HomeEkonomi/BisnisChina : Unjuk Kuasa Lewat Angkasa

China : Unjuk Kuasa Lewat Angkasa

 

Kapsul yang membawa batuan dari bulan, mendarat di Mongolia.

 

Dari sisi waktu, China terbilang telat hadir di luar angkasa. Namun peristiwa pertengahan Desember lalu membuktikan, China tak bisa disepelekan. Hari itu, Kamis dini hari 16 Desember 2020, pesawat Chang’e-5 mendarat dengan membawa sekitar 2 kilogram batuan sampel dari bulan. Batu itu diambil dari daerah di bulan yang dikenal sebagai Mons Rümker, batuannya dikenal lebih muda ketimbang yang pernah didarati Apollo.

Chang’e, bermakna Dewi Bulan dalam legenda di China, menjadi misi luar angkasa China yang paling sukses, hingga saat ini. Amerika Serikat dan Uni Soviet balapan memamerkan kepiawaiannya di luar angkasa, pada era 1960-1970. Mereka sudah berhasil mengambil sampel batuan dari bulan. Tapi itu di masa lalu.

 

Lokasi pendaratan Chang’e, Apollo, dan Luna.

 

Situasi saat ini sungguh berbeda. China ingin menunjukkan pada dunia akan kedigdayaannya, setelah Rusia tak lagi menjadi pesaing kokoh Amerika. Persaingan antara Amerika dan China akan makin sengit. Hal ini, antara lain, dipicu oleh kompetisi ketat mendapatkan sumber daya alam yang murah dan melimpah.

China ingin menunjukkan kecanggihan teknologinya. China, sebagaimana Amerika Serikat, ingin unjuk kecanggihan teknologi eksplorasi tata surya. China memiliki tujuan lebih luas: mencari potensi sumber daya di jagad semesta. Bulan hanya dijadikan pijakan awal.

Cara bekerja Chang’e bisa dilihat di tautan berikut ini.

Beijing memang tidak terang-terangan dengan mengatakan ingin menggeser peran Amerika Serikat. ‘’Tapi jelas sekali, mereka ingin menjadi pemain penting di luar angkasa,’’ kata Brendan Curry, Kepala Operasi Planetary Sociaty, Washington.

Kapsul yang membawa batuan bulan berhasil mendarat kembali di bumi, di pedalaman Mongolia, setelah selama 23 hari menjalankan misinya. Kapsul pendarat itu memisahkan diri dari pesawat induknya sekitar 4.800 kilometer di atas bagian selatan Samudera Atlantik. Di ketinggian sekitar 10 kilometer, kapsul itu mengembangkan parasutnya, untuk menurunkan laju kecepatannya.

Luar angkasa, wilayah yang sebetulnya terasa sunyi, kini menjadi ajang perebutan pengaruh antara Amerika dan China. Dua negara dengan ekonomi terkuat di dunia itu kini juga balapan mencari untung dari luar angkasa.

Wakil Presiden Amerika, Mike Pence, tahun lalu mengumumkan rencana untuk mempercepat kembalinya Amerika ke bulan, sebelum 2024. Hal itu ia sampaikan dalam pertemuannya dengan Dewan Ruang Angkasa Nasional, di Gedung Putih, pertengahan tahun lalu. Saat itu ia juga mengingatkan bahwa China akan merampas keunggulan Amerika di luar angkasa, dan menjadi negara yang terkemuka.

 

Chang’e menjalankan misinya di bulan.

 

Perusahaan swasta di bidang luar angkasa akan meningkatkan persaingan antara NASA dan China. Ketika Pemerintah Amerika dan China bersaing untuk mengirim orang ke bulan, Elon Musk, pendiri SpaceX mengatakan: ia akan mengirim orang ke Mars. Masa depan eksplorasi luar angkasa memang tidak lagi tergantung pada pemerintah. Swasta pun sudah mulai tampil.

Sebetulnya ada harapan bahwa persaingan misi luar angkasa Amerika dan China berubah menjadi kerjasama. Tetapi, paling tidak untuk saat ini, kerjasama itu tidak akan terjadi. Pada 2011 muncul aturan yang digagas Frank Wolf, yang kemudian menjadi anggota Kongres dari Virginia, yang melarang kerjasama langsung dengan badan luar angkasa China atau perusahaan milik China. Alasannya, negara tirai bambu itu dinilai sarat pelanggaran hak asasi manusia.

Aturan itu tidak melarang ilmuwan China bekerjasama dengan mitranya, sesama ilmuwan dari China. Dengan alasan ini, sebetulnya ilmuwan NASA bisa ikut melongok batuan yang dibawa misi Chang’e. Prakteknya tidak semudah itu. NASA selama ini melarang ilmuwan China ikut mempelajari batuan dari bulan yang dibawa misi Apollo. Diperkirakan China akan melakukan langkah balasan.

Program Chang’e dimulai pada awal tahun 2000. Ketika itu, Presiden George W. Bush mengumumkan bahwa astronot NASA akan kembali ke bulan menjelang 2020. Rencana ini malah dikoreksi oleh Barack Obama dengan sesuatu yang lebih dahsyat: bukan lagi ke Bulan, melainkan ke Mars.

Dua Chang’e yang pertama mengorbit mengelilingi bulan. Chang’e-3 berhasil mendarat di bulan pada Desember 2013. Sejak itu, China, bersama Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah tiga negara yang berhasil mendaratkan misinya di bulan.

Pada Januari 2019, Chang’e-4 menjadi pesawat pertama yang berhasil mendarat di bulan pada sisi jauh. Penjelajahnya, Yutu-2, masih beroperasi hingga saat ini. Yutu diprogram menjelajah bulan selama dua tahun, untuk mempelajari geologi bulan.

China sekarang menjadi satu-satunya negara yang berhasil mendaratkan pesawatnya di bulan pada abad ke-21, dan melaksanakannya tiga kali.

Masih belum jelas arah kebijakan Joe Biden terhadap NASA, setelah ia dilantik menjadi presiden nanti. Apakah dia akan melanjutkan program Donald Trump untuk mengirim misi berawak ke bulan, sebelum 2024, atau program lainnya. Menurut dugaan, seandainya Trump menang, pengiriman misi berawak ke Bulan juga tidak akan terlaksana, mengingat suasana ekonomi lagi repot.

Berbeda dengan NASA yang masih belum jelas, China disiplin pada rencana dan jadwalnya. Program luar angkasa dijadikan sebagai sumber kebanggaan nasional, dan menjadi penyangga penting diplomasi.

Pemimpin China, Xi Jinping, sebagaimana ditulis New York Times, menjadikan program luar angkasa sebagai upaya untuk mengokohkan kedigdayaan China, baik di bumi maupun di antariksa.

Letnan Jenderal Zhang Yulin, mantan Wakil Komandan Program Astronot China, tahun lalu menulis di koran pemerintah, Harian Rakyat. Katanya, wilayah antara bumi dan bulan akan menjadi ajang baru bagi perluasan peradaban manusia.

Seorang pejabat senior lainnya, Bao Weimin, dari BUMN Perusahaan Teknologi dan Pengetahuan Luar Angkasa mengatakan, perburuan peradaban itu bisa menghasilkan pemasukan hingga US$ 10 triliun, bagi China.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Virus Corona: Belajar dari Penanggulangan Wabah di Masa Kolonial
Next post
Jurnalisme Verifikasi, Hilangnya Makna Objektivitas

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *