"TAJUK-TAJUK BAWA KENANGAN"
Ramadan Journey 2013
Day 14
Sebagai seorang jurnalis saya belajar bahwa salah satu bagian paling sulit dalam menulis adalah saat merumuskan kalimat yang tepat untuk menjadi “lead”. Begitupula ketika dalam usia yang “agak” muda, saya harus mengisi kolom “Relung”, yang menjadi rubrik editorial Majalah Panji. Bagian lain yang sulit, dan biasanya di sinilah saya menghabiskan waktu cukup lama, adalah melakukan riset untuk tulisan. Inilah yang terjadi semalam, saat saya harus mengejar tenggat untuk menulis tanggapan saya atas peluncuran buku yang memuat Tajuk Rencana Harian Surabaya Post yang ditulis oleh Bapak Djafar Husen Assegaff dalam periode 1989-1993. Peluncuran buku diselenggaralan oleh LPDS Doktor Soetomo sore ini. Tiga jam saya terpekur di depan laptop, tidak tahu harus memulai tulisan ini dari mana.
Jadi, ijinkan saya memulai dengan mengenang kembali pertemuan dengan Pak Assegaff. Sebagian orang dekat menyebutnya hanya dengan singkatan namanya: DHA.
Almarhum Pak Assegaff, begitu saya menyebutnya, adalah orang pertama yang mengajarkan kepada saya tentang jurnalisme dan media. Beliau yang mewawancarai saya saat awal 1990-an saya melamar menjadi calon jurnalis di Mingguan Berita Ekonomi “Warta Ekonomi”. Saat saya memenuhi undangan untuk wawancara pekerjaan, saya belum lama diwisuda dari Institut Pertanian Bogor. Pak Assegaff dan Pemimpin Umum Warta Ekonomi Bp Erlangga Ibrahim saat itu mewawancarai saya. Apa yang ditanyakan, terus-terang saya sudah lupa. Singkat kata saya diterima, dan dua pekan kemudian saya dipanggil untuk langsung bekerja.
Saya bekerja di Warta Ekonomi sampai Desember 1996, sebelum mencoba pengalaman baru menerbitkan kembali Majalah Panji Masyarakat. Tugas terakhir yang saya lakukan di Warta Ekonomi adalah mewawancarai Gubernur Bank Indonesia saat itu, Prof Dr Soedradjat Djiwandono. Tugas yang tidak sulit bagi saya, karena punya hubungan yang cukup baik dengan narasumber ekonomi dan keuangan Kemampuan berjejaring adalah salah satu pelajaran penting yang saya dapatkan dari Pak Assegaff.
“Uni, memiliki daya tembus ke narasumber itu sangat bernilai bagi wartawan. You bisa dapat tip berita yang eksklusif,” kata Pak Assegaff, dalam berbagai kesempatan. Sebagai bos, beliau mendukung upaya saya berjejaring dan merawat hubungan dengan narasumber. Tapi hal ini dilakukan bukan tanpa kontrol. Tak jarang saya dapat semprotan pedas dari beliau, dan dituding “tidak seimbang” karena hanya mewawancarai satu pihak. Padahal, memang penugasan kepada saya hanya satu narasumber itu saja. Jurnalis lain mendapatkan tugas mewawancarai narasumber lainnya. Kami bekerja dalam tim.
Saya ingat jika sedang marah, suara Pak Assegaff menggelegar, menggebrak meja, terdengar sampai ke lantai bawah. Saat itu redaksi Majalah Warta Ekonomi di lantai 3 sebuah gedung di kawasan Jalan Kramat, Jakarta Timur. Kemarahan beliau selalu bikin keder. Tapi, 10-15 menit setelah itu beliau sudah lupa. Bahkan, kalau ternyata beliau marah karena salah informasi, tak segan minta maaf. Moral cerita, kalau dimarahi Pak Assegaff jangan dimasukkan ke hati. Beliau melakukannya karena care. Nothing personal.
Masa bekerja di bawah bimbingan Pak Assegaff adalah saat yang berharga. Pak Assegaff mengajarkan percaya diri, dan itu hanya bisa didapat dari banyak membaca dan menyiapkan diri dengan baik. Bagaimana bisa percaya diri dalam bertanya di sebuah konperensi pers yang dihadiri banyak orang jika tidak paham materinya? Bagaimana berargumentasi dengan menteri ekonomi saat konperensi pers soal APBN jika tidak paham bagaimana menganalisa angka-angka di tabel bujet negara? Bersaing dengan media yang lebih mapan tidak bikin keder. Tantangannya, bagaimana “mengalahkan” mereka dalam perebutan narasumber di lapangan. Beruntung saya memulai karir sebagai jurnalis di media ekonomi yang memerlukan kemampuan memahami secara teknis beragam aspek dalam peliputannya. Peliputan tema yang lain menjadi lebih enteng. Apalagi tema politik.
Tahun 2011 saya berkesempatan menjalani Eisenhower Fellowship di AS, dengan topik utama Media Digital. Salah satu narasumber utama yang saya temui adalah Dekan Medill School of Journalism di Northwestern University, Chicago. Cerita mengenai visi Dean John Lavine telah saya baca jauh sebelumnya. Sekolah ini melahirkan jurnalis-jurnalis yang laris diserap perusahaan media di AS. Ketika bertemu dengannya selama satu jam, salah satu yang dia sebutkan penting diterapkan oleh jurnalis adalah calendar assignment.. Ini semacam mekanisme antisipasi terhadap peristiwa/berita.
“Memiliki calendar assignment membuat jurnalis dan newsroom-nya tetap relevan,” kata Dean John Lavine. Teringat saya akan rapat-rapat redaksi di Warta Ekonomi. Pak Assegaff dan Pak Erlangga Ibrahim akan ngomel kalau ada usulan yang asal comot dari koran harian yang terbit hari itu. “Majalah kita terbit minggu depan. Kalau usulan Anda cuma asal comot, minggu depan sudah tidak relevan. Biasakan antisipasi berita/peristiwa. Cari tip berita yang beda dan eksklusif,” begitu kata keduanya. Ketika mendapatkan kesempatan berkunjung ke ruang redaksi Chicago Tribune, salah satu koran tertua di AS, saya membaca tulisan di dinding ruangan rapat redaksi mereka, “We are not reporting the news. We broke the news”. Semangatnya sama.
Ujung-ujungnya adalah membaca, mengikuti perkembangan berita secara seksama sehingga tidak meliput yang sudah diberitakan media lain, dan memastikan dapat mewawancarai sumber kompeten agar selalu memiliki nilai lebih. Riset…riset…riset. Saya belajar semangat, “jangan pulang ke kantor jika belum mendapatkan narasumber yang ditetapkan,” ya dari bekerja di bawah bimbingan Pak Assegaff. Suatu hal yang sulit saya terapkan saat ini, ketika saya didapuk menjadi pemimpin redaksi.
Pak Assegaff selalu membuka bagi orang muda untuk maju. Mempromosikan ke mana-mana. Itu yang saya alami, dan tidak terbatas saat saya menjadi anak buahnya. Ketika kami berpisah organisasi media, dalam berbagai kesempatan Pak Assegaff selalu menunjukkan rasa bangganya, bahwa ada anak didiknya yang berkembang. Bukan hanya saya, tapi banyak tersebar. Kami terus bertemu dalam berbagai forum jurnalistik ketika saya pindah ke Panji Masyarakat, TV7, dan sampai sekarang di ANTV.
Posisi saya dan Pak Assegaff tidak selalu sama dalam memandang peristiwa. Seperti saya katakan di awal, Pak Assegaff sebagai senior cenderung untuk mengambil posisi memahami pihak penguasa. Apalagi jika itu menyangkut Golkar semasa rejim Soeharto. Pak Assegaff pernah menjadi Pemimpin Redaksi Suara Karya, korannya Golkar. Pula Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara. Sementara saya, terutama ketika menjadi pimpinan di Majalah Panji Masyarakat, cenderung mengambil posisi kritis kepada penguasa, termasuk militer. Tajuk-tajuk yang membahas soal partai politik menunjukkan posisi Pak Assegaff yang jelas mendukung sikap Golkar sebagai partai politik penguasa saat itu. Bisa kita baca di bagian Bab 2 dari buku ini.
Beberapa kali di forum diskusi kami memiliki pendapat yang berbeda. Tapi itu tidak mengubah hormat dan respek saya ke beliau, dan tidak menghentikan dukungan beliau atas kegiatan yang saya ikuti termasuk ketika saya menjadi anggota Dewan Pers. Sampai menjelang sakitnya yang terakhir, seingat saya Pak Assegaff selalu menyempatkan hadir dalam acara di Dewan Pers. Saya selalu meminta beliau untuk berbicara. Berbagi pengalaman. Beliau tempat belajar sejarah apa saja. Apalagi soal sejarah media di Indonesia. Meminjam istilah Prof Bachtiar Aly, pakar komunikasi, “Pak Assegaff adalah perpustakaan berjalan.”
Pengalaman berguru dan menyaksikan interaksi Pak Assegaff dengan narasumber dan relasi membuat saya bisa memahami mengapa buku kumpulan tajuk rencana yang dimuat di harian Surabaya Post ini diberi judul “Zaman Keemasan Soeharto”. Sebagaimana dikatakan Pak Jakob Oetama dalam kata pengantarnya, dari sisi judul bisa diperdebatkan. Rentang waktu penulisan tajuk rencana itu memang periode di mana kekuasaan Soeharto sedang “mantap-mantapnya”. Pak Assegaff menggunakan istilah “masa gemilang” Soeharto. Secara kekuasaan sedang mencengkeram kuat. Kita ingat saat itu kinerja ekonomi Indonesia lumayan, bahkan pernah mencapai swasembada beras. Kepemimpinan Indonesia di forum regional diakui. Kita jadi tuan rumah penyelenggaraan KTT Non-Blok. Stabilitas politik dijaga. Pak Assegaff tidak merasa harus menyembunyikan “pengakuannya” akan kegemilangan ini. Meski sikap seperti ini rawan mengundang kritikan.
Jika sebuah tajuk rencana, sebagaimana definisinya, adalah sikap sebuah media atas sebuah peristiwa yang aktual dan menjadi perhatian publik, maka posisi yang diambil oleh Pak Assegaff dalam tulisan-tulisannya itu adalah posisi aman. Jaman itu nampaknya penulis opini dan tajuk rencana harus pandai melakukan, “to read between the lines”. Melakukan kritik dengan cara halus. Santun. Mendukung sikap dan ucapan siapa saja di jajaran pimpinan negeri yang membuat pernyataan yang bernuansa reformis. Maksud yang terkandung dari kalimat-kalimat dukungan itu adalah sebuah harapan. Belum dan bukan sebuah kenyataan. Sindiran lebih penting ketimbang gaya menohok dan hiperbolik. Posisi ini yang juga muncul dalam nuansa tajuk rencana yang ditulis oleh Bapak Jakob Oetama untuk Harian Kompas, sebagaimana dimuat dalam “Suara Nurani”, Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001.
Boleh jadi Pak Assegaff mengambil posisi itu karena dia adalah penulis tamu, yang diminta oleh Ibu Toety Azis, pemimpin Surabaya Post untuk menulis tajuk atau editorial dengan frekuensi dua kali sepekan. Pak Jakob Oetama dalam “Sekapur Sirih” di buku ini menuliskan, “Jurnalistik pers yang dikembangkan senantiasa mempertimbangkan segala sesuatu yang tidak bersikap ekstrem. Ekstremitas tidak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.” Pak Assegaff juga tidak ingin menyulitkan posisi Surabaya Post di mata penguasa.
Tengoklah kalimat dalam sebuah tajuk Pak Assegaff. “Kami sependapat terhadap apa yang dikonstatir oleh Presiden, karena sekarang ini tampaknya, nilai-nilai masyarakat sudah berubah. Kita menyaksikan seorang yang menduduki suatu jabatan dan menjadi kaya raya, oleh masyarakat dianggap sebagai suatu prestasi. Ia menonjol dan dianggap sebagai tokoh teladan yang sukses. Tokoh korup tadi kemudian tidak lagi merasa sungkan dan “malu” untuk pamer keberhasilannya, yang jelas didapat dari cara-cara yang tidak terpuji.”(Menanggulangi Korupsi, hal 246-247). Tajuk rencana ini dibuat menanggapi Rakor Penanggulangan Korupsi yang dipimpin Presiden Soeharto
Presiden Soeharto mengatakan bahwa pemberantasan korupsi akan terlaksana jika masyarakat dapat mengembangkan sanksi sosial dan moral kepada koruptor. Sebuah ironi besar, karena Soeharto kemudian lengser didesak gerakan rakyat yang sudah muak dengan maraknya Kolusi, Korupsi di Nepotisme (KKN) di lingkungan kekuasaannya. “Kami sependapat” adalah sebuah dorongan, sekaligus bisa dibaca sebagai kritikan terselubung, karena korupsi justru terjadi di sekitar Presiden. Bahasa seperti ini digunakan dalam sejumlah tajuk yang membahas beragam topik: Lembaga Perwakilan Kita Di Masa Orde Baru, Jelang Kampanye Pemilu, Para Tokoh Bangsa, Isu Internasional Yang Penting, Media Massa dan Sistem Pers Di Era Soeharto sampai Masalah Sosial, Keadilan Sosial, Dan Kebersamaan. Seluruhnya ada 225 judul tajuk yang terpilih untuk diterbitkan dalam buku ini.
Richard Aregood yang memenangkan hadiah jurnalistik bergengsi, Pulitzer, untuk tulisan tajuk rencananya di harian Philadelphia Daily News mengemukakan, sebuah tajuk rencana yang efektif harus memiliki dua hal: a position and a passion. Pak Assegaff adalah seorang Nasionalis. Itu tergambar dalam tajuk yang terkait dengan hubungan luar negeri. Misalnya dalam tajuk berjudul “Menyelesaikan Konflik Dengan Musyawarah”, yang membahas keterangan Kepala Staf Umum AD Australia Letjen Laurie O’Donnel, yang mengatakan Australia akan membantu PNG jika terjadi konflik dengan Indonesia (hal 91-92).
Pernyataan itu dimuat di surat kabar The Australian dengan judul, “Army Warns Jakarta: We Will back PNG”. Pak Assegaff mengutip kalimat yang berlaku dalam hubungan internasional, “orang yang cinta damai harus bersedia untuk perang.” Tajuk itu mengkritisi pernyataan Australia, dan mendukung sikap ABRI yang memilih jalan musyawarah untuk menyelesaikan masalah konflik dengan negara tetangga. Sikap ini juga tergambar dalam tajuk berjudul “Masalah Penjualan Senjata Dari AS” (hal 155). Juga saat membahas “Pemberian Fasilitas Atau Pangkalan?”, yang membahas kunjungan Presiden Bush ke Singapura yang diikuti keterangan pers soal kesediaan Pemerintah Singapura untuk perluas jumlah personel logistik armada satuan tugas ke 73 AS. Tajuk Pak Assegaff menyarankan Singapura berkonsultasi dengan negara tetangga terdekat di ASEAN. Pemahaman dan minat akan soal diplomasi dan masalah luar negeri boleh jadi mengantarkannya menjadi Duta Besar di Vietnam.
Mengenai position dan passion juga tergambar dalam tajuk-tajuk mengenai media. Pak Assegaff jelas mendukung dialog dan kemitraan sejajar antara wartawan dengan Pemerintah. “Selama keterbukaan itu merupakan kemitraan yang sejajar, etos kerja wartawan dalam Sistem Pers Pancasila tidak perlu diragukan.” (hal 179). Pembelaan
terhadap kemerdekaan pers ditunjukkan dalam tajuk berjudul, “Pers Nasional Tidak Boleh Disensor”, yang dipicu oleh sensor yang dilakukan Pemda Sumsel terhadap harian Sriwijaya Post. Tajuk Pak Assegaff mendukung sikap Mendagri Rudini yang menyatakan sikap Pemda Sumsel itu keliru. Mendagri juga memanggil Gubernur Sumsel.
Dalam sebuah pertemuan di lembaga kajian jurnalistik Poynter, di AS, pada tahun 2004, pernah dibahas secara khusus bagaimana proses pembuatan sebuah tajuk rencana atau editorial sebuah media massa. Penyelenggara melakukan wawancara dengan 25 penulis editorial pemenang penghargaan jurnalistik. Temuannya, selain a position and passion, hal yang tak kalah penting dalam penulisan tajuk rencana adalah a process. Proses di sini mencakup pengumpulan fakta-fakta di lapangan. Karena mewakili suara lembaga media, maka sebuah tajuk rencana adalah perumusan sikap atas hasil kerja jurnalistik media yang bersangkutan.
Tajuk rencana kian bernilai jika menawarkan informasi yang baru dan aktual. “A lot of editorial writers try to get by on their writing or their outrage, and not on their reporting. That just doesn’t work. You’ve got to have facts. In an article, you use them to inform. In an editorial, you use facts to persuade.”– Michael Gartner, Ames (Ia.) Daily Tribune. Selain menangkap hal ini dalam ejumlah tulisan yang berbasis pada kasus menarik di masyarakat saat itu seperti dalam “Tanggap Terhadap Rasa Keadilan’, (hal 319), sebagai jurnalis yang tak pernah mengenal secara langsung tokoh seperti wartawan jihad Mochtar Lubis, seniman Asrul Sani, Sutradara Sjuman Djaya dan Letjen Sarwo Edhi Wibowo saya belajar banyak dari tajuk yang ditulis Pak Assegaff. Sejumlah tokoh ini ditulisnya dengan penuh warna. Personal.
Tajuk-tajuk Pak Assegaff juga menyentuh beragam tema yang sampai kini masih , relevan dan, sayangnya, belum ada solusi dan perbaikan. Mulai dari disiplin kehadiran anggota DPR, suap di lembaga perwakilan rakyat itu, pentingnya pendidikan, pengangguran sarjana, kendala wajib belajar, kebiasaan merokok di kalangan murid SD, BBM naik, citra polisi sampai soal sidak. He is Mr Know All. Menggambarkan passion yang kuat atas isu penting bagi publik. Tajuk “Bocah Nelayan dan Presiden,” di halaman 313 adalah salah satunya.
Asyik sekali saya membaca, “Menteri Rudini Sidak Kades” di halaman 79. Ini baru sidak beneran dan menggambarkan ketelitian Rudini memeriksa penggunaan uang bantuan desa di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam soal sidak ini Pak Assegaff memperkaya dengan referensi. Beliau membandingkan sidak yang benar-benar mendadak itu dengan roman sindiran karya penulis besar Rusia, Nikolai Gogol, The Inspector General. Di situ dilukiskan tokoh Inspektur Jendral yang melakukan inspeksi mendadak di desa-desa Rusia pada zaman Tsar. Sang Inspektur tadi bukannya melaksanakan inspeksi, akan tetapi malah menjadi tamu agung yang dielu-elukan, dan ia menghabiskan biaya besar serta menimbulkan demam ketakutan di kalangan para pejabat desa. Sounds familiar!
“Biasakan jump at once into the matter”. Kalimat ini sering kami dengar dari Pak Assegaff saat rapat redaksi. Tidak selalu cocok untuk penulisan di majalah mingguan yang berbeda karakternya dengan straight news di koran harian. Gaya ini juga yang tergambar dalam tajuk-tajuk Pak Assegaff. Sepanjang yang saya tahu, memang demikianlah sikap Pak Assegaff sehari-hari. Tone bicara bisa berbeda-beda. Kadang nada tinggi, sedang, atau rendah. Tapi isinya sama, beliau mengatakan apa yang ingin dikatakan. Straight to the point. Bahasa yang digunakan juga sederhana. Apa adanya. Kita tidak menemukan kata dan istilah yang khas dalam tulisannya. Mungkin dengan cara seperti ini, Pak Assegaff berharap pesan yang disampaikan diterima dengan jelas. Tanpa perlu melengkapinya dengan argumentasi lebih dalam.
Kumpulan tajuk ini membawa saya menelusuri perjalanan bangsa ini di era Soeharto. Tema ekonomi dan keuangan mengingatkan saya pada hari-hari meliput di lapangan. Tema politik dan kenegaraan membuka wawasan saya. Keseluruhan 225 tajuk adalah sumber referensi bagi yang masih berkecimpung di dunia jurnalistik, dan saya yakin bermanfaat bagi siapapun yang ingin tahu apa saja yang sudah dilalui bangsa ini. Dalam dunia bisnis kita terbiasa melakukan analisa: What Have Been Done, What Went Wrong, Where Are We Now and What We Should Do.
Buku yang diterbitkan sebagai kenangan kepada pasangan wartawan Abdoel Azis dan Ny Toety Azis pendiri harian Surabaya Post ini membawa saya pada kenangan hari-hari bekerja dalam bimbingan seorang wartawan paripurna yang terus berkarya sampai akhir hayatnya, di usia 81 tahun. Saya bangga dan bersyukur pernah menjadi bagian dari tim redaksi beliau.
Terima kasih Pak Djafar H. Assegaff.
Jakarta, 23 Juli 2013
Uni Z. Lubis/Pemimpin Redaksi ANTV
*) Disampaikan dalam Acara Puncak Hut Ke-25 LPDS
Membahas Buku: ZAMAN KEEMASAN SOEHARTO
TAJUK RENCANA HARIAN SURABAYA POST PERIODE 1989-1993
YANG DITULIS OLEH BAPAK DJAFAR H. ASSEGAFF
4 Comments
Dari kenangan-kenangan tersebut, kini Uni menjadi inspirasi para jurnalis-jurnalis di wilayah timur terutama para alumni Lembaga Pers Dr. Soetomo.
Dari kenangan-kenangan tersebut, kini Uni menjadi inspirasi para jurnalis-jurnalis di wilayah timur terutama para alumni Lembaga Pers Dr. Soetomo.
haduh..makasih yaa
haduh..makasih yaa