HomeFilmFilosofi Kopi 2, Beyond Secangkir Filosofi Kopi

Filosofi Kopi 2, Beyond Secangkir Filosofi Kopi

Yang menarik dari film Filosofi Kopi, baik yang pertama maupun Filkop 2, adalah kalimat-kalimat bijak yang enak dikutip dan perlu. Baik itu menyangkut filosofi kopi, maupun filosofi kehidupan. Baru menit-menit pertama, meluncur kata bijak pertama dari mulut Ben, sang barista yang tetap diperankan Chico Jericho. “Walaupun tak ada yang sempurna, hidup ini indah seperti apa adanya.” Ini kalimat bijak yang muncul di ujung Filkop 1.

Sebagai penikmat kopi Indonesia, saya menonton Filkop 1, dan tentunya harus menonton Filkop 2. Ekspektasi saya tidak ketinggian. Senang aja melihat tayangan terkait kopi, sebagaimana saya suka membaca informasi terkait kopi.

Saya sepakat dengan komentar seseorang di dinding facebooknya, bahwa dibanding Filkop 1, Filkop 2 kurang membahas sejarah kopi, dan banyak memberi porsi kepada cinta silang antara karakter utama di film besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Ya kalau membahas sejarah kopi, mungkin terlalu berat? Mendingan nonton film dokumenter saja hehe…

Dari judulnya saja, Filkop 2 Ben & Jody, sudah menunjukkan sekuel ini bakal mengeksplorasi hubungan bromanceantara Ben dan Jody yang kembali diperankan Rio Dewanto. Bagaikan tumbu oleh tutup, demikian bahasa Jawanya. Saling melengkapi. Ben barista piawai yang menginspirasi bagaikan legenda lokal sedangkan Jody mengurusi aspek bisnis dan manajemen. Ketat dalam keuangan, seperti Paman Gober;-)

Di Filkop 2, digambarkan mereka menjalankan bisnis kedai kopi dengan mobil VW Combi keliling ke tempat-tempat tujuan wisata. Pembeli, anak-anak muda, mengantri untuk menikmati “Perfecto” dan “Tiwus” , dua racikan andalan Kedai Filkop.

Yang menonton Filkop 1 tentu tahu bahwa Kopi Tiwus adalah kopinya Pak Seno dan Bu Seno, petani kopi di pedalaman Jawa Tengah. Kopi organik, yang ditanam dan dirawat bagaikan merawat anak sendiri. Sebagaimana filosofi yang tidak tertulis di Filosofi Kopi, “ karena setiap hal yang punya rasa, punya nyawa.”
Ben, barista yang digambarkan sebagai sosok yang idealis dan emosional, terpaksa mengakui bahwa Kopi Tiwus lebih maknyuss dibandingkan dengan racikan andalannya, “Perfecto”. Gara-gara kopi Tiwus , Ben memenangi proposal bernilai Rp 1 miliar untuk mendapatkan modal usaha danbayar utang.

Toh, mereka tak bisa mempertahankan bangunan warisan orang tua Jody di kawasan Melawai, Jakarta, tempat Kedai Filosofi Kopi dimulai. Jody terpaksa menjual untuk menutup utang yang ditinggalkan ayahnya. Jadilah mereka jualan kopi keliling Indonesia. Karena, filosofinya, “kopi enak harus dibagi.”

Setelah setahun, ada yang lelah, dan merasa keliling jualan kopi bukan mimpi mereka. Dua barista andalan mundur, menyusul Nana yang mundur karena hamil.

Ben dan Jody akhirnya sadar juga, bahwa mereka pun sebenarnya ingin kembali menghidupkan kedai Filosofi Kopi di tempat lama, di kawasan Melawai yang dikelilingi kantor-kantor bisnis dengan banyak orang lalu-lalang. Lokasi yang strategis. Tempat yang digambarkan oleh Ben sebagai,”saksi perjuangan hidup banget.” Filosofi Kopi yang disangka tinggal mitos.

Bangunan itu kini dihargai satu setengah kali lipat dari harga jualnya. Perburuan investor dimulai. Tidak mudah.

Dalam sebuah kunjungan ke kedai kopi, Jody berkenalan dengan Brie, nama panggilan Sabrina yang diperankan Nadine Alexandra, Putri Indonesia 2010. Brie lulusan perguruan tinggi di Melbourne yang belajar jadi barista. Kerjanya sistematis, semuanya diukur, ditakar supaya presisi dan standar. Jadi lebih lambat dalam menyiapkan secangkir kopi.

Jody tertarik karena Brie memberikan apresiasi ketika tahu bahwa dia adalah salah satu pendiri Filosofi Kopi.
Ben dan Jody akhirnya bertemu investor serius, namanya Tarra, yang diperankan oleh aktris Luna Maya.

Tarra menyanggupi dana Rp 2,5 miliar dan komitmen ekspansi Filkop, di luar membeli kembali kedai di Melawai. Jody mulanya keberatan karena Tarra ingin 49% saham dalam kerjasama bisnis itu. Ben yang tak sabar lagi, memaksa Jody menekan perjanjian di depan notaris. Saking buru-burunya, Ben tak membaca nama jelas Tarra di surat perjanjian. Sebuah kejutan disimpan di sini.

Masalah pertama muncul ketika Jody merekrut Brie menjadi satu dari tiga barista yang dipekerjakan di Filkop. Ben marah karena Jody merekrut Brie tanpa konsultasi. Urusan barista harusnya jadi kewenangan Ben. Tarra menengahi. Tapi, sikap Ben kemudian sinis ke Brie yang dianggap anak ingusan dalam urusan kopi. Sampai-sampai cara Brie memenang mesin kopi pun dikomentari, “megangnya kayak megang bendera. Gue enggak cocok.”

Gaya lambat Brie meracik kopi pun menuai kritik Ben. Suatu hari Brie menyajikan “Perfecto Espresso” dan “Tiwus V50” kepada dua pengunjung, yang ternyata reviewer. Ben makin marah gara-gara membaca reviewer kopi yang mengatakan kopi yang disajikan di Filkop setelah dibuka kembali, “kehilangan soulnya. Filosofi Kopi dibuka kembali tanpa filosofi kopi,” tulis reviewer itu.

Brie beralasan bahwa kopi yang terbuang menjadi lebih sedikit dengan kebiasaan menakar racikan. “Kita jadi lebih menghargai kopi. Rasanya konsisten, dan lebih presisi,” kata Brie. Ben menukas dengan gaya senior jago kepada yunior,”konsistensi rasa itu bukan soal hitung-hitungan, tapi soal rasa setiap kali membuat secangkir kopi. Buat saya bikin kopi itu meditasi, bukan matematika.”

Review itu bikin keder. Solusinya? Segera membuka kedai Filkop di Yogya. Tarra menawarkan bangunan milik ayahnya, tapi harus sewa. Jody keberatan dengan ekspansi saat Filkop Melawai baru dibuka. Biaya investasi jadi besar. Kecuali kalau bangunan milik ayah Tarra bentuknya pinjaman. Gratis. Tarra keberatan. Harus sewa. Kita tahu alasannya di ujung film.

Filkop 2 tak hanya menyajikan konflik dan debat diantara Ben dan Jody yang memang beda karakter, tapi juga menampilkan filosofi lain seperti perlunya menjaga hubungan yang sudah baik dengan orang tua mumpung masih ada.

Kepedulian terhadap cengkeraman industri sawit yang terus mencaplok lahan perkebunan kopi, muncul di sini. Kita tahu di ujung Filkop 1, cerita tentang ayah Ben yang tadinya petani kopi di Lampung, yang tanahnya dicaplok korporasi sawit. Ayah Ben melawan paling keras. Ibunya terbunuh. Hidup tak pernah sama lagi bagi Ben kecil yang kemudian pergi ke Jakarta dan bertemu keluarga Jody.

Cerita lahan komoditas kopi dan lainnya dicaplok korporasi sawit menjadi berita di media massa (http://bengkulu.antaranews.com/berita/14067/lima-komoditi-perkebunan-hilang-diganti-sawit).

Filkop 2 juga menyinggung kian beratnya kompetisi kedai kopi. Minum kopi memang menjadi gaya hidup. Kedai kopi bertambah. “Tapi orang pesan latte, lalu ngabisin wifi berjam-jam.” Well, bukankah ini yang menjadi salah satu diskusi ketika sebuah gerai ritel modern harus tutup?

Juga sinyalemen sebuah jejaring kafe kopi internasional terancam bangkrut? Ada sentilan tentang model bisnis kedai kopi di sini.

Jadi, selain mengeksplorasi hubungan kedua karakter utama, Ben & Jody, sutradara Angga memang mengajak kita untuk berpikir tentang hal-hal penting ‘beyond’ secangkir kopi racikan Ben.

Minum kopi sudah menjadi gaya hidup, iyes. Hampir di semua kota besar dijejali dengan kedai kopi. Banyak yang menjual suasana, untungnya lebih banyak yang menjual keandalan racikan kopi sang barista. Ada yang bertahan lama dengan racikan tradisional seperti kedai kopi Tak Kie di Glodok atau Kopi Ujung di Makassar.

Ada yang cepat hilang karena tergerus persaingan dan kalah inovasi. Juga kurang pandai berpromosi memanfaatkan media dan media sosial. Memang tidak semua punya keuntungan mendapatkan promosi gratis dengan didatangi Presiden, bukan?

Masalahnya, berapa banyak yang kemudian tertarik untuk menanam kopi? Seperti petuah ayah Ben, “ada yang lebih penting dari menyeduh kopi. Menanam kopi.” Di sini saya menangkap pesan Filkop 2 yang ingin mengajak untuk menekuni usaha yang non ekstraktif, dan kembali memuliakan tanaman kopi.

Selain gambar yang indah, pemain yang cukup lancar dan punya “chemistry” satu sama lain (kelihatan dari gambar close-up),  yang patut dipujikan dari Filkop 2 adalah musiknya. Keren. Lagu enak dengan lirik yang pas banget.

Setiap kali menonton film, saya mengukur film itu bagus atau tidak dari pelajaran yang bisa saya petik. Sesuatu yang menggugah. Membuka mata. Dengan caranya yang ngepop dan ada unsur romansa, saya membawa pulang sesuatu dari film ini. Film yang enak ditonton meskipun kalian enggak suka kopi. Nonton deh, mumpung masih tayang di bioskop.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Ingat Om William Wongso Gara-gara Black Garlic Tutup
Next post
Membahas 15 poin keterangan di Facebook Mentan soal beras

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *