Pemilu 2024: Politik Itu Dinamis, alias Gampang Berubah Haluan
Partai Politik yang Mudah Ganti Haluan
MENJELANG pencalonan presiden dan wakil presiden untuk berlaga di pemilihan umum 2024, para petinggi partai politik rajin bertandang, mengunjungi ketua umum partai lainnya. Mereka saling menjajaki, siapa tahu bisa berada di perahu yang sama. Bahasa gampangnya, siapa tahu bisa mendukung calon presiden yang sama.
Pada 27 Juli 2023 lalu, Puan Maharani, Ketua Pemenangan Ganjar Pranowo, menemui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa di rumah dinas Muhaimin, di komplek pejabat tinggi negara, di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Meski sudah tahu bahwa PKB sudah menjalin kerjasama dengan Partai Gerindra untuk memenangkan Prabowo Subianto sebagai presiden pada pemilihan umum 2024, Puan masih berupaya membujuk Muhaimin untuk mendukung Ganjar.
Dalam kalimat Puan, politik itu dinamis. Ke mana kapal PKB berlabuh, masih mungkin untuk pindah haluan. PUan lalu menceritakan bahwa dirinya dengan Muhaimin punya hubungan dekat. Dulu, katanya, Muhaimin dititipkan oleh pamannya, Abdurrahman Wahid, ke keluarga Megawati untuk magang politik.
Namun, tak mudah bagi Puan untuk memindah haluan PKB, mengingat partai yang didirikan Gus Dur ini sudah terikat kontrak dengan Gerindra. Dan, tentu saja Muhaimin berharap bisa menjadi calon wakil presiden.
Mungkinkah Muhaimin beralih haluan, lalu berlabuh ke PDI Perjuangan? Ketika tulisan ini dibuat, pas 17 Agustus 2023, kemungkinan itu kecil. Walau begitu, peluang untuk pindah kubu sangat mungkin.
Bahasanya Puan Maharani: politik itu dinamis. Bahasa gampangnya: arah politik itu bisa berubah-ubah, tergantung siapa yang bisa memberi keuntungan lebih banyak. Semakin besar peluangnya memenangkan pemilihan presiden, semakin gampang pula menarik teman.
Jangankah partai politik, calon presiden saja bisa berubah sikap. Tak pernah ada yang menduga bahwa Prabowo Subianto, akhirnya bergabung dengan Jokowi, dan rela menjadi menteri pertahanan. Padahal dua orang ini dalam pemilu presiden berdiri berhadapan di pemilu yang panas, karena terlibatnya urusan SARA dan berbagai isu lain dalam kampanye. Anies Baswedan, salah satu bakal calon presiden dalam pemilu 2024, juga dikenal amat ‘’dinamis’’.
Ia pernah maju sendiri ikut konvensi Partai Demokrat. Pada pemilu 2014 ia menjadi juru bicara Prabowo Subianto. Dan pada pemilu 2019, ia bergabung dengan Jokowi. Belakangan ia malah melawan Prabowo dan partainya Jokowi, yakni PDI Perjuangan, dalam pemilihan presiden kali ini.
Anda punya kebebasan menilai, ‘’dinamis’’ dalam politik itu baik atau buruk. Tapi, kalaupun calon presiden yang Anda jagoi hasil pollingnya kurang bagus, tidak usah khawatir.
Di survei sekitar tiga bulan ini, popularitas dan elektabilitas Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra, terlihat moncer. Maka partai pun datang berduyun-duyun: Partai Bulan Bintang, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar. Maka kini Prabowo didukung koalisi gendut. Ada kemungkinan partai-partai baru, juga partai non-parlemen, ikut bergabung mendukung Prabowo.
Sebaliknya Ganjar Pranowo, yang hasil surveinya cenderung stagnan, sementara ini hanya didukung dua partai parlemen: PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan. Partai non-parlemen yang mendukung adalah Perindo dan Hanura.
Mengingat pemilihan umum masih tujuh bulan lagi, tingkat keterpilihan Ganjar maupun Prabowo masih sangat mungkin berubah. Bisa jadi Prabowo makin naik, dan Ganjar makin turun, atau sebaliknya. Kalaupun popularitas dan elektabilitas di polling menang, belum tentu yang bersangkutan jadi juara.
Contoh mutakhir mengenai jebloknya hasil survei adalah kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton pada pemilihan presiden Amerika Serikat, tahun 2016. Hampir seluruh lembaga polling menjagokan Hillary. Nyatanya, Donald Trump yang menang. Koran terkemuka di Amerika Serikat, The New York Times, tujuh bulan setelah pemilihan umum yang melelahkan itu, menulis analisis ahli statistik terhadap hasil pemilu Amerika Serikat.
Kekalahan Hillary, antara lain, disebabkan oleh besarnya massa yang baru menentukan pilihan pada saat-saat akhir. Mereka ternyata condong memilih Trump. Di samping itu, dalam polling ternyata lembaga survei tidak mempertimbangkan tingkat pendidikan dalam pemilihan responden. Padahal ini sangat menentukan pilihan.
Berkaca terhadap kasus di Amerika Serikat, calon yang masih di nomor bawah dalam polling, tidak usah kawatir. Amat mungkin yang terjadi di Amerika juga berlaku di Indonesia. Para pemilih masih sangat mungkin berubah coblosannya. Mereka sangat dinamis, seperti halnya para politisi yang gampang berubah haluan.
No Comment