SEHARI SEMALAM KENYANG DI MEDAN
Ujug-ujug, ayah saya ingin ke Medan, berlebaran dengan keluarga dan terutama berziarah ke makam orang tuanya.Sebagai anak paling tua, saya harus menemani beliau yang sudah tidak mungkin bepergian naik pesawat sendiri karena kesehatannya. Jadi, tepat saat seluruh bangsa Indonesia memperingati detik-detik ulang tahun kemerdekaan RI ke-68, 17 Agustus lalu, pesawat yang membawa kami ke Medan lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kami pergi bertiga, bersama adik terkecil saya. Karena pesan tiket H-1 keberangkatan, dapat harga yang lumayan mahal.
Yang penting keinginan ayah bisa kami penuhi.
Kami mendarat di bandara internasional Kuala Namu (Kuala Namu International Airport, KNIA), terlambat 45 menit dari jadwal. Biasa sih, semua pesawat yang lepas landas atau mendarat di bandara Soetta pasti telat minimal 30 menit. Naik pesawat tepat waktu, tetapi menunggu antrian lepas landas cukup lama. Problem over capacity yang akut, sampai taraf yang membahayakan.
KNIA nampak besaaaaarr dan megah. Tapi belum rapi dan siap untuk melayani dengan standar internasional. Tiba di sana, ada 4 pilihan menuju kota Medan: naik kereta api “raillink”, naik bus Damri, taksi atau jemputan mobil sewaan/pribadi. Kami mendarat pukul Pk 14.00 wib. Jadwal kereta api ke Medan yang paling dekat adalah Pk 14.55 wib. Menunggu di area kedatangan KNIA sangat tidak nyaman. Panas dan ramei orang bersliweran. Jadi, kami putuskan naik taksi. Mengikuti petunjuk arah, kami menuju “desk taksi”. Petugas berseragam sebuah perusahaan berinisial “rbm” memberikan secarik kertas dengan nomor urut, lantas mengarahkan kami ke pool taksi. Di sana sudah ada deretan taksi berbagai merek menunggu. Ada yang berlogo burung biru, logo koperasi karyawan pengelola bandara, juga taksi lain. Ini semua taksi resmi bandara? “Iya, Pak. Nanti petugas akan memanggil sesuai nomor urut,” ujar petugas di desk taksi.
Adik saya bersikeras memilih taksi logo tertentu dengan alasan, “sudah dikenal dan kuatir dibawa muter-muter.” Kalau saya sebenarnya tidak terlalu kuatir soal muter-muter, apalagi semua dianggap taksi resmi bandara dan saya berharap ayah saya yang lahir di Medan cukup hafal dengan jalanan di sana. Soal yang ini ternyata saya salah, karena ayah saya sudah banyak lupa. Maklum dia jarang ke Medan dalam tahun-tahun terahir. Ayah ke Medan dua tahun lalu untuk mampir berziarah ke makam orang tuanya di Pemakaman Jalan MH Yamin. Saat itu kami dalam perjalanan transit menuju Banda Aceh.
Setelah berdebat dengan petugas “rwb” yang bersikeras memilihkan taksi lain untuk kami, akhirnya adik saya mendapatkan taksi yang diinginkan. Taksi ini sebenarnya sudah mengantri sekitar dua jam untuk mendapatkan penumpang. “Memang belum beres pengelolaan taksi di sini, Bu. Seharusnya penumpang boleh memilih taksi yang dia kehendaki. Bukan ditentukan oleh petugas “rwb”. Kepada semua penumpang dikenai “surcharge” Rp 10.000 yang dibebankan oleh si “rwb” sebagaimana tertera dalam tiket. Duit dibayarkan ke taksi. Untuk sebuah bandara internasional hal mendesak yang perlu dibenahi pengelola KNIA adalah soal taksi.
KNIA sebenarnya belum beroperasi secara resmi, tapi sudah melayani semua penerbangan dari dan menuju Medan sejak sebulan ini. Hal menonjol yang muncul di media adalah kemacetan di jalanan menuju bandara dan sebaliknya, dikarenakan banyaknya masyarakat yang memenuhi sekitar bandara untuk melihat “bangunan baru yang megah dan pesawat udara”. KNIA terletak di Kab Deli Serdang, sekitar 16 kilometer dari Medan. Kemacetan membuat jarak 16 km harus ditempuh dalam waktu 1,5-2 jam. Siang itu untuk menempuh jarak 1 km dari bandara ke pos pembayaran dipintu keluar area KNIA diperlukan waktu 45 menit saja!
Kami tiba di hotel sekitar Pk 16.00 wib, setelah menempuh perjalanan 1,5 jam. Lumayan. Usai check-in di hotel Grand Swissbel di Jl S. Parman, saya mengajak ayah dan adik untuk mencari makan (siang) yang khas. Kami menuju RM Sipirok di Jl Sunggal. Rumah makan ini dikenal dengan sajian sop daging sapi yang gurih. Saya pernah makan di sini dua tahun lalu, dan selalu penuh. Sampai di lokasi, rumah makan ini tutup. Waduh. Padahal perut sudah keroncongan. Saya pikir masih libur Lebaran. Hari ini via Twitter-nya @RM_Sipirok daya dapat informasi bahwa hari itu RM Sipirok sudah tutup Pk 15.00 wib. Wow, laku banget yaa..
Gagal makan sop sapi, saya meminta sopir taksi mengantarkan kami ke RM Mie Aceh Titi Bobrok di Jalan Setiabudi. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Sunggal. Sampai di sana, suasana sangat ramai. Penuh. Di samping RM Mie Aceh Titi Bobrok ada RM Istana Pangeran yang menyajikan sop sumsum ala Langsa. Juga ada sajian sop daging sapi. Kami lantas memilih duduk di RM Istana Pangeran. Saya memesan Sop Sumsum Sapi, ayah saya pesan sop sapi. Rasanya? Menurut saya tidak jauh berbeda dengan sop daging sapi di RM Sipirok sih. Sambil menunggu pesanan sop, saya ke sebelah, membeli satu porsi Mie Aceh Kepiting Udang dan Martabak Telor. Sempat juga beli Timpan, kue khas Aceh dan Sate Kerang.
Ini bukan kali pertama saya ke RM Titi Bobrok. Biasanya lumayan enak. Tapi sore ini rasa mienya agak hambar. Bumbu rempah yang biasanya jadi ciri khas Mie Aceh, kurang terasa. Apa karena pesanan saat suasana liburan Lebaran begitu banyak? Entah lah. Berdua adik saya makan mie seporsi. Tidak habis. Untung sop sumsumnya lumayan segar. Cara makannya menggunakan sedotan, sruputtt…hm…enak tenan.
Kekenyangan makan sop dan mie, kami kembali ke hotel beristirahat. Sesudah shalat Isya, ayah saya mengajak makan di Cambridge Mal, samping hotel. Pilihan malam itu, Mie Ayam Jamur, Pangsit Kuah dan Pangsit Goreng. “Ini halal, kan?” tanya ayah saya, as always. “Iya lah, lihat aja yang makan di sini ada yang berjilbab,” jawab saya, yakin;-).
Teman adik saya datang bergabung. Usai makan malam, wisata kuliner kami lanjutkan ke “Durian Ucok”. Ini hukumnya “wajib” kalau ke Medan. Saya mengalami mulai makan Durian Ucok saat masih berjualan di pinggir jalan pakai tenda di kawasan Pringgan (Jl Iskandar Muda) beberapa tahun lalu. Kini Ucok, panggilan dari Zainal Chaniago sudah jadi jutawan Durian. Tempat makan cukup megah semacam resto besar, dan hampir selalu penuh di Jalan Wahid hasyim 30-32. Durian Ucok buka 24 jam, baik di Pringgan maupun di Jl Wahid Hasyim.
Malam itu teman adik mentraktir makan 4 buah durian. Ayah saya yang sebenarnya penggemar durian JesExtender hanya memakan 4 butir, soalnya kuatir gula darahnya naik. Walhasil malam itu saya menghabiskan 2,5 buah durian yang rasanya manis-pahit-legit, enaaaak tenan. Harga durian berkisar antara Rp 20-30.000/buah. Percayakan pemilihan pada karyawan di situ. Pasti dapat yang enak.
Kisah keberhasilan Bang Ucok menurut saya patut menjadi inspirasi. Sejak awal dia rajin mencari durian enak sampai ke daerah-daerah di sekitar Medan. Durian sebenarnya buah musiman. Tapi Ucok selalu berusaha menyediakan durian setiap waktu, meski harus mencari dari kampung yang jauh, bahkan sampai ke daerah tetangga Sumatera Utara. Dia membangun persepsi, “kalau mau makan durian enak, ya ke Ucok. Pasti ada. ” Kisahnya bisa dibaca di tautan ini: http://www.tabloidnova.com/Nova/News/Peristiwa/Mencicipi-Durian-Ucok-Medan.
Kenyang dengan durian Ucok, kami teruskan jalan-jalan ke Merdeka Walk. Ini kali pertama saya ke tempat nongkrong di Medan. Maklum, setiap kali ke Medan urusan pekerjaan dan waktunya sempit untuk berjalan-jalan. Malam Minggu di Merdeka Walk yang terletak di tengah kota, di Lapangan Merdeka begitu “hidup”. Puluhan kedai minuman dan restoran di tempat ini dipenuhi pengunjung. Melongok sejenak ke Lapangan Merdeka yang dilengkapi peralatan olahraga ringan di sisi jalur “jogging”, ratusan orang asyik menghirup udara malam di Medan. Anak-anak bermain di lapangan.
Kami memilih nongkrong di Kedai Killiney yang letaknya agak di ujung Merdeka Walk, ke arah kantor Pos Medan. Ayah saya menikmati udara terbuka dengan merokok;-). Saya memesan segelas es kopi –rada menyesal karena malam itu saya jadi susah tidur. Adik memesan roti bakar.
Sekitar Pk 23.00 wib kami sudahi wisata kuliner hari ini. Tekad saya, besok pagi harus olahraga jalan kaki di Lapangan Merdeka. Adik saya berkomentar, “emang bisa bangun pagi?”.
Tantangan diterima. Keesokan hari saya bangun Pk 06.00 wib. Nggak pake mandi, hanya gosok gigi dan cuci muka, saya ke Lapangan Merdeka. Naik taksi ongkosnya Rp 9.500. Sampai di sana sudah ramai orang berolahraga. Namanya juga hari Minggu. Ada yang mencobai alat olahraga di pinggir lapangan, semacam alat di gym. Banyak yang “jogging”. Ada juga yang ikut senam aerobik yang digelar di panggung utama. Saya ikut senam 30 menit, lantas jalan kaki 7 putaran. Menghilangkan rasa bersalah setelah makan kenyang semalam. Lapangan Merdeka masih penuh sampah dari acara sehari sebelumnya.
Usai olahraga saya sempatkan jalan kaki ke Stasiun Kereta Api Medan yang letaknya di depan Lapangan Merdeka. Saya harus kembali ke Jakarta sore itu, sementara adik dan ayah masih tinggal semalam lagi. Saya ingin mencobai naik “raillink”, kereta api ke bandara yang pertama di Indonesia. Stasiun khusus “raillink” dibangun lumayan nyaman. Berpendingin udara. Rapi. Petugas cukup ramah, kursi tempat duduk cukup. Yang tidak terlihat adalah troli. Jadi kalau bawa bawaan yang berat, kardus dan sebagainya, siap-siap menggotong cukup jauh sampai ke peron keberangkatan di atas.
PT KAI sedang memberikan diskon promosi untuk tiket raillink. Tarif normal Rp 80.000, tarif sampai akhir Agustus Rp 60.000. Jadwal raillink hampir tiap jam, mulai Pk 03.55 wib dari Medan ke Kuala Namu dan berakhir Pk 00.15 wib dari Kuala Namu ke Medan. Pagi itu saya memesan tiket untuk keberangkatan Pk 13.45 wib guna mengejar penerbangan ke Jakarta Pk 16.40 wib. Sediakan tenggang waktu minimal dua jam. Naik kereta api jelas lebih cepat dan nggak pake macet. Kecuali kalau kereta apinya bermasalah.
Dari stasiun saya mencoba naik becak motor kembali ke hotel. Ongkosnya Rp 15.000, saya minta agak muter lihat-lihat kota. Pk 08.00 wib dan Medan masih sepiiii. Mungkin lelah usai upacara dan perayaan 17an.
Hari kedua acara kami adalah mengantar Papa berziarah ke makam kakek-nenek juga Om dan Uak kami. Lalu menuju rumah keluarga warisan kakek-nenek kami untuk bersilaturahim dengan keluarga Papa yang masih ada di Medan.
Sebelum ke makam, kami mampir lagi ke Durian Ucok, membeli durian yang sudah dibungkus rapi dan rapat dalam wadah plastik, untuk dibawa sebagai oleh-oleh ke Jakarta. Untuk ukuran wadah terkecil, harganya Rp 200.000, isinya kira-kira 6-7 buah durian yang sudah dikeluarkan dari kulitnya. Durian ini harus masuk bagasi, dan dipastikan tidak tercium baunya sesudah dikemas dalam wadah plastik, dilapis dengan dua kali tas plastik, ditaburi potongan daun pandan untuk samarkan bau dan dibalut berlapis-lapis lakban. Rapet buangett deh. Membungkus wadah durian sama lamanya dengan mencungkili satu per satu biji durian dari kulitnya. Untung pagi itu belum ramai di Durian Ucok.
Dari Durian Ucok kami sempatkan mampir ke Jl Kruing, markasnya Bolu Meranti yang terkenal. Wowww, mudah diduga, antriannya cukup panjang di sana. Beberapa jenis bolu gulung bahkan sudah habis, padahal baru Pk 11.00 wib. Hebat deh jualannya. Padahal di kiri kanan toko, sepanjang jalan Kruing banyak toko menjajakanoleh-oleh Medan, termasuk beragam bolu dan bika ambon. Branding matter. Bolu Meranti menjadi market leader dan top of mind. Sama halnya sepuluhan tahun lalu kita menuju Jalan Mojopahit untuk mendapatkan sekotak dua kotak bika ambon “Ati”. Padahal di kiri kanan jalan banyak yang jualan bika ambon juga. Mirip-mirip area Gudeg di Wijilan, Yogya dan Bakpia Pathok.
Biasanya saya beli Bolu Meranti di bandara Polonia, bandara lama sebelum KNIA beroperasi. Banyak toko oleh-oleh di sana. Ke mana mereka sekarang? Yang jelas belum pindah ke KNIA. Beli di tokonya tentu dapat jaminan bahwa kue baru dimasak hari itu juga. Fresh from the oven. Kalau beli di toko lain, mungkin saja stok hari sebelumnya.
Beres beli oleh-oleh dan nyekar, tiba saatnya menuju acara keluarga. Papa sudah memesan hidangan khas Mandailing: Sayur Daun Ubi Tumbuk, Gulai Ikan Salai, Dendeng, Sambal Belacan dan lalap sayuran. Semua dimasak sendiri oleh Uak kami. Rasanya? Alamak, syedap abezzzz….setengah mati saya menahan diri agar tidak melahap lauk-pauk itu dengan nasi. Saya nambah dua kali “glek”.
Wisata kuliner sehari semalam kenyang di Medan buat saya berakhir siang itu.
Pk 13.00 wib bergegas ke stasiun untuk naik “raillink” ke Kuala Namu. Keberangkatan tepat waktu, waktu tempuh 37 menit. Menunggu 2,5 jam di bandara saya nggak berani makan lagi, sampai malam setibanya di Jakarta dan rumah. Anggap saja setengah hari puasa #end.
6 Comments
Every weekend i used to pay a quick visit this site, for the reason that
i wish for enjoyment, as this this site conations really fastidious funny material too.
Every weekend i used to pay a quick visit this site, for the reason that
i wish for enjoyment, as this this site conations really fastidious funny material too.
wah itu sekotak durian ucoknya bikin ngiler banget deh…. harganya mahal juga ya 200ribu. eh apa itu sudah tergolong murah ya? *belum pernah ke medan*
hahahaha, tergantung sih. Tapi harga segitu semua layak dimakan dan enak, jadi ya, okey
wah itu sekotak durian ucoknya bikin ngiler banget deh…. harganya mahal juga ya 200ribu. eh apa itu sudah tergolong murah ya? *belum pernah ke medan*
hahahaha, tergantung sih. Tapi harga segitu semua layak dimakan dan enak, jadi ya, okey