Pandemi COVID-19 Bikin Hidup Kamu Makin Irit atau Boros?
Dua pekan pertama sejak pandemi COVID-19 diakui secara resmi di Indonesia, pertengahan Maret 2020, saya boros banget. Mendadak kami harus #dirumahaja. Termasuk Darrel, yang menjalani pembelajaran jarak jauh, sekolah dari rumah. Terbiasa sejak Pukul 07.00 wib sampai Pukul 15.00 wib di sekolah bareng teman-temannya, bikin Darrel rada mati gaya.
Setiap hari kami order makanan secara daring. Padahal di rumah ada asisten rumah tangga yang masakannya enak. Ada dua alasan pesan makanan daring : untuk variasi agar D tidak bosen, dan membantu pengendara ojek online (ojol). Setiap kali pesan, dilebihkan agar ada pemasukan buat mereka. Situasi #dirumahaja membuat para ojol ini kekurangan pelanggan yang biasanya membutuhkan mereka saat harus berkantor, ataupun ke tempat kegiatan lain agar terhindar dari macet kalau naik kendaraan roda empat atau kendaraan umum.
Pengeluaran untuk beli masker, vitamin, dan cemilan, makanan ringan dan buah juga meningkat. Saat itu harga masker medis melonjak sampai 3-5 kali lipat. Belum punya masker kain. Masuk di bulan April, pengeluaran ekstra buat saya datang dari keinginan membeli masker kain yang lucu-lucu. Juga kreasi topi dengan pelindung wajah (face-shield) yang menjadi penting untuk melindungi diri dari serangan virus corona.
Sementara suami makin giat berkebun dan membeli beragam bibit sayur dan bibit ikan untuk menjalankan kegiatan pertanian di kota alias urban farming. Chief Marketing Officer Lazada Indonesia, Monika Rudijono, saat saya undang jadi pembicara di program #NgobrolSeru IDN Times mengatakan, pembelian alat berkebun meningkat selama pandemik. Di media sosial kita melihat warganet, termasuk para figur publik ramai-ramai menanam sayuran secara hidroponik.
Pemborosan juga terjadi, karena saya membeli sejumlah bahan untuk membuat kue. Saya pilih tidak menggunakan oven. Jadi kukus-kukusan, seperti somay, dimsum, bolu sampai tiramisu.
Memasuki minggu ketiga, di bulan April, pengeluaran terkendali. Bahkan cenderung hemat.
- Kecuali saat Lebaran, praktis selama pandemik gak beli baju baru, sepatu dan tas. Lebaran memang sudah direncanakan pakai baju kembar sekeluarga, jadi ya kain yang sudah saya siapkan dijahit. Saat #NgobrolSeru edisi Lebaran dengan Mbak Susi Pudjiastuti yang mantan menteri itu, saya mengamini pernyataannya. Buat apa punya baju banyak, daster banyak? Selama pandemik saya merasa cukup dengan modal 5 lembar kaus dan tiga celana pendek yang saya cuci-pakai. Untuk webinar pakai seragam IDN Media atau kasusnya, plus jaket. Buat apa ya lemari penuh baju????? Ckk..ck..ck…. Boros betul.
- Memilih makan dari masakan sendiri di rumah dengan alasan kebersihan dan lebih murah juga. Saya ke pasar seminggu dua kali, dengan protokol kesehatan: masker, jaket panjang, face-shield, sarung tangan. Pernah bisnis makanan sebentar, jadi saya tahu kalau harga jual biasanya 50-60 persen dari modal. Misalnya, kalau beli rendang, per potong Rp 20 ribuan. Kalau masak sendiri, harga sekilo daging Rp 120 ribu, bumbu Rp 10-15 ribu. Dapat 12 potong. Sekali masak, bisa sekalian untuk dikirim ke ayah saya yang tinggalnya tak jauh dari rumah. Sejak Mama meninggal dunia Mei 2014, saya dan adik-adik memasok makanan untuk Papa. Sayur-sayuran banyak memetik dari tanaman di halaman belakang. Selama pandemi, saya jjuga membeli sejumlah bahan makanan dari orang-orang yang saya kenal, maupun yang tidak. Semangatnya mendukung usaha mikro.
- Keinginan belanja impulsif yang biasanya terjadi saat ke mal, jadi gak ada. Ya karena gak ke mal. Selama pandemik baru tiga kali ke mal. Pertama, bulan Juli ke Neo Soho Mall untuk hadiri undangan Fira Basuki mengunjungi Jakarta Akuarium. Fira pernah bekerja di IDN Media, dan kini mengurusi komunikasi dan relasi media di situ. Saya beranikan diri hadir, karena saat itu hanya tiga orang yang diundang. Selain saya, ada Sandra Ratnasari Pemimpin Redaksi Popmama.com dan Juditya Pitana Pemimpin Redaksi Popbela.com. Saat itu Jakarta sudah mulai membuka kegiatan ekonomi. Protokol ketat kami jalani. Di kantor pun, saat sempat jalani work form office (22 Juni-24 Agustus), saya biasa pakai masker dan face-shield. Fira mengundang lagi di bulan Agustus saat perayaan HUT RI, tapi saya tidak hadir, karena khawatir dengan jumlah undangan yang lebih banyak ketimbang saat pertama kali kesana. Kedua, ke Mal Cipinang, beli lampu darurat di ACE Hardware. Ketiga, ke Mal Ambassador untuk beli handphone, menggantikan handphone jadul berumur 8 tahun yang baterai-nya mati melulu. Teman lama saya tahu banget bahwa saya decisive buyer. Ngantar teman beli tas ke mal, yang terjadi, teman gak jadi beli karena pilih-pilih, sementara saya justru yang beli. Mikirnya cuma 10 menit untuk beli. Saya biasanya cuma ke mal untuk nonton dan makan seminggu sekali, #momandsondate dengan Darrel. Kalau mau beli sesuatu, sudah tahu toko mana yang dituju, langsung beli. Bukan tipe yang “window shopping”. Oh, ya. Selama pandemik tidak menggunakan kartu kredit. Alhamdulillah gak punya utang apapun termasuk kartu kredit.
- Pengeluaran liburan, transportasi, menurun drastis. Selama pandemi, kami sekeluarga bepergian dua kali, naik mobil, karena belum berani naik pesawat dengan alasan kesehatan. Pertama, ke Yogya menengok orang tua dan rumah. Kedua ke pantai Carita, piknik mencari udara segar. Dalam dua kesempatan ini, saya bawa bekal makan dari rumah, supaya tidak perlu mampir ke restoran dan makan di sana (dine-in). Saat ke pantai, kami beli makanan di Ibu Entin, penjual seafood yang legendaris, di Labuhan. Beli, lalu dibawa untuk dimakan di pinggir pantai. Cari pantai pun yang sepi, orangnya bisa dihitung dengan jari. Dua kegiatan ini modalnya jauuuuh dari pengeluaran liburan sebelum pandemi yang biasanya mencakup tiket pesawat terbang. Selama pandemi, hiburan datang dari menonton film lewat layanan streaming, olahraga ringan dan baca buku yang selama ini belum sempat dibaca, karena kesibukan di luar rumah. Untuk kasus saya, jumlahnya puluhan.
- Untuk mendukung aktivitas webinar, sebagai pembicara maupun moderator, saya beli dua lampu sorot (dari lampu baca) dan meja lipat. Juga beli gordyn untuk latar-siaran. Supaya back-ground Maklum, aktivitas ini rutin hampir setiap hari, bisa dua sampai tiga kali. Masuk bulan Oktober 2020, saya slowing-down. Lelah juga.
- Pengeluaran untuk make-up jauh berkurang (lha memang aslinya saya jarang pakai make-up dan tidak merawat wajah secara rutin😉). Modal bedak, foundation dan lipstik digunakan saat jadi pembicara atau moderator webinar. Ekstra beli pelembab baik untuk wajah maupun tangan yang sehari bisa 10-12 kali dicuci untuk memenuhi protokol kesehatan. Setiap dua bulan biasanya saya ke salon untuk mewarnai rambut yang sudah ubanan sejak usia 20 tahunan. Selama pandemi, gak berani ke salon, jadi mewarnai sendiri. Beli pewarna rambut, modalnya cuma Rp 15 ribu sekali warnai. Muraaaaahhhh, ya ampun kenapa selama ini kudu keluarkan ratusan ribu ke salon ya? Kalau pandemi reda, sudah dapat vaksin, saya akan ke salon untuk potong rambut dan pijat, serta manicure-pedicure. Mewarnai rambut saya lakukan sendiri. Oh, iya. Bang Rusdian Lubis, senior saya, sesama alumni Eisenhower Fellowships mengingatkan: irit parfum dan deodorant. Yes;-)
Itu pengalaman saya selama hampir delapan bulan pandemik COVID-19. Boros di awal, hemat kemudian. Kebiasaan ini semoga bisa saya lanjutkan. Bagaimana pengalamanmu?
No Comment