HomeInspirasiBUKBER KELUARGA DI RESTORAN KUNSTKRING PALEIS

BUKBER KELUARGA DI RESTORAN KUNSTKRING PALEIS

 

Ramadan Journey 2013

Day  12

 

“Kita seharusnya bangga mengundang tamu-tamu penting ke tempat ini,” ujar Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.

Jokowi, panggilan populer Joko Widodo, mengatakannya di depan ratusan undangan yang hadir dalam pembukaan Kunstkring Paleis sebagai sebuah galeri seni, pertengahan April lalu, sekaligus perayaan 99 tahun gedung bersejarah ini.  Kunstring (lingkaran seni), berlokasi di sebuah gedung antik di Jalan Teuku Umar No 1, Jakarta.  Gedung yang dibangun tahun 1914 oleh arsitek Belanda PAJ Mooijen pernah difungsikan sebagai kantor Imigrasi Jakarta.

Bangunan ini menuai kontroversi saat dijadikan lokasi restoran waralaba internasional Budha Bar tahun 2008.  Jauuh sebelumnya gedung cantik di kawasan Menteng ini pernah jadi kantor pusat majelis ulama dan beragam peruntukan lain.   Di gedung ini kita temukan jejak sejarah sejak jaman kolonial Belanda saat Gubernur Jendral saat itu meresmikannya, memasuki alam kemerdekaan hingga kini, era digital.  Kisahnya bisa dibaca di sini:  http://en.wikipedia.org/wiki/Kunstkring_Art_Gallery.

Selain kembali ke fungsi awal sebagai galeri seni, Kunstkring Paleis kini kini menjadi lokasi restoran dan bar.  Ada juga pojok tempat kita bisa menikmati sajian kue sambil menyesap kopi atau teh.

Sore tadi saya memenuhi saran Jokowi, mengundang tamu penting untuk buka puasa bersama di resto Kunstring Paleis. Tamu penting saya adalah kedua orang tua saya.  Darrel, anak saya, biasa memanggil mereka Opung dan Eyang.  Ayah saya berasal dari Sumatera Utara, bermarga Lubis, sedangkan Ibu asli Yogya.  Setiap Hari Minggu sore kami upayakan kumpul bersama makan dengan keluarga, yaitu orang tua dan adik-adik.  Saat Ramadan, acaranya ya buka puasa bersama. Biasanya sih di rumah Opung dan Eyang, anak-anak membawa makanan untuk dinikmati bersama. Soalnya Opung rajin shalat tarawih di mesjid yang terletak di dekat rumah.

“Pa, besok kita buka puasa di luar aja ya?  Di Kunstkring.  Restonya bagus dan kita bisa lihat-lihat dekorasi dan pameran seni,” begitu undangan saya per telepon kepada ayah saya, kemarin siang.   Soal makanan ayah saya pemilih.  Harus resto yang halal.  Favoritnya tentu resto Padang dan makanan Sunda.  Saat kami liburan ke Sydney, Australia, Maret lalu, saya membawa bekal kering teri balado dan kering kentang deh.  Pernah  liburan ke Bali,  mama bawain bekal Rendang.  Papa memilih untuk pesan nasi putih dari hotel, dimakan pake lauk yang “dijamin halal” ketimbang, misalnya, menikmati  “breakfast buffet” di hotel.  “Itu wajan yang buat bikin scramble eggs kan dipakai buat goreng yang pake daging babi juga,” kata Papa saat kami di Bali.  Hadeh..ya begitulah.

Papa bertanya, makanan jenis apa di Kunstkring? Saya jawab menu Indonesia kog.  “Itu kan di gedung antik bekas kantor Imigrasi Jakarta, Pa,” kata saya.  “Ooowww, di situ.  Dulu kepala Imigrasinya tetangga kita di Balai Pustaka,  namanya Pak Subagyo, waktu kau masih kecil,” ujar Papa. Lalu Papa bercerita soal Pak Subagyo tetangga yang baik hati itu.

Nuansa nostalgia akhirnya membuat Papa tertarik.  Sesudah itu saya info ke Mama, lalu adik-adik.  Lalu pesan tempat ke Kunstkring.  Biasanya selama Ramadan restoran penuh untuk berbuka puasa.  Dapat deh tempat untuk  tujuh orang.  Keluarga kami bukan keluarga besar sih.

