HomeUncategorizedMENYAPULAH DENGAN SAPU YANG BERSIH

MENYAPULAH DENGAN SAPU YANG BERSIH

#100HariJokowiJK #Hari5

Ada banyak alasan tak terucap soal tarik-ulur penyusunan kabinet Presiden Jokowi. Malam ini secara tak sengaja, saya bertemu salah seorang tim sukses Jokowi sejak pencalonan sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Mumet, Mbak. Perkembangan terakhir sampai sulit diikuti. Banyak kekecewaan, kata doktor politik ini.

Tapi alasan resmi ke publik terkait dengan proses alot penyusunan kabinet adalah upaya Pak Jokowi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memeriksa rekam jejak calon menteri terkait dengan potensi terkait kasus korupsi dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Alasan resmi lain adalah menunggu jawaban Dewan Perwakilan Rakyat atas perubahan nomenklatur kementerian.

Di hari ke-5 Presiden Jokowi beredar beragam versi kabinet dan cerita di balik layar. Juga on and off jadwal pengumuman kabinet. Jelang Pukul 22.00 wib, Jokowi masih menerima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketua KPK Abraham Samad datang ke Istana Negara, didampingi komisioner KPK lainnya, yakni Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja. Mereka datang menyerahkan hasil pemeriksaan empat nama calon menteri yang diberikan Presiden Jokowi. Kunjungan pimpinan KPK hanya sebentar, sekedar menyerahkan. Hanya 15 menitan.

Soal tanda merah dan kuning yang diberikan KPK atas calon menteri,  Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK kelihatannya beda pendapat, terutama untuk tanda kuning. Komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Ini berdasarkan laporan masyarakaat dan laporan kekayaan. Yang terungkap di media, Jokowi mengiyakan penilaian KPK sepenuhnya. Sedang JK melihat penilaian KPK hanya sebagai salah satu pertimbangan.

Baik Pak Jokowi maupun Pak JK mempunyai alasan yang bisa diterima. Pak Jokowi ingin membentuk kabinet yang betul-betul “tim impian” –saya terjemahkan dari istilah “the dream team”. Selain orangnya mumpuni, berpengalaman, dia juga harus bersih. Oleh karena itu, Pak Jokowi mencoret delapan orang yang oleh KPK dinilai tidak layak dan diberi tanda merah.

Adapun Pak JK punya pendapat, kalau seseorang baru terindikasi atau berpotensi jadi tersangka, sebetulnya dia masih boleh diangkat jadi menteri. Karena negeri ini menganut azas hukum praduga tak bersalah. Kalau setiap laporan masyarakat langsung diterima kebenarannya 100%, memang repot.

Isu potensi korupsi yang mungkin dilakukan seseorang, atau telah dilakukan seseorang, tampak lebih mendominasi di pemberitaan, ketimbang isu lainnya seperti tingkat keahliannya, kemampuannya bekerja dalam tim, serta apakah seseorang itu mampu berpikir di luar cara yang rutin –dalam bahasa sana disebut “out of the box”. Apalagi isu dugaan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Isu ini terpinggirkan dalam lima hari pertama kerja Presiden Jokowi.

Harian The Washington Post, edisi 16 Januari 2004, pernah menulis bahwa Wiranto dan lima jendral dari Indonesia dilarang masuk ke Amerika Serikat. Berita itu dikutip oleh Tempo Interaktif, sebagaimana dalam tautan ini: Wiranto dan Lima Perwira Militer Dilarang Masuk Amerika. Di sini juga ada tanggapan jurubicara Departemen Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa yang mengatakan pihaknya belum menerima secara resmi pemberitaan dari pihak AS. Marty mengaku mengetahui informasi itu dari media. Nama Wiranto, ketua umum Partai Hanura, partai politik pendukung Jokowi-JK, menjadi kandidat kuat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Memang, tak ada salahnya kita memperhatikan kejujuran seseorang dalam bekerja. Ini menunjukkan betapa rakyat Indonesia sudah muak terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan para aparat: dari aparat yang bertugas di jalanan hingga di ruang ber-AC. Mulai dari saat mengurus KTP, SIM, izin usaha, hingga saat menguburkan sanak famili yang wafat, semua diwarnai kutipan ekstra.

Pentingnya birokrasi – dan juga politik serta hukum — Indonesia bersih dari korupsi bukan hal yang baru. Anda tentu masih ingat, di zaman Presiden Soeharto pernah dibentuk Tim Walisongo. Ini semacam tim siluman untuk memberantas para pelaku pungutan liar dan korupsi. Di zaman Menko Ekuin Radius Prawiro, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pernah dinonaktifkan gara-gara perilakunya yang banyak menyimpang. Sebagai gantinya, pemerintah menunjuk lembaga surveyor SGS dari Swiss. Setiap barang yang akan diekspor dilakukan pemeriksaan dengan cara yang disebut preshipment inspection.

Isu korupsi – kolusi dan nepotisme, biasa disingkat KKN, menjadi tema hangat yang diangkat Guru Besar UGM, Profesor Amien Rais, pada 1997-1998. Dalam bahasa tokoh Muhammadiyah itu, KKN telah berurat berakar merusak negeri kita. Untuk itu, Pak Amien menuntut agar Presiden Soeharto turun dari jabatan presiden, yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Saat itu, sikap Amien Rais dianggap berani. Pro reformasi. Tak ayal, media menyematkan sebutan, “lokomotif reformasi” kepadanya. Perjalanan sejarah politik kemudian menunjukkan, Amien Rais adalah politisi sejati.

Sebagai sebuah isu, KKN memang pas untuk diangkat: singkat, padat, dan gampang diucapkan. Isu ini betul-betul menohok Presiden Soeharto, keluarganya, dan teman-temannya. Pak Harto akhirnya turun –dalam istilah dia adalah “berhenti”. Namun setelah itu isu korupsi tetap langgeng, mewarnai kehidupan politik Indonesia.

Pak BJ Habibie menggantikan Pak Harto sebagai presiden pada 1998. Agar pemerintahan BJ Habibie lebih sehat dibanding era sebelumnya, ahli pesawat itu diminta “menyapu dengan sapu yang bersih”. Maksudnya, ia harus menjalankan pemerintahannya dengan orang-orang yang bersih.

Pada November 1998 terbit sebuah buku berjudul “Untuk Presiden Habibie. Menyapulah dengan Sapu yang Bersih”. Penulisnya B. Wiwoho, bekas wartawan senior dari koran Suara Karya, yang juga pendiri Yayasan Bina Pembangunan. Penerbitnya PT Bina Rena Pariwara. B. Wiwoho ketika itu adalah juga Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat.

Halaman 90-91 buku itu banyak mengutip ketidakwajaran di negeri kita. Antara lain dikutip penelitian Kompas Minggu 13 September 1998 yang menyebutkan, semua pegawai negeri yang berkeluarga tidak mungkin mencukupi kebutuhan hidup minimum jika hanya mengandalkan gaji pokok. Pegawai negeri sipil golongan IVE, alias pangkat tertinggi yang bisa dicapai setelah bekerja selama 32 tahun, hanya bergaji pokok Rp 722.500. Lantas dari mana mereka mencukupi gajinya?

Dalam bahasa halus: inilah pentingnya pegawai negeri, polisi, dan tentara punya keahlian berakrobat. Dalam bahasa para aktivis: karena pintar ber-KKN.

Terus terang saja saya khawatir, isu kejujuran calon menteri kabinet Jokowi-JK membuat persoalan penting yang lain jadi tertutup. Kita tahu, kejujuran di awal menjabat bukan satu-satunya kunci sukses seseorang. Era reformasi sudah diwarnai adanya sejumlah pejabat yang jujur terpaksa masuk penjara, karena yang bersangkutan tidak paham terhadap prosedur.

Ada beberapa bekas menteri yang saya kenal baik sebagai pribadi lumayan jujur dan hidup sederhana, dalam persidangan terbukti bersalah. Ia harus masuk penjara selama beberapa tahun. Kesalahannya, ia menandatangani penunjukan langsung sebuah proyek –yang belakangan mangkrak. Si menteri itu tidak menerima duit apapun dari proyek tadi. Dari persidangan terbukti, yang menerima adalah anak buahnya. Si pelaksana proyek juga yang menerima untung.

Si menteri itu menandatangani surat penunjukan langsung karena anak buahnya berhasil meyakinkan bahwa “dalam situasi darurat, penunjukan langsung bisa dilakukan.” Dalam kasus korupsi, yang bersangkutan terjerat pasal memperkaya orang lain. Kena, deh!

Salah satu jalan paling aman adalah dengan tidak berbuat apa-apa. Tanpa berbuat, dengan hanya diam, paling banter yang diterima adalah cacian dari masyarakat, dan anak buah. Tapi ia pasti aman dari sisi hukum.

Dari sisi ini saya bisa memahami, betapa sulitnya membentuk sebuah kabinet yang betul-betul mewujudkan “the dream team”: kumpulan anggota kabinet yang jujur, bersih, gesit, dan pintar membuat terobosan.

Siang tadi, saya makan siang dengan teman. Kami banyak diskusi soal pembentukan kabinet Jokowi-JK. Proses yang terjadi adalah upaya mencari irisan dari beragam kepentingan: kapabilitas, pengalaman, rekam jejak, representasi partai politik, representasi simpul budaya, representasi gender, agama, organisasi masyarakat, dan seterusnya. Hasilnya adalah kabinet kompromi. Bukan the right person on the right place.

Nampaknya Pak Jokowi bakal mengatakan hal yang persis sama, yang pernah dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke seorang wartawan senior sesudah mengumumkan kabinet 2004-2009. “Saya tidak mungkin memuaskan semua pihak.”

Hari ke-5 juga ditandai dengan munculnya nama Prof Dien Syamsudin, ketua umum Pengurus Pusat Muhamadiyah, sebagai kandidat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. ###

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
KABINET UNTUK MENJAGA HARMONI
Next post
RACHMAT GOBEL DAN PRESIDEN JOKOWI NGOBROL FOOD SECURITY

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *