PRESIDEN JOKOWI KE TIONGKOK, MINUS DANSA-DANSI
#100HariJokowiJK #Hari18
Penghormatan seperti apa yang akan didapat Presiden Joko “Jokowi” Widodo pekan depan, saat berkunjung ke Beijing, Tiongkok?
Pertanyaan itu muncul di benak saya kala mengikuti berita kunjungan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, ke Jakarta, awal pekan ini (3/11). Presiden Jokowi menitipkan pesan agar Tiongkok ikut serta membangun infrastruktur di Indonesia. “Yang utama adalah pembangkit listrik,” kata Presiden Jokowi saat bertemu Menlu Wang Yi.
Presiden juga menawarkan proyek jalan tol, pelabuhan dan rel kereta api. Dalam pertemuan itu juga dibicarakan kemungkinan menghubungkan poros maritim yang menjadi salah satu visi dan misi utama pemerintahan Jokowi dengan poros jalur sutera abad 21 yang menjadi poros maritim Tiongkok.
Selain secara khusus menyampaikan undangan dan agenda pelaksanaan Pertemuan Puncak Pemimpin Ekonomi negara anggota APEC, di Beijing, 10-11 November ini, kunjungan Menlu Wang Yi digunakan untuk membujuk keikutsertaan Indonesia dalam pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Saat Pemerintah Tiongkok, India dan 19 negara lain menandatangani persetujuan pendirian AIIB, pada 24 Oktober tahun ini, banyak yang mempertanyakan ketidakhadiran Indonesia, Australia dan Korea Selatan. Indonesia tidak hadir, karena pemerintahan Jokowi baru dibentuk.
Pendirian AIIB, bank multilateral yang berambisi menjadi lembaga kredit investasi infrastruktur terbesar di kawasan Asia Pasifik ini dinilai bakal mengimbangi dominasi Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang jauh lebih dulu terlibat dalam pembangunan di negara di kawasan ini. Menteri Keuangan Prof. Bambang Brodjonegoro mengatakan, “insyaallah Indonesia akan bergabung dengan AIIB.” Keikutsertaan Indonesia akan diumumkan saat kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing.
Menurut saya, satu yang sudah pasti. Presiden Tiongkok, Xi Jinping tidak akan meminta Presiden Jokowi dansa cheek-to-cheek, diiringi lagu berirama Waltz, sebagaimana yang terjadi saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Beijing, Maret 2002. Kala itu, kunjungan bilateral Presiden Megawati ke Negeri Tirai Bambu disambut gegap gempita. Kunjungan bersejarah, yang pertama kali dilakukan oleh pemimpin politik Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa. Nuansa yang ada, Poros Jakarta-Peking yang pernah dibangun Presiden Soekarno, seolah kembali.
Presiden Jiang Zemin memberi kejutan, mengajak Mega dansa. Jika diterjemahkan, lagu yang mengiringi dansa malam itu adalah “Malam Ini Sungguh Berkesan”. Megawati menggunakan kebaya coklat, tampil anggun menjadi pusat perhatian 100-an hadirin yang memenuhi Balai Rakyat Agung, yang terletak berdekatan dengan Lapangan Tiananmen. Menggigil kedinginan karena sempat diminta menunggu di selasar luar lokasi acara, saya dan teman-teman media yang mengikuti kunjungan Presiden Megawati mendokumentasikan acara itu.
Sejak kunjungan bersejarah itu, hubungan Indonesia dan Tiongkok kian mesra. Mantan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Taufiq Kiemas yang juga suami Megawati, ikut menjembatani hubungan antara kedua negara, yang pastinya juga dimanfaatkan oleh dunia usaha. Pak TK dianggap pintu lobi ke Tiongkok.
Pertemuan antara delegasi Indonesia dengan pemerintah Tiongkok di era Megawati, membuahkan sejumlah kesepakatan. Diantaranya, pembukaan Konsul Jenderal RI (KJRI) di Guangzhou dan Shanghai serta Konjen RRC di Surabaya serta Medan.
Selain itu disepakati pula pembentukan Forum Energi kedua negara untuk meningkatkan kerjasama di bidang ini.
Ada juga kesepakatan kerjasama pembangunan jembatan antar pulau di Indonesia. Pemerintah Jiang Zemin memberikan hibah senilai 50 juta Yuan, atau sekitar Rp 63 Milyar untuk mendanai kegiatan teknis yang dapat memperkuat hubungan Indionesia – China saat itu, sekaligus mendekatkan diri kepada ASEAN.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Mariani Soemarno saat itu juga menyampaikan, Tiongkok janji investasi di program infrastruktur, diantaranya pembangkit listrik di Asahan dan jalur kereta api rel ganda Jakarta-Cirebon.
