“Next Journalism”, Beratnya Tugas Jurnalis Masa Depan
Bali, 15 Oktober 2011.
Udara di Ruang Karang Asem Ballroom, Hotel Hyatt cukup dingin. Sabtu siang, ketika orang-orang yang berkunjung ke Pulau Dewata leyeh-leyeh di pinggir pantai Nusa Dua, atau menikmati fruit-punch di pinggir kolam renang, sekitar 40 orang serius mengikuti diskusi dengan tema “Media and Transformative Leaderships in Responding Challenges in East Asia”. Hiks, judul yang berat ya, apalagi sesi sesudah makan siang mudah membuat peserta seminar di mana pun dan kapanpun, mengantuk. Sesi media menjadi bagian dari seminar regional memperingati Eisenhower Fellowships Day 2011. Ikatan alumni Eisenhower Fellowships chapter Indonesia menggelar seminar ini, dengan dukungan jaringan alumni #EF di Asia. Presiden EF, John Wolf pun hadir dari Philadelphia, PA, AS yang menjadi markas program pertukaran para mid-karir ‘leader” dari berbagai negara. Mengenai #EF, silahkan klik ke www.efworld.org untuk mengetahui seluk-beluk organisasi yang didirikan untuk menjaga semangat kepemimpinan mantan Presiden AS, Dwight D. Eisenhower.
Sebagai alumni #EF, Multi Nation Program 2011, saya mengikuti seminar bertajuk “New Asia Rising and the Changing of Global Dynamics: Challenges and Opportunities Rising” ini dengan semangat belajar yang tinggi. Selain media, ada 6 sesi lain yang membahas mulai dari isu energi alternatif, climate change, sampai social entrepreneurships. Mengenai seminar ini bisa diakses di www.efasiaconference.com . Untuk sesi media, pembicaranya adalah Pichai Chuensukswadi (Editor-In-Chief Post Publishing Bangkok Post), Hardev Kaur, mantan wartawati New Straits Times yang kini bekerja di biro pers kantor PM Malaysia dan Ninok Leksono (editor senior Kompas dan Rektor Universitas Media Nusantara). Bertindak sebagai moderator adalah Datuk Kamal Khalid, alumni #EF dari Malaysia yang kini menjadi COO Media Prima.
Tidak disangka, meski jam mengantuk dan peserta tidak semuanya dari media, sesi ini berjalan menarik dan hangat. Mas Ninok Leksono menyampaikan perkembangan media, dari tradisional menjadi era digital. Jelas media sosial dibahas. Bahasan soal media sosial dalam beragam formatnya ini lumayan mendominasi. Kesan saya, mungkin karena yang membahas berlatar-belakang media tradisional dan tidak terlalu terlibat dengan media baru, apalagi media sosial, pembahasan mengerucut menjadi “bahayanya media sosial” terutama dari sisi akuntabilitas. Sebuah bahasan yang memang menarik, penting dan selalu relevan mengingat kekuatan dari media sosial dalam hal interaktifitas dan kecepatan menjangkau audiens. Juga dibahas pertanyaan klasik: akankah kehadiran media baru akan mematikan media tradisional? Jelas pasar bagi media tradisional terus menurun karena media baru yang disokong teknologi komunikasi yang kian terjangkau harganya membuat pola konsumsi media pun berubah.
Sebagai praktisi di media tradisional (saya pernah bekerja di dua majalah mingguan dan dua televisi), saya mencoba menengahi dengan menyodorkan bagaimana kedua media sesungguhnya bisa saling melengkapi dan memberi manfaat lebih besar kepada publik. Banyak studi mengenai hal ini. Saya berpendapat Jurnalis Pro+Jurnalis Warga akan menghasilkan Jurnalisme yang Lebih Baik (better journalism). Ini menjadi salah satu bagian dari 11 layers of Citizen Journalist-nya Steve Outing
Diskusi di Bali itu mengingatkan saya atas pengalaman saat mengikuti program #EF selama hampir dua bulan di AS. Saya berkunjung ke sembilan kota dan bertemu dengan 80-an narasumber, sebagian besar adalah ahli media dan digital media. Sebagian dari catatan selama perjalanan itu saya sampaikan ke kawan-kawan di kantor ANTV. Diantara pelajaran yang saya dapatkan selama perjalanan yang mengesankan itu adalah bagaimana memandang media sosial (atau jejaring sosial) dalam lansekap perkembangan jurnalistik. Cuplikan dari kegiatan saat fellowships itu saya share di bawah ini:
——-
Awal Mei 2011, saya bertemu Tom Rosenstiel, di ruangannya yang kecil tapi nyaman di kantor Project for Excellence in Journalism (PEJ), sebuah lembaga riset yang meneliti mengenai media dan menjadi bagian dari Pew Research Center di Washington, D.C AS. Masih ingat buku The Elements of Journalism? Tom dan Bill Kovach menulis buku itu. Sebuah buku yang bagus menurut saya dan wajib dibaca oleh wartawan dan pemerhati media. Mengenai Tom Rosentiel, silahkan baca di: http://en.wikipedia.org/wiki/Tom_Rosenstiel
Buku terbaru Tom dan Bill Kovach adalah: BLUR, How To Know What’s True In The Age Of Information Overload. Sebuah buku yang mengulas perkembangan terbaru jurnalisme di era new media, atau biasa juga disebut era digital media. Ini adalah era dimana “tugas” jurnalis tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang menyebut diri sebagai “jurnalis professional” alias yang bekerja di media tradisional seperti koran, majalah, televisi dan radio. Siapapun bisa menjadi jurnalis. Perkembangan teknologi (internet, ponsel pintar, tablet) yang mendorong tumbuhnya media sosial (social media) memungkinkan hal itu.
Saat kampanye Presiden AS 2008, video yang diproduksi oleh staf kampanye Obama ditonton oleh lebih dari satu milyar orang! Tanpa keterlibatan media. Video itu ditayangkan di YouTube Channel yang dibuat oleh staf kampanye Obama. Media mana di dunia yang pernah ditonton oleh begitu banyak pemirsa? YouTube adalah platform. Siapa saja bisa memanfaatkannya sebagai “media”. Sepertiga dari orang Amerika mendapatkan “news” dari non-jurnalis, orang yang mereka follow di Twitter atau teman di Facebook. Media sosial (sebenarnya lebih tepat menggunakan salah satu bagiannya, yakni jejaring sosial. Tetapi selanjutnya saya pake sebut “socmed” saja untuk tulisan ini) menjadi mediator antara media dengan konsumen.
Bahkan, jejaring sosial membawa audiens baru bagi sebuah media. Kita sering melihat di Twitter maupun di Facebook teman “share” link sebuah berita yang dia anggap menarik dan perlu dibagi ke orang lain. Jika kita tertarik posting teman tersebut, kita akan klik link-nya, dan tersambung ke website media tersebut. Bisa website media tradisional, media online, atau new media. Karena direkomendasikan oleh teman/komunitas yang kita kenal, maka kita tertarik mengetahuinya. Bahkan mereka yang tidak suka mengkonsumsi berita, misalnya anak muda, akan tertarik melongok ke website berita yang direkomendasikan teman socmed-nya. Socmed menjadi tools untuk promosi, memperluas basis audiens juga bisa menjadi sumber data konsumen. Percakapan di socmed menggambarkan apa yang menjadi kebutuhan/kepedulian publik.
Pertanyaan mendasar adalah, bagaimana jurnalisme berkembang setelah era new media/digital media? Bagaimana memilih mana informasi/berita yang benar di tengah banyaknya “penyedia media/informasi” seperti Blog, Facebook, Twitter, dll? Bagaimana peran jurnalis di era digital? Kalau setiap konsumen bisa berfungsi sebagai editor bahkan melakukan reporting untuk menggali informasi yang dia sajikan di socmed-nya, lalu apa peran media? Pers? Bagaimana seharusnya news gathering dilakukan? News production? Siapa yang memproduksi berita? Bagaimana berita dikonsumsi? Bagaimana News Room merespon situasi ini? Apakah “true jurnalisme” akan musnah? Dstnya. Dalam BLUR, semua pertanyaan ini dibahas. Tetapi tentu saja pertemuan satu jam dengannya tak cukup membahas seluruh topik menarik di buku itu.
Tom Rosenstiel menyebut jurnalisme ke depan sebagai “next jurnalism’. Jadi, apa yang dibutuhkan oleh “next journalism”?
Banyak yang mengatakan, jurnalisme ke depan harus menjadi ajang dialog, bukan pembelajaran (lecture) satu arah. Ada yang skeptis dan mengatakan, jurnalisme tak diperlukan lagi karena sudah tersedia banyak informasi dari masyarakat via socmed. Mereka yang percaya ini mengatakan bahwa “kebenaran” lebih mungkin didapatkan dari ribuan informasi yang tersedia di dunia maya ketimbang bergantung pada sejumlah media tradisional. Wikipedia menjadi acuan. Google dan Yahoo menjadi mesin penuntun ke konten media. Bahkan menjadi media itu sendiri.
Menurut Tom dan Bill Kovach dalam BLUR, junalisme di masa depan adalah adalah kombinasi antara old media dengan new media. Fungsi pers sebagai “gatekeeping”, mediator antara sumber berita dengan audiensnya, tetap ada. Pers harus menjalankan tugas yang lebih kompleks dari sekedar gatekeeper. Sekedar mediator. Pers perlu mengadopsi format baru dalam story telling, penyebaran informasi, dan bagaimana melibatkan partisipasi publik dalam proses produksi beritanya — CBS News melibatkan publik, sejumlah orang non jurnalis termasuk warga negara biasa dalam rapat redaksi menyusun perencanaan berita/program, juga evaluasinya. Saat ini, konsumen memiliki peran yang makin besar dalam menentukan konsumsi sebuah berita.
Meski pers sedang berubah, hal mendasar dalam elemen jurnalisme tetap relevan dilakukan: independensi, verifikasi, kepentingan publik. Obyektivitas penting dan tidak selalu mengambil posisi netral. Obyektif di sini artinya pers harus transparan dalam metode news gathering dan verifikasi produk jurnalistiknya.
Orang sekarang tidak lagi mengandalkan koran pagi dan berita tv sore sebagai sumber berita utama. Orang mendapatkan berita, secara seketika, real-time. Ponsel pintar kita memberikan fasilitas untuk langganan ke berbagi situs berita dalam dan LN, termasuk berita/informasi dari mereka yang kita follow di Twitter dan teman di Facebook. Survei di AS menunjukkan bahkan hits ke situs berita online melonjak terutama saat setelah makan siang. Mengapa? Karena orang mendapatkan informasi dari percakapan yang mereka lakukan saat jeda makan siang. Sampai di kantor, mereka langsung cek lebih lengkap informasi yang mereka dapatkan. Per topik. Bisa ke berbagai situs penyedia berita. Apalagi perkembangan terbaru sebuah topik berita terus dilakukan oleh media online, diperkaya oleh percakapan di socmed. Nah, kalau situasinya begini, bisa dipahami penonton berita di televisi kian menciut, begitu juga pembaca koran. Ini terjadi kalau isi berita sore di tv dan koran keesokan harinya sama saja dengan rangkuman semua berita yang sudah disajikan media online dan socmed. Update atau Wrap Up, itu istilah yang bisa digunakan oleh redaksi TV.
Bagaimana dari sisi konsumen? Pola konsumsi berita kini berubah dari mengkonsumsi berita spesifik ke topik/cerita tertentu (by story), dan bukan lagi mencari berita ke organisasi media (news organization). Makin banyak orang tidak lagi mencari berita ke New York Times misalnya (termasuk www.nyt.com), tapi mengklik internet untuk mencari berita soal “Osama Bin Laden” –yang banyak sekali di internet dan bersumber dari beragam organisasi berita, tidak hanya New York Times. Klik Osama dan ribuan berita terkait dari ratusan organisasi media akan menghampiri konsumen.
“Instead of relying on what news gatekeeper provides in asingle newscast or newspaper, news consumption has become a more PROACTIVE experience,” kata Tom. Cara konsumsi yang lama disebut “lean back” (duduk) bersandar ke belakang, membaca koran/majalah atau menikmati berita yang disampaikan presenter televisi. Cara baru disebut “lean forward” (duduk) condong ke depan saat kita berada di depan komputer, menggunakan internet mencari informasi/berita berdasarkan topik tertentu yang ingin kita ketahui. Atau saat kita mencari jawaban atas sebuah pertanyaan. Googling aja..
New-lean-forward consumer memerlukan respon jurnalistik yang baru. Secara umum, jurnalisme harus bergeser dari sekedar menjadi sebuah “produk” dari sebuah organisasi media, menjadi sebuah “service”/layanan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di benak audiens. Menyediakan sarana. Pada tataran ini jurnalisme harus bergeser dari sekedar memberikan kuliah/pembelajaran –memberi tahu publik apa yang seharusnya mereka ketahui–, menjadi ajang dialog publik. Jurnalis berfungsi menginformasikan dan membantu fasilitasi dialog publik itu. Melibatkan publik dalam merencanakan, menyajikan berita.
Pendek kata, di masa depan pers akan dinilai integritasnya dari konten yang disajikan, kualitas dari engagement (pelibatan) publik, bukan dari peran ekseklusifnya sebagai pemasok distribusi tunggal konten news atau mediator/penengah antara newsmaker dengan publik.
BLUR memuat ada 8 hal esensial fungsi jurnalisme di masa depan:
- Authenticator. Membantu memverifikasi mana informasi yang benar dan bisa dipercaya. Contoh kasusnya ya ketika Wikileaks memberikan informasi ke publik, baik langsung via Internet atau ke media tertentu. Tugas jurnalis adalah melakukan verifikasi, membantu publik memastikan apakah informasi itu benar dan bisa dipercaya. Ini penting di tengah jutaan informasi yang bersliweran tiap detik di dunia maya (Saat hadir dalam sebuah sesi workshop di National Annual Broadcasting 2011, awal April, di Las Vegas, Manajer YouTube Trends mengatakan kepada saya, setiap menit ada 350 video yang di-upload ke YouTube). Setiap informasi yang ada di dunia maya kini juga dilengkapi dengan beragam pendapat, spin, debat dan sebagainya. Membantu publik mengetahui mana yang bisa dipercaya dan akurat adalah tugas jurnalis/media. Tugas dasar.
- Sense Maker. Meletakkan informasi/berita yang ada dalam konteks. Dalam kerangka pikir tertentu. Di kantor saya sering mengomentari liputan rusuh. Meliput rusuh Pedagang Kaki Lima (PKL) setiap hari betapa membosankannya. Rutin. Saking rutinnya ada moral hazard bagi jurnalis. Naskahnya bisa copy-paste tinggal ganti tanggal, tempat, kota, ada korban atau tidak? Tanpa konteks. Tanpa kerangka berpikir. Berita harus diletakkan dalam konteks, sehingga bisa “connect” dengan pemirsa/audiens. Memastikan berita itu penting dan berkaitan dengan kehidupan audiens. Jurnalis perlu berpikir terbuka (open minded). Harus melihat/memilih informasi yang BERNILAI, bukan hanya sekedar BARU, dan menyajikannya dalam bentuk dan format yang masuk akal bagi kita sendiri sebagai jurnalis terutama buat audiens. Masuk akal bukan berarti kita menginterpresikan berita. Tapi membantu audiens menghubungkan fakta-fakta untuk membantu menjawab pertanyaan yang muncul. Kalau rusuh PKL tadi jadi contoh, misalnya, menjawab: 5W+1H. Mengapa mereka demo? Mengapa rusuh? Mengapa Pemda tidak bisa menerima protes mereka? Dstnya. Artinya mencari informasi mengapa dan bagaimana sesuatu peristiwa terjadi. Mengidentifikasi dampak dari berita itu dan mencari jawaban atas semua kemungkinan pertanyaan. “Not a commentator role necessarily. It is reportorial. Finding facts and information that, as good sense making does, makes the tumblers click,” begitu ulas BLUR
- Investigator. Jurnalis tetap menjalankan tugas sebagai watchdog. Public investigators. Pers mempengaruhi agenda pembentukan keputusan publik, bukan sekedar mengikuti berita. We Break The News, Not Just Reporting It. Itu kalimat yang tertulis di dinding ruang redaksi The Chicago Tribune. Juga prinsip yang dianut sister company-nya, WGN TV. Calendar Assigment menjadi salah satu upaya “Break The News”. Antisipasi peristiwa, berita. Menggali isu yang penting bagi publik. Bukan menjadi pengikut.
- Witness Bearer. Jurnalis menjalankan fungsi pengamat (observer), monitoring, menelisik. Jurnalis/media bisa melakukannya dg membangun komunitas lokal, atau kluster2, via internet (komunitas blogger). Kini sedang marak “Hyperlocal Journalists”. Berangkat dari jurnalis dan/atau non jurnalis yang mengamati segala sesuatu di sekitarnya, di komunitasnya, melihat ada yang perlu diingatkan? Pemerintah? Aparat? NGO? Masyarakat itu sendiri? Mengamati kebutuhan dasar dari warga sekitarnya. Komunitas blogger di berbagai kota di Indonesia menurut saya mencoba melakukan fungsi ini. Lantas bagaimana dengan pers? Kehadiran pers penting mengisi “kekosongan” informasi di level masyarakat. Kalau jurnalis tidak hadir dan memberitakanya, pihak lain yang punya kepentingan tertentu akan mengisi kekosongan itu. Jurnalis perlu memperhatikan hal-hal yang “being ignored”. Dilupakan/diremehkan. Jangan hanya memberitakan yang sudah dibicarakan orang, tetapi jeli mengangkat yang tidak diperhatikan. Voiceless. Contohnya, ketika terjadi kenaikan premium/bensin, maka media rame-rame memberitakan dampaknya bagi biaya transportasi pekerja. Vox pop deh. Komentar orang-orang atas kenaikan. Ada sisi lain yang sering terlupakan. Misalnya, kenaikan harga premium/bensin membuat petugas kesehatan menjadi lebih jarang datang memeriksa kesehatan pasien-pasien kurang mampu yang ada di desa/kota terpencil. Cerita yang kedua unsur kepentingan publiknya tinggi dan lebih punya “emosi”. Differentiated. Tidak hanya sekedar nambah 1 komentar narasumber. Tapi menggali kemungkinan kisah yang lebih menarik. Orisinil.
- Empowerer. Cara untuk membantu publik lebih memahami. Menjadikan publik sebagai bagian dari proses penyajian berita dan tidak hanya sekedar sebagai audiens. Yang perlu dibangun adalah mutual empowerment. Socmed adalah alat untuk mendengarkan suara publik. Dalam proses ini publik/masyarakat memberdayakan dirinya lewat sharing experience yang dilakukan anggota masyarakat lain, juga jurnalis. Jurnalis memberdayakan dirinya dengan memahami pengalaman, memanfaatkan keahlian yang ada di masyarakat/publiknya. Di sini terjadi dialog antara masyarakat dengan jurnalis.
- Smart Aggregator. Media diharapkan menjadi pengumpul berita yang cerdas. Tidak hanya sekedar menyajikan berita yang diproduksi sendiri (web, dll), tapi juga menunjukkan kepada publik sumber terkait lainnya. Untuk web, sebuah berita bisa dilengkapi dengan link ke beberapa tulisan terkait yang dibuat baik oleh media lain ataupun socmed/blog/website. Untuk berita TV bisa dilakukan juga dengan memberikan infografik jika audiens ingin mengetahui lebih jauh mengenai topik yang diberitakan, ada sejumlah link informasi yang bisa disampaikan. Link dipilih oleh redaksi karena redaksi percaya dengan kredibilitas situs yang dimaksud. www.huffingtonpost.com, www.yahoo.com adalah contoh smart aggregator. Mereka tidak hanya memuat berita hasil sendiri.
- Forum Organizer. Di koran ada “Surat Pembaca”, ajang pembaca menyampaikan uneg-uneg, kritik, aspirasi, berkomunikasi dengan redaksi. Kita bisa melakukannya dengan menyajikan alamat email agar pemirsa bisa berkomunikasi dengan redaksi. Juga membuat forum Facebook TOPIK sebagai ajang diskusi mengenai TOPIK. Program lainnya bisa dibuatan forum grup Facebook.
- Role Model. Lepas dari kritik pedas ke jurnalis dan media, sejumlah organisasi media yang punya sejarah reputasi bagus menjadi contoh bagi masyarakatnya. Pedoman. Atau juga disebut sebagai “trusted guide”. Di tengah jutaan informasi yang tersedia di ranah digital, peran jurnalis justru kian berat karena diharapkan menjadi lembaga kepercayaan publik.
Di era media digital, paradigma berpikir di news gathering dan news production perlu berubah. Kalau selama ini reporter ke lapangan. Meliput. Kembali ke kantor buat laporan dan korlip/produser berdiskusi berita ini ke segmen mana? Urutan ke berapa? Sekarang dan ke depan polanya adalah komunikasi intensif antara yang di lapangan dengan di kantor dalam proses peliputan, mendiskusikan data tambahan apa yang perlu di-riset? Gambar tambahan dokumentasi? Grafik apa yang perlu dibuat? Perlu ada paket berita yang menyajikan siapa sih sosok yang lagi jadi pusat pemberitaan? Engagement tidak hanya terjadi antara organisasi media dengan audiensnya, juga dalam pola hubungan kerja di organisasi medianya.
Terus-terang, saya tengah belajar untuk menerapkan ini. Tidak mudah, beragam kendala menghadang. Membangun persepsi yang sama itu butuh upaya khusus, belum lagi meyakinkan organisasi besar mendukung tranformasi ini. Saya bersyukur sejumlah teman menangkap semangat yang sama. Dunia media berubah membutuhkan respon yang baru.
No Comment