Melihat Pemimpin
Di era media digital mudah bagi kita melihat respon publik atas setiap peristiwa kenegaraan. Termasuk respon ada kepemimpinan negeri. Selasa malam (18/10), jutaan pasang mata tertuju pada layar kaca, menikmati pengumuman penggantian sejumlah anggota kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proses penggantian penuh drama. Di Twitter, saya menuliskan “show time” saat pengumuman dilakukan. Sambil menonton, saya memonitor reaksi publik di dunia microblogging Twitter. Puluhan komentar saya baca. Bukan saat itu saja melalui media sosial kita menggunjingkan pemimpin negeri.
Tak urung, setiap kali pula kita membandingkannya dengan pemimpin terdahulu. Melihat seberapa tebal kantung mata pemimpin kita pun jadi bahasan asyik. Membandingkan Cendana yang menjadi kediaman pribadi mantan Presiden Soeharto, dengan Cikeas, kediaman pribadi Presiden SBY membuat kita melihat sejumlah kesamaan, juga perbedaan antara kedua sosok pemimpin itu.
Media sosial menambah riuh suasana demokrasi di negeri kita. Hal yang terjadi pula di negeri lain, termasuk Cina, yang selalu menjadi contoh negara yang melakukan kontrol pada komunikasi warganya.
Keputusan politik, juga kiprah ekonomi setiap pemimpin juga menarik diamati. Dalam perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta, Minggu lalu, saat melewati jalan layang tol bandara saya mengetikkan “lewati jalan tol bandara, jalan ini dibangun saat Orde Baru. Berharap Orde Reformasi membangun lebih banyak infrastruktur.” Jelas, saya tengah membandingkan pencapaian pembangunan era Presiden Soeharto dengan pemimpin era sesudahnya: Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Diantara keempatnya, Presiden SBY punya waktu paling lama memerintah, 2 periode.
Kini ia memasuki tahun ke-7 pemerintahannya. Apa yang sudah dibangun Presiden SBY? Apa yang dilakukan pemimpin kita sebelumnya? Bagaimana kita mengenang pemimpin kita? Bagaimana SBY ingin dikenang di mata rakyatnya?
Pertanyaan di atas mengingatkan saya pada sebuah catatan mingguan yang saya buat saat bekerja di Majalah PANJI Masyarakat, beberapa tahun lalu. “Melihat Pemimpin”, judul tulisan itu, saya buat tengah tahun 1999. Saat itu kita tengah ada di pusaran euforia reformasi. Megawati Sukarnoputri menjadi sosok tokoh politik yang menjadi tumpuan demokrasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai kendaraan politiknya. Megawati juga mermbawa kenangan publik ke era Soekarno, ayahnya, presiden pertama Republik Indonesia. Catatan ini dimuat di rubrik “Relung”, saya ketik ulang untuk Anda:
“Melihat Pemimpin”
Pada 1987, majalah Time menggelari Mikhail Gorbachev sebagai Man of The Year. Publik Barat memberi julukan kepada pemimpin Uni Soviet itu “Pria yang Mengubah Uni Soviet”.
Bagaimana rakyat Soviet memandang pemimpinnya itu? Rakyat terkesan dengan wajah muda Gorbachev kala naik ke tampuk pimpinan partai. Untuk pertama kalinya, Soviet punya pemimpin yang berusia lebih muda ketimbang usia negeri itu, yakni 54 tahun. Didampingi istrinya yang cantik dan terpelajar, Raisa, Gorbachev meniupkan angina perubahan. Ia tampil populis.
Pada bulan-bulan pertama kepemimpinannya di tahun 1985, Gorbachev melancarkan gerakan sapu bersih terhadap ribuan birokrat yang dianggap memperoleh tunjangan hidup berlebihan. Mereka dipensiun, atau dalam banyak kasus, dipenjara dengan tuduhan korupsi. Orang-orang yang menikmati hidup bagaikan pangeran di masa kekuasaan Brezhnev (kemudian diganti Chernenko yang hanya berkuasa 13 bulan lantas wafat kena serangan jantung sehingga digantikan Gorbachev), mulai terancam ketika dalam sebuah pidato di depan aktivis partainya, Gorbachev memperingatkan, “Kita semua harus mengubah sikap, mulai pekerja sampai menteri. Siapapun yang tidak siap melakukan hal serupa harus menyingkir.” Dilancarkan pula operasi pembatasan penjualan alkohol. Vodka mulai sulit didapat.
Dalam berbagai forum setelah kedudukannya terasa mantap, Gorbachev asyik memasarkan program 15 tahun bagi perubahan di Uni Soviet dan seluruh dunia. Suatu program yang punya tujuan melahirkan visi komunis bagi abad ke-21. Visi ini lebih lunak dibanding visi sebelumnya, dan berisi ramalan bahwa Uni Soviet akan mencapai kejayaan dan kekayaan lebih dibanding Amerika Serikat. Sebuah janji yang tak kalah mengesankan dengan ucapan Nikita Kruschev pada 1961, ketika dengan yakin memproyeksikan bahwa produksi per kapita Uni Soviet akan melampuai AS pada tahun 1970. Program Gorbachev juga kurang mengancam dibandingkan pengertian marxis mengenai revolusi dunia.
Visi Gorbachev ambisius, tetapi tidak di luar jangkauan mimpi seorang praktisi Visi itu mencakup: agenda pengendalian dan perlucutan senjata nuklir pada akhir abad ke-20, melonggarkan restriksi berpendapat menjadi lebih bebas namun terpusat pada kebijaksaaan glassnos-nya, pelonggaran –yang tidak ada preseden sebelumnya—kehidupan seni dan jurnalistik, reformasi hak-hak sipil termasuk pembebasan sejumlah besar tahanan politik, melonggarkan larangan perjalanan ke luar negeri dan revisi hukum pidana. Di bidang ekonomi pun, visi Gorbachev tak kalah dahsyat. Reformasi ekonomi yang dikemas dalam program Perestroika memberikan penekanan besar pada insentif individu dan pasar sebagai sarana meningkatkan perekonomian yangs tagnan atau mandek. Lantas, yang paling ”aneh” dalam kacamata orang Uni Soviet, Gorbachev ingin memaksimalkan demokratisasi.
Bagaimana Gorbachev kemudian dikenang oleh rakyat Uni Soviet, yang kemudian tercabik-cabik dalam beberapa bangsa dan negeri? Ada yang menyebutnya sebagai Bapak Disintegrasi. Reformasi ekonomi menimbulkan kelangkaan barang, membumbungnya harga, maraknya pasar gelap, kemarahan orang-orang tua yang kesulitan mendapatkan roti dan vodka. Korupsi justru merajalela. Kriminalitas meningkat. Ketidakpuasan memuncak, wibawa pemerintaha merosot, kisruh politik, dan terjadilah konflik yang berujung pada perpecahan. Cita-cita untuk sebuah negara besar yang kekayaannya melampaui AS sirna. Terkubur. Rusia, namanya kini, malah tumbuh menjadi negara dengan utang besar pada konsorsium donor di Barat, pula kepada Dana Moneter Internasional.
Di sisi lain, serbuan dolarisasi tak terbendung. Anak-anak muda mendengarkan musik cadas karya seniman Barat lewat walk-man. Antrean panjang selalu ditemui di depan restoran makanan cepat saji McDonalds, di dekat Kutusovsky Prospect, daerah pemukiman para diplomat asing. Film terbaru dari Hollywood yang dikemas dalam kepingan VCD bajakan dijual di pasar-pasar kaget. Anak-anak muda itu menikmati kebebasannya. Termasuk dengan berpakaian ketat, mirip remaja seumurnya di negeri liberal.
Jadi, bagaimana Gorbachev dikenang? Bisa berbeda-beda. Anak-anak muda itu tentu berterima kasih atas angin kebebasan yang diembuskan lewat glassnost. Bagi kalangan tua yang menikmati enaknya era komunisme, Gorbachev bisa dipandang sebagai biang keladi bencana runtuhnya imperium Uni Soviet.
Kita saat ini kembali bernostalgia, mundur mengikuti alur sejarah menyangkut sosok Soekarno. Seperti halnya Uni Soviet mengenang Gorbachev, sebagai “pahlawan” ataukah “pembawa soal”, begitu juga pandangan orang bisa berbeda-beda melihat Soekarno. Menurut Ong Hokham dalam “Manusia dalam Kemelut Sejarah”, Soekarno bisa dipandang sebagai sosok pemersatu bangsa (solidarity maker). Proklamator. Penggali nilai-nilai Pancasila. Gelarnya pun bermacam-macam: Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, Panglima Tertinggi dan sebagainya. Bernard Dahm dalam sebuah teorinya mengatakan Soekarno tak lebih dari seorang tokoh dalam tradisi Ratu Adil-Ratu Adil di Indonesia, yang untuk sementara waktu dapat menghipnotis masyarakat (Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Bernard Dahm, LP3ES, 1987)
Soekarno juga pernah melancarkan kalimat galak:”Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera dilaksanakan.”. Ia juga menyerukan Marhaeisme, sebuah paham yang berpihak pada wong cilik. Di waktu lain ia memberikan angin kencang dukungan kepada Partai Komunis Indonesia yang menafikan adanya Tuhan, seraya mempertunjukkan hidup pesta pora bergelimang kemegahan. Ia membangun proyek mercu suar di tengah kemiskinan rakyatnya. Kontradiktif? Visioner?
Tapi, itulah Soekarno. Tak bisa dipungkiri, sosoknya mengukir sejarah penting di republik ini, dilihat dari berbagai kacamata. Tinggal bagaimana kita mencermati nostalgia kembalinya ajaran Presiden pertama itu. Yang baikkah kembali, atau…?
Melihat Pemimpin, dimuat di Majalah PANJI Masyarakat, No 11 Tahun III, 30 Juni 1999.
Bagaimana Anda mengenang pemimpin kita?
No Comment