Paradise Papers Telisik Transaksi Bisnis Sukanto Tanoto
Grup April, ditengarai melakukan transaksi lewat perusahaan di labuhan pajak
JAKARTA, Indonesia – Nama April Group, perusahaan bubur kayu dan kertas (pulp andpaper) milik Sukanto Tanoto, disebut dalam dokumen surga atau Paradise Papers yang dirilis jejaring jurnalis investigasi internasional (ICJI) awal pekan ini.
Perusahaan ini menjadi buah bibir bulan lalu karena menyebarkan informasi bahwa perusahaan harus menghentikan operasinya karena aturan pemerintah terkait lahan gambut.
Menteri Siti rupanya kesal dengan sikap PT RAPP (April Group). Upaya pemerintah menertibkan PT RAPP agar taat aturan, justru berkembang liar di lapangan dengan isu pencabutan izin. Muncul keresahan di masyarakat. April adalah singkatan dari Asia Pacific Resources International Holdings Ltd, salah satu perusahaan terbesar di dunia di bidang bubur kayu dan kertas.
Pemerintah menolak Rencana Kerja Usaha RAPP sebagai bagian dari upaya paksa pemerintah melindungi ekosistem gambut Indonesia.
Menurut catatan KLHK, PT. RAPP satu-satunya perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tidak mau menuruti aturan pemerintah. Sementara 12 perusahaan HTI lainnya saat ini sudah mendapatkan pengesahan RKU mereka, dan tidak ada mengeluhkan masalah.
Kepatuhan perusahaan-perusahaan HTI berbasis gambut sangat penting, karena selama ini ekosistem gambut mudah terbakar, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama lebih dari 20 tahun di Indonesia.
Menurut Menteri Siti, melindungi gambut tidak bisa hanya dengan pemadaman rutin saja, namun harus dicegah secara dini dengan melakukan perlindungan gambut secara utuh dan menyeluruh.
Paradise Papers menelisik jejaring bisnis April
Dalam publikasi dari dokumen “surga” yang dimuat di laman ICJI, jejaring jurnalis investigasi internasional itu menemukan bahwa April adalah salah satu dari belasan korporasi di bidang kehutanan yang menggunakan jasa firma Appleby dalam transaksi keuangannya.
Artikel yang membahas April diberi tajuk, Leaked Records Reveal Offshore’s Role in ForestDestruction. Artikel diterbitkan pada 8 Nobember 2017, empat hari sesudah pengungkapan pertama Paradise Papers ke publik.
Appleby, yang didirikan di Bermuda, adalah salah satu firma hukum luar negeri paling bergengsi di dunia. Meskipun Appleby bukan penasihat pajak, firma berusia 119 tahun tersebut adalah anggota terkemuka dari jaringan global pengacara, akuntan, bankir dan operator lainnya yang mengatur dan mengelola perusahaan offshore dan rekening bank untuk klien yang ingin menghindari pajak atau menjaga agar rahasia keuangan mereka tetap aman
Dokumen terkait April didapat dari firma hukum Appleby dan penyedia layanan jasa korporasi Estera, dua entitas bisnis yang beroperasi bersama di bawah payung Appleby. Estera kemudian beroperasi secara independen pada 2016.
Dokumen yang ada menunjukkan bahwa Appleby dan bank Credit Suisse dan ABN Amro yang merupakan lembaga keuangan dari Belanda, mendukung April dalam operasionalnya, kendati muncul pertanyaan tentang rekam jejak April dalam soal lingkungan hidup.
Menurut bocoran dokumen surga, catatan internal Appleby menunjukkan kepedulian dari pihak ilmuwan, grup advokasi dan pejabat pemerintah bahwa sistem finansial lepas pantai (off-shore, atau berbasis di kepulauan yang dikenal dengan labuhan pajak atau tax haven), atas berkontribusi Appleby terhadap ekspansi perusahaan.
Dukungan ekspansi terhadap perusahaan berbasis hutan ini dianggap berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Dokumen ini juga menyebutkan fakta bahwa Indonesia, yang dianggap memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memiliki tingkat deforestasi yang tinggi.
Data Pusat Riset Hutan Internasional (PRI) pada tahun 2016 menunjukkan Indonesia kehilangan seperempat wilayah hutannya dalam 25 tahun terakhir.
Analisis yang dilakukan ICJI menemukan bahwa, “April telah membaurkan transaksi miliaran dolar melalui jejaring perusahaan lepas pantai, atau perusahaan cangkang yang berbasis mulai dari Cook Islands di Pasifik Selatan sampai ke British Virgin Island di Karibia.”
April adalah bagian dari Grup Royal Golden Eagle, atau Raja Garuda Mas (RGM), salah satu konglomerat terbesar di Asia yang bergerak di bidang sumberdaya alam. RGM disebut berbasis di Singapura dan memperkerjakan 60 ribu orang di seluruh dunia. Kelompok perusahaan ini memproduksi bubur kayu, kertas, minyak sawit dan beragam produk lain. Perusahaan ini dikenal jarang menerima wawancara media.
Menurut dokumen surga, RGM menyatakan, memberikan, “nasihat strategis dan alih-daya proses bisnis secara komprehensif kepada April dan perusahaan lain dalam grup, yang masing-masing beroperasi secara mandiri, memiliki aset sendiri dan mengelola keuangannya secara otonom.”
Pemilik RGM adalah miliarder Sukanto Tanoto, yang masuk dalam daftar Forbes, sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia.
Awal mula beralih ke tax haven
Laman Sukantotanoto.net menyebutkan, RGM adalah sebuah perusahaan global yang bergerak di sektor pengelolaan sumber daya alam dengan kantor yang berada di Singapura, Hong Kong, Jakarta, Beijing dan Nanjing.
Sukanto Tanoto masuk ke bisnis kayu lapis pada tahun 1967 setelah sebelumnya berbisnis memasok suku cadang minyak dan industri. Sukanto kemudian mendirikan bisnis lainnya, masih dalam bidang sumber daya alam, seperti kelapa sawit, kehutanan, pulp dan kertas serta pembangkit tenaga listrik.
Bisnis RGM meliputi empat area operasional: pulp dan kertas (April), kelapa sawit (Asian Agri dan Apical), rayon dan pulp khusus (Sateri International) serta energi (Pacific Oil & Gas).
Tahun 1990-an bisnis sumberdaya alam mengalami situasi sangat baik, dan ekonomi di kawasan ini disebut “Asian Tigers”. Menurut bocoran dokumen yang didapat ICJI, pada saat bersamaan RGM mulai memindahkan transaksi keuangannya ke kawasan labuhan pajak (tax havens), dengan mendirikan perusahaan di tempat-tempat yang menetapkan pajak nol persen ataupun pajak yang sangat rendah. ICJI juga menyebutkan saat itu RGM mulai memindahkan modalnya.
Dokumen ICJI juga menyebutkan, pada September 1994, bagian pertama dari apa yang kemudian muncul sebagai Grup April dimulai dengan pendirian dua perusahaan di Bermuda, salah satu lokasi kunci dalam sistem keuangan lepas pantai.
“Perusahaan-perusahaan ini dikelola oleh Appleby untuk urusan administrasi dan jasa hukum. Dalam waktu satu tahun, salah satu dari perusahaan berbasis di Bermuda itu, yang dikenal dengan nama April, tercatat di Busaha Saham New York,” demikian dokumen ICJI.
Menurut dokumen rahasia yang digunakan oleh ICJI dalam investigasi Offshore Leaks” pada 2013, sebuah perusahaan berbasis jasa berbasis di Singapura, namanya Portcullis TrustNet membantu RGM mendirikan sebuah perusahaan di British Virgin Islands dan dua perusahaan lagi di Cook Islands.
Salah satu dari perusahaan yang didirikan di Cook Islands adalah PEC-Tech Ltd., an engineering firm yang disebut menjadi pemain aktif dalam operaso bisnis bubur kayu dan kertas yang dikelola Tanoto.
Untuk sejumlah perusahaan yang dibentuk dengan bantuan Portcullis, Tanoto menandatangani kontrak yang memberikan otorisasi kepada perusahaan pihak ketiga yang mengeksekusi transaksi atas namanya.
Sukanto Tanoto warga negara Indonesia berasal dari etnis Tionghoa menandatangani otorisasi itu dengan nama Tionghoanya, Tan Kang Hoo.
April termasuk yang kena dampak krisis finansial Asia yang menerpa Indonesia, Thailand dan Korea Selatan pada tahun 1997-1998. Krisis yang membuat Presiden Soeharto harus berhenti dari masa kekuasaan 32 tahun. Menurut laporan ICJI, krisis ekonomi membuat April menanggung utang senilai sekitar US$ 1,3 miliar dan membuatnya alami “delisting” di NYSE.
Pemerintah saat itu membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Banyak perusahaan, debitur bank, kredit bermasalahnya direstrukturisasi. Menurut dokumen ICJI, termasuk kredit April.
Laman hukumonline.com menuliskan rencana BPPN menerapkan upaya paksa terhadap sejumlah obligor jika tidak melunasi kewajibannya saat itu. Nama Grup RGM masuk di dalam daftar obligor itu.
Di bawah ini sebuah bagan perusahaan dan kepemilikan di April Group yang diperoleh ICJI dan dimuat di dokumen surga.
Warna menunjukkan jenis perusahaan. Warna biru muda adalah special purpose vehicle(SPV), biasa disebut juga perusahaan cangkang, adalah perusahaan anak dengan struktur aset dan hukum sedemikian sehingga jika induknya dinyatakan bangkrut, perusahaan SPV ini tetap aman.
Biru tua menggambarkan share holder atau pemegang saham. Merah tua menggambarkan Parent Co atau perusahaan induk. Warna oranye menunjukkan Trading Co, atau perusahaan dagang. Hijau adalah Operating Co, atau perusahaan yang mengoperasikan kegiatan bisnis tertentu, sedangkan warna kuning adalah induk grup perusahaan.
Menurut dokumen ICJI, April juga ekspansi ke Tiongkok, Brasil dan sejumlah negara lain. Dokumen dari Appleby menunjukkan bahwa April memiliki atau pernah memiliki perushaaan anak di Dubai, Sheychelles dan kawasan labuhan pajak lainnya. Perusahaan-perusahaan (April has or had subsidiaries ) ini tidak tercatat di situs perusahaan April.
RGM kemudian memindahkan operasi perusahaannya ke Singapura yang tergolong mengenakan tarif pajak rendah.
Asian Agri, anggota RGM di bisnis minyak sawit, tersangkut skandal kasus pajak pada tahun 2000-an. Laman katadata mengutip ucapan Dirjen Pajak saat itu, Fuad Rachmany, yang mengatakan skandal penggelapan pajak Asian Agri termasuk paling canggih di Indonesia.
Pada tahun 2012, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis dua tahun penjara bagi dua manajer pajak di Asian Agri. Perusahaan juga diperintahkan membayar lebih dari US$ 440 juta atau Rp 2,5 triliun dalam bentuk pajak dan dendanya.
Bagaimana transaksi diatur Appleby
Menurut bagan yang diperoleh dari internal Appleby, pada Desember 2010, misalnya, sebuah grup bank yang dipimpin Credit Suisse menggunakan Appleby sebagai penasihat, mengatur pinjaman sindikasi lebih dari US$ 180 juta dolar ke April Group.
Uang pinjaman itu digunakan untuk PEC-Tech yang didirikan di Cook Islands. Tetapi menurut bagan yang ada uang itu tidak dialirkan ke PEC-Tech. Uang itu justru dipinjamkan ke Gold Crest Capital, perusahaan yang didirikan di British Virgin Islands.
Duit pinjaman kemudian dialirkan ke perusahaan lain yang didirikan di British Virgin Islands dan kemudian dikirimkan ke perusahaan induk di Singapura yang menurut surat elektronik internal di Appleby, “ berfingsi sebagai pusat perbendaharaan dan keuangan bagi Grup April.”
Perusahaan induk yang berbasis di Singapura, Heliosity Consulting, kemudian meminjamkan duit tadi ke unit pemasok bubur kertas April di Indonesia, yang kemudian akan membayar PEC-Tech untuk lini produksi bubur kertas yang baru.
Menurut Scilla Alecci, jurnalis yang menulis artikel tentang April untuk ICJI, pengaturan pinjam meminjam itu adalah bagian dari struktur pajak yang didesain untuk menurunkan secara keseluruhan kewajiban pajak grup perusahaan. Seorang penasihat hukum untuk bank yang terlibat menulis soal ini dalam surat elektronik ke Appleby.
Dokumen juga menyebutkan bahwa jurubicara April mengatakan, “perusahaan telah memenuhi semua kewajiban pajak di semua wilayah di mana perusahaan beroperasi, dan patuh kepada semua hukum dan peraturan yang berlaku baik di domestik maupun internasional. Jubir April juga menyebutkan bahwa transaksi keuangan yang dilakukannya adalah bagian dari komitmen untuk memenuhi pengelolaan perusahaan yang baik dan praktik bisnis berkelanjutan.
Rappler mengontak Direktur Corporate Affairs RGM, Agung Laksamana, untuk mendapatkan komentar dan konfirmasi atas laporan ICJI. Lewat pesan pendek, Kamis pagi, 9 November 2017, Agung berjanji akan menjawab melalui surat elektronik pada sore hari. Sampai tulisan ini diturunkan, Agung yang juga ketua umum pengurus pusat Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas) mengatakan, tanggapan masih dipelajari bersama tim di Singapura
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti laporan dalam dokumen surga itu. “Dalam rangka memerangi apa yang disebut flow of fund sifatnya ilusif atau tidak sesuai aturan hukum itu akan jadi suatu perhatian,” ujar Sri Mulyani di kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, Senin, 6 November 2017. – Rappler.com
No Comment