G20: Identitas Internasional buat Indonesia, Panggung bagi SBY
Sebuah forum dibentuk untuk koreksi terhadap ketidakseimbangan ekonomi dunia pasca krisis 2007-2008. Setelah dua tahun berjalan, apa manfaatnya bagi Indonesia?
Ruangan mendadak senyap. Para menteri dan pejabat Indonesia yang tadinya asyik berhaha-hihi di sebuah ruangan di lantai dua Hotel Westin Harbour, Toronto itu, duduk manis di kursi yang ditata memanjang, tiga saf di kiri-kanan. Di ujungnya sebuah kursi kosong, siap diduduki sosok yang dihormati di situ, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kursi itu masih hangat.
Sekitar 15 menit sebelumnya Presiden SBY, duduk disitu juga seraya mendengarkan puja-puji dari Richard Greene, penulis buku “Words That Shook The World”. Kata Greene, “Presiden SBY mengguncang dunia dengan idenya soal membangun harmoni antara dunia Barat dan Islam.” Masih kata Greene, pidato SBY berjudul Towards Harmony Amongs Civilizations yang disampaikan di depan komunitas mahasiswa Kennedy School of Government, Universitas Harvard, September 2009 menawarkan ide segar. Ruangan dipenuhi keplok, tepuk-tangan.
SBY nampak girang. Greene menyejajarkan SBY dengan Presiden Barack Hussein Obama yang salah satu pidatonya juga ada di buku itu. Hari itu Sabtu, 27 Juni 2010, pukul 16.30 Waktu Toronto. Di luar hujan gerimis.
Acara penyerahan buku usai. SBY masih sukacita menimang Ipad, gadget baru yang lagi nge-tren. Di dalamnya ada versi eBook dari buku Greene. Ia meninggalkan ruangan sebentar, 15 menitan. Ketika dia kembali masuk ruangan, duduk di kursi yang sama, lantas memulai briefing untuk para staf (baca: anggota delegasi RI, pejabat Istana dan staf KBRI di Kanada), SBY memulainya dengan menceritakan esensi dari pidato di Harvard itu.
Pidato Harvard yang mengguncang dunia itu disampaikan setelah SBY mengikuti pertemuan G20 Summit di Pittsburgh, 24-25 September 2009. SBY melanjutkan kunjungan ke Boston untuk bertemu dengan forum pengusaha AS-Indonesia, lantas berpidato di Harvard pada 29 September 2009, sore hari. Pidato itu dimulai dengan peran Indonesia yang kian penting di dunia internasional. Bukti kuat adalah diundangnya Indonesia menjadi wakil negara-negara ASEAN dalam forum Kepala Negara G20 (G20 Summit).
Sesudah prolog yang diselingi humor, disaksikan 1.000-an hadirin, dosen dan mahasiswa, termasuk putranya Agus Harimurti yang tengah menimba ilmu di sana, SBY menyampaikan betapa tepat waktu saat ia mendapat kesempatan pidato di depan warga Harvard yang termasyhur. “Bagi saya, G20 adalah salah satu manifestasi dari perubahan yang terjadi di dunia politik global,” ujar SBY.
G20 menjadi forum yang pertamakali mengakomodasi semua peradaban utama (major civilizations), tidak hanya negara barat, melainkan juga Cina, Korea Selatan, India, Afrika Selatan dan negara lain, termasuk tiga negara yang memiliki populasi penduduk beragama Islam besar yakni Saudi Arabia, Turki dan Indonesia. Forum multilateral lain seperti G8, G7 dan Dewan Keamanan PBB tidak menggarisbawahi petingnya representasi ini. “G20 adalah representasi komunitas global dari beragam peradaban,” kata SBY.
Barangkali karena itu juga G20 dipandang sukses mengangkat dunia dari ancaman resesi global yang dipicu krisis finansial di AS, tahun 2008. Koordinasi cepat dan kongkrit yang dilakukan negara anggota G20 telah meletakkan dasar stabilisasi sistem di sektor keuangan, memulihkan kepercayaan yang berujung pada lahirnya tanda-tanda pemulihan ekonomi dunia, lebih cepat dari yang diperkirakan.
G20 lantas menjadi identitas internasional yang baru bagi Indonesia. Lebih khusus lagi, bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kisah masuknya Indonesia dalam forum Kepala Negara G20 berawal dari sambungan telpon di malam hari waktu Indonesia, sekitar 2 bulan sebelum pertemuan G20 tingkat kepala negara yang pertama berlangsung di Washington DC, 14-15 November 2008. Kala krisis 2007 meledak, ada pemikiran untuk memperluas G7 atau G8 Summit untuk diperluas jadi G13 atau forum tingkat menteri keuangan G20 yang sudah berdiri sejak 1999, ditingkatkan jadi tingkat Kepala Negara G20. Perancis condong ke G13. Jika forum G13 yang dipilih, Indonesia tidak masuk di sini.
Padahal, Indonesia merasa perlu masuk dalam sebuah forum dunia yang membahas krisis ekonomi. Apalagi Indonesia menganggap bisa berkontribusi pemikiran dan solusi berdasarkan pengalaman melalui krisis ekonomi 1997-1998. Saat krisis 2007-2008 pun ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif, 4%, tertinggi ketiga di Asia setelah Cina dan India. “Kami melobi sekuat tenaga agar ada forum G20 Summit, di mana kepala negara Indonesia masuk di dalamnya,” kisah Dino Patti Djalal, staf khusus Presiden SBY bidang hubungan internasional, sekaligus juru bicara masalah luar negeri. Diplomat Indonesia kasak-kusuk.
Lalu, telpon-telponan antara SBY, PM Australia saat itu, Kevin Rudd, dan Presiden Bush, membuat Indonesia diundang masuk forum G20 Summit. Soalnya AS memegang kunci dalam menentukan siapa yang diundang dalam forum kepala negara G20, dan Australia adalah sekutu penting AS, bahkan sering disebut sebagai deputy sherrif-nya.
Sesudah itu telpon-telponan itu, adalah sejarah. Indonesia masuk dalam jajaran klub elit dunia untuk membicarakan persoalan ekonomi. Sesudah Washington DcC, G20 Summit berikutnya di London, April 2009. Kiprah Indonesia mendapat perhatian media internasional. Pidato Presiden SBY di forum dunia, bahkan di dalam negeri, hampir selalu mengutip keikutsertaan Indonesia di G20 sebagai bukti pengakuan dunia atas peran Indonesia. Dan tentu saja peran kepemimpinan SBY. Soal ini selalu menjadi bahan canda antara saya dan Dino Patti Djalal yang juga menjadi penulis pidato internasional SBY.
Dino tahu saya hafal kalimat-kalimat yang ada dalam pidato-pidato SBY di sejumlah forum. “Ah, kali ini banyak copy-paste lagi ya,” ujar saya kala mendapati pidato yang memuat kalimat yang sama dengan pidato-pidato terdahulu, termasuk Pidato SBY saat Pelantikan Presiden periode 2009-2014 di forum Paripurna DPR. Kalau sudah begini, Dino biasanya cuma tesenyum simpul. Saya ikut meliput dalam rombongan Presiden SBY ke forum G20 yang pertama di AS. Waktunya bersamaan dengan krisis Bank Century. Delegasi Indonesia di forum menteri dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Di tingkat pembahasan draf deklarasi Washington, dari pihak Indonesia yang terlibat adalah Anggito Abimanyu, Kepala Badan Fiskal Departemen Keuangan yang berfungsi sebagai ketua kelompok kerja dari Indonesia. Dalam negosiasi dilibatkan Mahendra Siregar, saat itu deputi menteri perekonomian sebagai “sherpa”, pendamping Kepala Negara saat pertemuan tingkat Kepala Negara. Juga dilibatkan, Chatib Basri, ekonomi UI yang dalam daftar delegasi ditulis sebagai “deputi Menteri Keuangan.
Pertemuan G20 di Pittsburgh yang untuk pertama kalinya dihadiri Presiden terpilih Barack Obama juga saya liput. Tim kerja Indonesia masih sama. Dalam sebuah perbincangan dengan Anggito Abimanyu di Pittsburgh, saya mendapatkan informasi bahwa ide orisinal Indonesia yang masuk dalam deklarasi G20 adalah penambahan modal Bank Pembangunan Asia (ADB), dana talangan darurat untuk fiskal, countercyclical policy, serta capacity building untuk refornasi di sektor finansial.
Countercyclical adalah sebuah kebijakan ekonomi yang menerapkan hal bertentangan dengan keadaan yang terjadi saat itu, meredakan ekonomi saat dianggap terlalu “memanas”, atau merangsang saat ekonomi sedang “melambat”. Di Pittsburgh inilah Obama mendorong G20 sebagai forum utama untuk membicarakan kerjasama ekonomi internasional. Sebuah ide yang disokong Indonesia, dan sempat ditentang Jepang.
Forum Sepakat untuk Tidak Sepakat.
Sejak awal G20 memang bukanlah forum yang bersifat mengikat. Forum ini menjadi tempat bagi negara anggota untuk saling mengkoordinasikan kebijakan yang diambil untuk penanganan krisis ekonomi di negara masing-masing. Menuju G20 di Toronto saja, perbedaan sikap sudah tampak. Para pembuat kebijakan di Eropa masih kuatir bahwa bailout yang dilakukan atas krisis ekonomi Yunani bulan lalu menimbulkan risiko penjualan surat berharga dan menurunkan rating kredit pemerintah.
Di sisi lain, Presiden Obama membawakan proposal AS yang pemotongan anggaran publik akan menimbulkan tekanan pada ekonomi dan mengancam lapangan pekerjaan. Sama halnya dengan debat soal berapa besar seharusnya anggaran yang digelontorkan ke publik sebagai stimulus ekonomi saat krisis terjadi, kini debatnya adalah kapan saat yang tepat untuk menghentikan (atau mengurangi) pinjaman kepada publik.
Itu baru satu perbedaan, yang menyangkut kebijakan fiskal. Hal lain adalah debat soal pengenaan dana provisi untuk cadangan jika terjadi krisis yang cenderung dilakukan bank berskala global. Ide ini jelas disokong negara maju, tetapi berat dilakukan oleh negara berkembang. Negara maju akan dukung bank mengenakan persentase tambahan dana ini atas setiap penjualan kreditnya. “Tapi dengan situasi ekonomi yang belum stabil di negara berkembang, kebijakan ini sulit diterapkan,” kata ekonom Anton Gunawan, sebagaimana dikutip koran Bisnis Indonesia (24/6)
PM Inggris David Cameron yang baru kali ini menghadiri pertemuan pemimpin ekonomi G20 datang dengan membawa proposal yang isinya pengetatan anggaran publik untuk penguatan fiskal. Inggris sudah melakukan upaya pemangkasan anggaran publik dengan akibat berkurangnya anggaran untuk polisi, militer, pemadam kebakaran, sekolah dan sektor publik lainnya. Bagi Inggris (dan juga Jerman dan Uni Eropa), saatnya melakukan kebijakan yang berakibat pahit saat ini, untuk hasil yang baik di masa depan. Short term pain, long term gain. Ide ini ditentang AS yang ingin stimulus terus dilakukan, kalau tidak ekonomi bisa balik ke resesi lagi.
G20 Toronto adalah pertemuan ke-4 di tingkat kepala negara. Forum ini telah melansir sejumlah agenda reformasi di berbagai institusi yang terkait dengan penanganan ekonomi internasional. Negara yang ekonominya signifikan untuk mempengaruhi naik turunnya ekonomi dunia harus melakukan hal yang sama, mereformasi pengelolaan ekonominya. Ambisi G20 tidak hanya menstabilkan keadaan ekonomi dunia pasca krisis ekonomi 2007-2009, melainkan juga membuat mekanisme antisipasi untuk mencegah trjadinya krisis serupa di kemudian hari. G20 juga menginginkan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Elemen sentral dalam komitmen reformasi itu tercantum dalam kesepakatan yang diberi judul: Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth”, yang dihasilkan oleh Pittsburgh Summit 2009. Di situ anggota G20 sepakat untuk memikul tanggungjawab individual maupun bersama untuk menjamin sehatnya ekonomi global. Hal itu dilakukan dengan menyetujui sejumlah elemen kunci pertumbuhan, melakukan koordinasi kebijakan di masing-masing negara dengan dukungan Dana Moneter Internasional (IMF) dan institusi lainnya, juga sepakat untuk untuk selalu mendiskusikan tindakan yang diperlukan selanjutnya untuk melaksanakan komitmen di atas.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa ada banyak alasan untuk skeptis terhadap komitmen untuk terikat dalam kesepakatan bersama dalam menjalankan kebijakan dan kerjasama ekonomi. Bahkan penanganan pasca krisis di masa sebelumnya yang dilakukan dengan pengawasan IMF menunjukkan sulitnya kerjasama ekonomi dilakukan. Misalnya dalam hal memastikan tidak adanya sikap proteksionis untuk melindungi industri dalam negeri. Ada juga upaya G7 dan European Monetary Union (EMU) untuk kerjasama menangani persoalan mata uang dan ketidakseimbangan fiskal, sering berakhir dengan skema kesepakatan yang bersifat “kosmetik”. Ujungnya adalah risiko dampak konter-produktif, gara-gara para peserta gagal atau enggan bersikap jujur dalam mengidentifikasi persoalan mendasar penyebab krisis. G20 ingin menghindari tidakan dan kebijakan supervisial seperti pengalaman masa lalu.
Proses penanganan krisis yang dilakukann melalui forum G20 juga menawarkan sejumlah inovasi. Masing-masing anggota diharusnya menyampaikan secara terbuka, termasuk jadwal pelaksanaan kebijakan ekonomi dalam rangka penanganan krisis. Data-data yang dijadikan bahan pembuat kebijakan haruslah data terbaru. Inovasi lainnya adalah akses langsung di setiap proses pembahasan antar tim kerja G20, dengan para pemimpinnya (baca: kepala pemerintahan/negara).
Proses di G20 juga menyertakan sejumlah perspektif dan skenario penanganan krisis. Hal-hal ini sebelumnya luput dalam penanganan dengan cara lama yang didominasi agenda IMF dan negara maju. Tentu saja pertanyaan penting masih muncul di sini. Soalnya Framework itu tidak mengatur sanksi apa yang misalnya diberlakukan jika ada yang melanggar kesepakatan. Juga bagaimana mekanisme kerja yang berdasarkan prinsip kesejajaran dan keterbukaan bisa dilakukan dengan institusi lain di luar IMF.
Awal krisis dan G20 Summit
Krisis finansial global pada 2007-2009, diyakini adalah dampak dari lemahnya regulasi di pasar uang dan institusi keuangan. Krisis juga disebabkan gagalnya lembaga kerjasama ekonomi dan keuangan dunia melakukan respon secara efisien. Sejumlah pertanyaan mendasar muncul. Misalnya, bisakah di masa depan krisis seperti diprediksi, lantas diantisipasi? Bisakah kita membangun sebuah mekanisme pengelolaan krisis secara internasional yang bisa memberikan sistem deteksi dini atas potensi krisis, bahkan meredam akar persoalan pemicu krisis?
Pada awalnya G20, meski membawakan sejumlah inovasi dalam mekanisme pengambilan keputusan, terutama keterlibatan langsung para kepala negara, namun usulan kebijakannya dianggap “lagu lama” dan tak beda dengan proposal serupa dimasa lalu yang di diresepkan oleh IMF dan Bank Dunia. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pandangan kebijakan yang simplistis dapat menjebak kita, sehingga membuat kebijakan yang bersifat umum dan tidak menyentuh akar persoalan.
Di Pittsburgh para pemimpin mendefinisikan elemen-elemen kunci dalam Strong, Sustainable and Balanced Growth. Juga cukup detil dalam mendeksripsikan komitmen pencapaian yg akan mereka lakukan, termasuk: Mengimplementasikan kebijakan fiskal yang bertanggungjawab, mencegah ekses pertumbuhan kredit yang tak terkendali, mencegah harga kredit dan aset menjadi penyebab destabilisasi ekonomi, mempromosikan anggaran pendapatan dan belanja negara yang lebih seimbang, memberlakukan kebijakan moneter yang konsisten dengan tingkat harga yang lebih stabil dalam konteks nilai tukar yang lebih mencerminkan fundamental ekonominya, melakukan reformasi struktural untuk menjamin peningkatan potensi tingkat pertumbuhan, dan pada saat dibutuhkan memperbaiki sistem jaring pengaman sosial. Mempromosikan pembangunan yang berkesimbangan dan berkelanjutan dalam upaya mempersempit ketidakseimbangan dan menurunkan kemiskinan.
The Framework pada umumnya fokus pada stabilitas makro dan faktor yang dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Tetapi juga mengandung sejumlah hal yang terkait dengan komitmen G20 untuk reformasi di sektor keuangan. Ini diwujudkan dengan pembentukan Financial Stability Board (FSB, Badan Stabilisasi Finansial). Badan ini diisi oleh para menteri keuangan dan pimpinan Bank Sentral negara G20 ditambah sejumlah anggota dari negara yang meenjadi pusat-pusat keuangan dunia, lembaga multilateral, baik regional maupun global. G20 juga memperbarui komitmen untuk lingkungan yang menjamin perdagangan dunia yang bebas, juga menangani sejumlah isu pembangunan dan keamanan yang disebabkan krisis.
Yang kurang dari Pittsburgh adalah kebijakan tindak-lanjut dalam memonitor pelaksanaan komitmen tiap negara. Memang tidak mudah, karena setiap kali “pemaksanaan” atas pelaksanaan komitmen G20 bisa dianggap sebagai intervensi terhadap kedaulatan negara. Hanya melaksanakan komitmen bersama yang tidak dianggap sebagai kebutuhan mendasar secara individual juga akan menimbulkan kebijakan setengah hati. Tanda-tandanya sudah jelas dalam G20 di Toronto.
Indonesia dan G20 ke depan
Penerbangan Amsterdam-Toronto butuh waktu 8 jam. Ini etape ketiga dalam penerbangan delegasi SBY ke G20 kali ini. Pesawat Airbus Garuda Indonesia yang membawa sekitar 150 anggota rombongan, termasuk 6 menteri, dua pimpinan Dewan Perwakilan Daerah dan dua anggota DPR sempat transit di Dubai sebelum kembali transit di Amsterdam, Belanda. Di tengah perjalanan, saat masih harus menempuh 4.600 kilometer, atau 4,5 jam penerbangan sebelum mendarat di Toronto, SBY menggelar jumpa pers di atas pesawat.
SBY mengawali dengan kilas balik krisis ekonomi. Dua tahun setelah krisis ekonomi, sesudah G20, pemulihan ekonomi berjalan, meski belum tuntas. Ketidakseimbangan ekonomi global masih terjadi, dan perlu dikoreksi. Menurut SBY, selama pemulihan krisis, Indonesia menunjukkan sikap sebagai “good guy” dengan melakukan reformasi sistem finansial, reformasi fiskal dan pengelolaan ekonomi secara hati-hati. Indonesia mengucurkan stimulus fiskal senilai Rp 76 trilyun, seraya tetap menjaga defisit 2,5%. Cukup rendah.
Krisis dan proses pemulihannya juga melahirkan pertanyaan soal hakikat angka pertumbuhan yang pas, yang berkelanjutan. “Karena itu saya canangkan triple track economy: pro growth, pro job, pro poor. Ditambah satu lagi pro environment,” kata SBY. Formula 3+1 ini diyakini SBY bakal memastikan ekonomi Indonesia berjalan sesuai harapan. Pertumbuhan 6-7% yang diperoleh dari kombinasi konsumsi, selisih ekspor dan impor dan investasi.
Tesis SBY ini dinamakan “eco-social market economy”. Sebuah strategi ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, melainkan juga pemerataan. Kembali ke konsep ekonomi Pancasila, ekonomi yang berkeadilan sosial. “Unsur market, atau pasar harus tetap ada agar efisiensi ekonomi terjaga,” kata SBY. Untuk mengelaborasi konsep ini SBY menugasi Komite Ekonomi Nasional untuk mengkaji ‘eco-social market economy”.
Ketika diberikan kesempatan bertanya, saya menanyakan apakah G20 masih relevan bagi Indonesia, selain menjadi forum pertemuan Kepala Negara elit tentunya. Pertanyaan saya dasari atas kuatnya perbedaan kepentingan antara dua kubu kuat di G20, yakni Eropa di satu sisi (terutama Jerman dan Inggris) dan AS di sisi lain. Juga beda kepentingan kelompok negara maju dengan negara berkembang misalnya dalam soal dana pencadangan bank.
Dari rekaman gambar di kamera saya nampak nuansa “kurang berkenan” di wajah SBY saat mendengarkan pertanyaan saya. Seorang anggota delegasi kemudian mencolek saya dan berbisik,” Forum G20 ini jelas panggung internasional SBY. Jangan tanya soal relevansinya dengan ekonomi Indonesia,” ujar sumber itu sambil tersenyum. Sebenarnya saya hanya ingin menggali dampak kongkrit keikutsertaan Indonesia di G20 bagi rakyat. Dampak langsung. Maklum, keikutsertaan kita di forum-forum internasional, apalagi G20 punya sejumlah forum ikutan, jelas menambah biaya. Perjalanan delegasi Indonesia ke forum-forum ini jelas tidak murah karena sedikitnya melibatkan 150 orang, belum termasuk tim pendahulu dari Istana Presiden maupun Sekretariat Negara.
SBY menjawab dengan mengatakan bahwa G20 adalah policy coordination forum. Jangankan dalam forum internasional. Di dalam negeri pun tidak mudah mengkoordinasikan kebijakan. Koordinasi dengan parlemen saja tidak mudah. “Yang jelas, dengan G20, arah kebijakan dunia tidak lagi ditentukan oleh G8, atau IMF,” kata SBY. G20 juga perlu untuk komitmen mencegah krisis baru. Setiap anggota tidak bisa hanya mempertahankan ego masing-masing. “Intinya forum G20 ini tetap ada gunanya buat kita,” tegas SBY.
Sebenarnya saya sudah menyiapkan pertanyaan kedua, soal dalam negeri. Kebijakan kongkrit. Tapi cuma ada jatah satu pertanyaan. Giliran selanjutnya diberikan ke Bung Rikard Bagun, pemimpin redaksi Kompas, yang menanyakan problem pembangunan infrastruktur yang tak kunjung ada solusi. Soal pembebasan tanah yang tertunda. Pertanyaan ini sebenarnya yang ingin saya kejar juga. Apa realisasi dari program unggulan SBY di periode ke-2 di bidang ekonomi?
Menurut saya semuanya masih jalan di tempat. Prof Gumilar Somantri, Rektor Universitas Indonesia yang ikut dalam delegasi mengatakan, berjaya di forum G20, mendapat gengsi bergabung di klub elit ekonomi dunia, tentu tak ada artinya jika problem ekonomi dalam negeri belum ketemu solusinya. “G20 banyak membicarakan makro ekonomi. Sektor keuangan. Problem mendesak kita adalah sektor riel. Ekonomi rakyat. Shadow Economy,” Kata Prof Gumilar.
Jawaban lebih gamblang soal kegunaan G20 saya dapatkan dari sherpa Indonesia kali ini, Mahendra Siregar yang juga menjabat wakil menteri perdagangan. Saat ini, dengan mengandalkan konsumsi (dan tanpa pemerintah melakukan apapun, sebagaimana pernah dikatakan Kepala BKPM Gita Wirjawan), Indonesia menghasilkan pertumbuhan ekonomi 4,5-5%, maka forum G20 yang memastikan tidak terjadi praktik proteksionis berlebihan dari anggotanya, dan menjamin aliran modal dan investasi ke negara berkembang, membuat Indonesia bisa tumbuh 6-7%. Kondisi ini akan membuka kesempatan kerja lebih besar dan diharapkan mengurangi kemiskinan. Clear.
Muhammad Iman Usman, mahasiswa jurusan hubungan internasional FISIP UI yang menjadi delegasi Indonesia ke My Summit, bersama 6 orang rekannya sesama mahasiswa UI mengatakan kepada saya via BBM, “Minimal dalam forum ini kita bisa menyuarakan kepentingan negara berkembang, selain untuk pertemuan bilateral di sela-sela acara.” My Summit adalah pertemuan antara orang muda dari 19 negara anggota G20. Selain mendapat kesempatan diskusi antar peserta, paparan dari sejumlah pembicara termasuk dari sektor swasta, peserta My Summit juga dapat waktu interaksi dengan para Kepala Negara, meski sangat sempit waktunya. Cukup buat foto bersama.
Ucapan Iman ada benarnya juga. Setiap kali hadir di G20 Summit, SBY memanfaatkannya dengan menggelar pertemuan bilateral. Di Toronto dia bertemu PM Cina Hu Jintao, PM Belanda Jan Peter Balkenande, juga sarapan pagi bersama Presiden Barack Obama. Sarapan ini menegaskan kembali draf kemitraan komprehensif yang akan diteken AS-Indonesia, termasuk komitmen dana US$ 165 juta selama lima tahun untuk kerjasama pendidikan.
Minggu sore, 27 Juni 2010. Sidang Pleno terakhir G20 Summit ditutup. Deklarasi Toronto diumumkan. Ada 49 poin, termasuk ucapan terima kasih pada tuan rumah. Kepentingan yang berbenturan diakomodir. Negara maju sepakat defisit anggaran belanjanya turun separo pada 2013, serta menurunkan rasio utang terhadap PDB pada 2016. Semua sepakat penuntasan dan implementasi perdagangan bebas dalam kerangka Putaran Doha. Tak ada target jadwal dalam hal ini.
Soal mekanisme penanganan kasus yang berpotensi mencemarkan lingkungan seperti Gulf Oil Spill juga masuk dalam deklarasi. Usulan Indonesia sayangnya banyak yang belum gol. Mulai dari penambahan modal Bank Dunia sampai pembiayaan untuk Climate Change. Walhasil, sebagai “good guy”, posisi Indonesia kebanyakan mendukung kesepakatan yang dianggap bermanfaat untuk koreksi ketidakseimbangan ekonomi global. Sehari jelang G20 Summit di Toronto SBY bercerita bagaimana seriusnya dia memonitor sikap masyarakat, analis, media, ekonom, soal G20.
“Saya membaca tujuh media, sekitar 35 artikel. Banyak nuansa perbedaan di situ, seolah-olah akan deadlock,” kata SBY. Tak jelas apakah proposal Indonesia disinggung dalam 35 artikel yang dibaca SBY. Media didominasi proposal AS, Eropa (Inggris dan Jerman), serta Cina. Di Media Center G20 pun, tak ada informasi soal posisi Indonesia di forum G20 yang dibagikan ke wartawan di sana. Padahal, ada 3.000 wartawan dari seluruh dunia yang setiap hari bekerja di Media Center.
Ketika berbagi hasil G20 Toronto di Ankara, Turki, malam hari usai semua perhelatan G20, SBY mengatakan, “ternyata apa yang dikuatirkan media dan semua pihak tak terjadi. G20 sepakat mengakomodasi semua kepentingan masing-masing anggota.” G20 Summit di Toronto menghasilkan tujuan kembar: melanjutkan pemulihan ekonomi dan mencegah krisis baru.
Pada akhirnya, para pemimpin dunia di G20 nampaknya menjalankan apa yang disampaikan Angel Gurria, sekjen OECD dalam debat soal pemulihan ekonomi versus pengetatan anggaran (austerity). “Its not a dilemma.Its a fool dilemma. You have to do both. If there is a fire we all know what to do. We get a hose, we get a pail of water, spit on it, throw Cocacola on it whatever to put it out. Right now the fire’s over. We saved the house, Mostly, but you’ve got to paint it, plaster it, whatever.###
Apa sih G20?
G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia.
Pertemuan perdana G-20 berlangsung di Berlin, 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah Menteri Keuangan Jerman dan Kanada. Anggota G20 Summit saat ini adalah AS, Australia, Argentina, Brasil, Meksiko, Belanda, Perancis, Italia, Jerman, Uni Eropa, Arab Saudi, Turki, Indonesia, India, Jepang, Cina, Korea Selatan, Afrika Selatan, Rusia dan Kanada. Dahsyatnya dampak krisis 2007 yang dipicu krisis finansial di AS, membuat forum tingkat menteri ditingkatkan jadi forum tingkat Kepala Negara, atau The G20 Summit.
*) Tulisan dimuat di majalah Rolling Stones, edisi Agustus 2010.
1 Comment