Ini kunjungan saya yang ketiga ke Kunstkring Paleis.   Saat masih menjadi Budha Bar saya pernah makan malam di situ.  Sesudah jadi kontroversi, saya tidak pernah ke sana lagi.  Juga tidak tahu bahwa Budha Bar kemudian ditutup dan tempat ini pernah difungsikan sebagai restoran dengan masakan ala Perancis.   Bulan lalu Amir Sidharta, kurator seni, yang saya kenal via jejaring sosial Twitter mengundang saya ke Kunstkring untuk makan siang bersama seorang polster politik dari AS.   Saya terkesima saat masuk ke gedung.  Interiornya cantik, antik dan berselera tinggi.  Ada nuansa Kraton Jawa,  Old Batavia dan Cina di sekujur ruangan.  Kami makan siang di ruang VIP di lantai dua.  Dinding ruangan itu penuh foto-foto dan lukisan Bung Karno.  Nyeni dan keren.

Makanannya?  Lumayan.  Jenis makanan yang bernuansa peranakan, dan “makanan rumah” yang disajikan secara elegan lagi musim dalam lima tahun belakangan.   Sejumlah restoran di Jakarta menyajikan menu semacam ini.  Beda nama dan penyajian.  Saat itu saya lebih konsentrasi ke diskusi dengan tamu asing dan menikmati interior ruangan.  Belum sempat eksplorasi ruangan lain.  Kunstkring sedang menjadi tempat Menlu Marty Natalegawa  menjamu tamu penting siang itu, Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr dan rombongan.

Kali kedua, saya makan siang dengan Bu Mari Elka Pangestu, Mbak Yani Motik dan Mbak Yuli Ismartono, sehari sebelum memasuki bulan Ramadan.  Saat itu saya kenalan dengan Mbak Annete Anhar, manajer Tugu Hotel Restoran yang kini mengelola Kunstkring Paleis sebagai resto dan galeri seni. Mbak Annete memilihkan menu untuk kami, diantaranya Sambal Goreng Tempe Lombok Idjo e Taotjo dan Ayam Goreng yang dimasak dengan banyak lengkuas.  Saya lupa mengecek namanya.  Persis makanan rumah.  Hidangan penutup adalah bubur sumsum pandan yang rasanya sedap.    Iseng cek di internet, Mbak Annette yang lulusan universitas di Australia ini rupanya orang di balik kreasi makanan di jaringan restoran dan bar yang dikelola Tugu Hotel Group.   Kami ngobrol soal pengembangan industri kreatif dengan Bu Mari. Siang itu tengah ada persiapan pameran perhiasan yang digelar selama bulan Ramadan.

Tadi sore saya memesan lima jenis menu untuk buka puasa.  Namanya sih keren-keren, ala Belanda. Pindang Kelowek van Visch (pan fried mackerel fish marinated in black “pulung  seed” topped with shredded dried galangal).  Mbak Annete mengatakan yang digunakan adalah Ikan Tenggiri.  Menurut yang saya rasakan, ini adalah daging ikan yang lembut dimasak dengan bumbu buah keluwek yang warnanya hitam dan biasanya kita gunakan saat membuat bumbu Rawon. Galangal adalah sejenis jahe yang biasa digunakan saat masak makanan Thailand. Lalu saya pesan menu favorit, Sambal Goreng Tempee, Lombok Idjo en Taotjo.  Yang ini nggak usah dijelasin.  Gampang masaknyaJ.  Menu berikut adalah Duivelse Kip alias “Ayam Setan” (aromatic roasted chicken dressed with a sauce dominated with fresh chillis, dried chillies, green curry mustard and tomatoes).   Saya pikir menu ini bakal disukai Darrel, karena dia suka ayam dan suka pedas.

Untuk Opung yang suka daging sapi saya pesan Keluwak Spare Ribs in Spicy Tamarind Gravy (A signature Nonya dish that is a must in Chinese New Year’s Eve reunion Dinner).  Menu ini masuk dalam andalan Kunstkring.  Begitu juga Pindang Kelowek.  Eh, ini penulisan menu kog nggak konsisten yaa…ada yang pakai Kelowek, ada yang gunakan Keluwak.  Apakah beda bahan?  Perasaan sih sama efeknya baik ke rasa maupun warna hidangan ;-).    Opung berkomentar, “Iganya enak.” Sayur?  Ada beberapa pilihan.  Eyang sudah sulit mengunyah yang alot-alot, jadi saya memesan Sayor  Gambas Udang (stir fried angled luffa with eggs, shiitake mushrooms).  Di Kunstkring kita bisa memilih Nasi Putih atau Nasi Merah.  Kami pesan keduanya.  Tajilnya?  Bubur Sumsum Pandan yang kata  Eyang, “terlalu manis, kayaknya dimasak pake gula pasir.  Harusnya rasanya ada gurih.”  Saya juga merasa bubur sumsum saat makan siang dengan Bu Mari Pangestu lebih syedap. Porsinya juga lebih kecil, sehingga tidak membuat “eneg”.

Hari ini saya komunikasi dengan Mbak Annette via pesan pendek, saat bertanya mengenai kepemilikan Kunstkring.  Soalnya saya memang berniat menulis buka puasa ini untuk Ramadan Journey, proyek  nge-blog setiap hari yang saya canangkan selama Ramadan tahun ini.   Saat  masih menjadi lokasi Budha Bar, resto itu dikaitkan dengan putri pejabat tinggi dan seorang pengusaha yang dekat dengan penguasa.  Menurut Mbak Annette, kini kepemilikan Kunstring ada di Pemda DKI Jakarta.  Pihak Tugu Hotel Group mengelolanya.  Makanya nama lengkapnya adalah Tugu Kunstkring Paleis.

Tugu Hotel Group juga mengelola sejumlah restoran bernuansa etnik  dan seni lainnya, termasuk Restoran Dapur Babah Elite dan Lara Djonggrang.  No wonder, cita rasa makanannya sih hampir sama yaaa…secara saya sudah pernah mencoba makanan di semua resto yang dikelola THG;-).  Kekuatannya ada di suasana resto, interior, penyajian.  Rasa masakan sudah disesuaikan dengan selera internasional .  Tak heran bagi lidah keluarga kami yang doyan pedes, rasa Ayam Setan yang katanya pedes belum seberapa.   Seperti halnya resto di jaringan THG, Kunstkring cocok untuk menjamu tamu asing.   Mereka bisa terkagum-kagum dengan “kekayaan budaya Indonesia” yang tergambar di sini.  Bukan berarti yang lokal tidak cocok.  Buat ngobrol serius, makan enak lama-lama, dan koleksi profile picture pas banget.  Lha semua pojok keren untuk foto-foto;-)

Di semua resto yang mereka kelola,THG melengkapi Kunstring  dengan bar, namanya Suzie Wong Bar.  Suasananya seperti di Hongkong…nuansa warna serba  merah dengan poster film Suzie Wong yang terkenal di era 60-an.  Belum nyobain sih, kecuali foto-foto.  Makanya belum bisa cerita.

Selama bulan Ramadan, disiapkan mushola yang keren di lantai dua.  Pameran perhiasannya juga menggoda iman…tadi saya membelikan Eyang sepasang anting cantik yang terbuat dari pecahan keramik kuno.   Saya juga beli dong, wong sejak persiapan pameran saya sudah mengincar sesuatu diantara yang dipajang di sanaJ

Setelah mencicipi makanan di Kunstkring, saya bilang ke Eyang, “ini semua kita bisa masak sendiri lho makanannya. Bikin dong di rumah. “  Eyang menjawab, “lha, mbok anak-anak yang masak pas ke rumah di akhir pekan…mama yang mencicipi.”  Waks…dibales balik.  Mama saya pinter masak, makanannya enak dan berani bumbu.  Kalau makan terus-menerus di resto kantong pasti jebol soalnya.  Definitely saya akan kembali ke Kunstring untuk menjamu tamu saya.  Lagipula belum semua makanan saya coba.

Dalam perjalanan pulang saya lapor ke Mbak Annette bahwa saya baru bukber di restonya.  Dia bilang, “lho kog nggak bilang-bilang sih?” . Iya, Mbak, soalnya lahaciaaa;-).  #end

 

 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Program #RuteKerenANTV, Merayakan Ramadan Sambil Cintai Indonesia
Next post
BUKBER "MIKIR" DI RUMAH Chairul Tanjung

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *