicia yang melaporkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Keduanya dianggap menyalahi kode etik DPR. Fahri dan Fadli Zon hadir dan berorasi dalam demo 4 November itu. Menurut kuasa hukum KPPJ, Finsen Mendofa, orasi keduanya bertujuan menggulingkan atau menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Yang dilampirkan sebagai barang bukti adalah orasi Fahri Hamzah soal ada dua jalan untuk menurunkan Presiden Jokowi.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga mengatakan tengah mengusut orasi-orasi dalam demo 4 November itu, apakah ada yang masuk dalam kategori makar.
Jadi, mau dibantah berbusa-busa pun, sulit mengatakan ide parade tak berkaitan dengan demo 4 November. Kemerdekaan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum, dijamin oleh konstitusi, sesuai Undang-undang yang berlaku di negeri ini. Karena itu saya menghormati dua kegiatan tersebut, baik demo 4 November dan 19 November. Karena itu saya berharap tak perlu ada lagi mobilisasi massa berikutnya, apapun kemasannya.
Tujuan resmi dari demo 4 November adalah menghukum Ahok dalam kaitan kasus dugaan penistaan agama. Itu sudah dilakukan oleh polisi. Ahok dinyatakan tersangka. Kasusnya akan diproses sampai ke pengadilan. Tujuan resmi dari parade bhinneka tunggal ika adalah menyampaikan kepedulian akan pentingnya hidup bersama sebagai bangsa dalam bingkai toleransi, menghargai perbedaan. Pesannya sudah diterima publik, dan ada sejumlah kegiatan senada dilakukan di kota selain Jakarta.
Jadi, mari kita kawal proses hukum tanpa perlu mobilisasi massa.
***
Minggu ini saya juga mengikuti Australia Indonesia Business Council Conference yang ke-2 di Perth, Australia. Acara digelar tanggal 13-15 November 2016. Acara konperensi dikemas dengan tema, Breaking Barriers, Building Bonds, dan diikuti 200-an delegasi dari kedua negara, baik dari kalangan pemerintah, pebisnis, lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi. Saya diminta untuk menjadi salah satu pembicara dalam sesi berjudul, Changes Were Witnessing In the Jokowi-Turnbull Era.
Saya akan menulis secara khusus mengenai konperensi ini. Progress report dari pembahasan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) mendominasi pembicaraan. Australia dan Indonesia adalah dua negara penting yang bertetangga. Banyak kerjasama di bidang pendidikan, keamanan, politik, perubahan iklim, sampai perdamaian dunia. Tapi mengapa investasi pebisnis Australia di Indonesia selama ini masih kecil? Hanya di peringkat ke-12 investasi asing di Indonesia?
Saya menangkap nuansa positif dan antusias dari kedua pihak dalam berbagai sesi yang digelar dalam konperensi AIBC itu. Jika IA-CEPA jadi diteken pada tahun depan, ini akan menjadi kesepakatan perdagangan bebas yang komprehensif bagi Indonesia, dalam 10 tahun terakhir. Sejumlah menteri dari Australia hadir dalam komperensi ini dan menyampaikan pikirannya yang optimistis tentang Indonesia. Sementara tak ada satupun menteri dari Indonesia yang hadir. Padahal nama-nama menteri dari Indonesia ada dalam draf awal acara. Semoga ini bukan pertanda bahwa Indonesia kalah semangat dalam meningkatkan hubungan bisnis antara kedua negara.
Presiden Jokowi sendiri mendadak membatalkan kunjungan ke Australia karena situasi dalam negeri yang kurang kondusif pasca demo 4 November. Kunjungan itu rencananya dilakukan 6-8 November. ###
No Comment