Tiongkok mengincar investasi di sektor tambang, energi dan infrastruktur di Indonesia. Indonesia mengincar akses bagi produk ekspor kita ke negeri berpenduduk 1,2 Milyar itu.
Hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok mengalami peningkatan selama setidaknya satu dekade terakhir. Total nilai perdagangan bilateral pada tahun lalu, mencapai US$ 52,45 milyar. Investasi langsung Tiongkok pada tahun lalu di Indonesia tercatat sebesar US$ 296,9 juta melalui 411 proyek. Pada 2015 mendatang, hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok sudah genap mencapai 65 tahun.
Keikutsertaan Indonesia di AIIB mendapatkan dukungan dari kalangan dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia menganggap keikutsertaan Indonesia dalam AIIB akan memuluskan visi Presiden Jokowi membangun infrastruktur.
Dalam pidato di rapat koordinasi dengan Gubernur, Presiden Jokowi mengatakan, “kita harus sadar, bahwa APBN kita sangat terbatas. Satu-satunya jalan untuk mempercept proses pembangunan adalah investasi, tapi kita harus milih-milih investor.” Jokowi juga membeberkan rencananya membangun 5-7 bendungan, 24 pelabuhan. Dia juga mengakui problem akut dalam pembangunan infrastruktur di luar soal pendanaan, yakni ijin dan pembebasan lahan. Selengkapnya dapat dibaca di tautan ini: PIDATO PRESIDEN JOKOWI DI RAKORNAS DENGAN GUBERNUR
Kehadiran AIIB yang direncanakan mulai beroperasi akhir 2015 memang tidak hanya dipandang dari sisi keputusan ekonomi. Aspek politik sangat kental, karena Tiongkok yang tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia secara jelas menunjukkan dirinya sebagai alternatif pemimpin ekonomi dunia yang selama ini didominasi AS dan sekutunya dari negara Barat.
Media massa di Korea Selatan, misalnya, menilai keengganan negaranya bergabung dengan AIIB pada saat penandatangan kesepakatan pendirian bank dengan modal US 100 Milyar itu, karena tekanan AS dari balik layar. Isu yang muncul ke permukaan adalah soal transparansi prosedur keuangan dan pengelolaan AIIB, apakah patuh terhadap standar lembaga keuangan multilateral yang ada.”Korea Selatan harus ikut AIIB untuk memperkuat hubungan ekonomi di kawasan Asia, ketimbang tunduk pada tekanan AS,” kata Ram Garikipati, penulis artikel bisnis di harian The Korean Herald (6/11).
“Setuju harus dilihat detil mekanisme. Keikutsertaan Indonesia di AIIB bagus karena kita perlu pendanaan jangka panjang, ada beberapa proyek yang siap. It’s always political, but that is fine and fair,” kata Anindya N. Bakrie, wakil ketua umum Kadin, yang tengah berada di Beijing untuk APEC CEO Summit.
Di antara negara di Asia, Jepang juga menjaga jarak. Bersama AS, Jepang memiliki pengaruh paling besar dan hak suara yang kuat dalam pengambilan keputusan di ADB yang nilai asetnya kini ditaksir US$ 175 miliar. Jadi tidak dalam posisi yang tergesa-gesa untuk bergabung dengan calon pesaing ADB.
Sejak berdirinya tahun 1966, ADB menjadi pelengkap dari Bank Dunia dalam mendanai pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur di kawasan ini. Tugasnya menyediakan pendaaan bagi anggota hingga bisa mengimplementasikan program pembangunan dan memberikan bantuan pengerjaan. Tahun 2013 ADB menyetujui US$ 10,19 miliar kredit pinjaman dan US$ 142 juta investasi modal, dan berhasil meraup US$ 12 miliar pendaaan jangka panjang dan menengah. Di luar AS, sekutu barat dan Jepang, negara lain nyaris tidak memiliki suara di pengambilan keputusan yang terjadi di Bank Dunia dan ADB.
ADB memperkirakan, negara berkembang di Asia memerlukan investasi senilai US$ triliun sampai 2020, agar bisa menjaga pertumbuhan pembangunan infrastruktur yang diinginkan. Hanya sebagian kecil yang bisa disediakan excisting lender, termasuk ADB. Jadi, kehadiran AIIB dianggap menjanjikan. Belakangan, ADB makin konsentrasi pada pengentasan kemiskinan dan knowledge sharing with low income. Jadi perlu ada yang mengurusi inftrastruktur. Memiliki suara lebih besar dalam lembaga keuangan muktilateral juga penting, agar bisa mempengaruhi pengambilan keputusan.
Presiden Xi Jinping menjanjikan pengelolaan cara baik. “Untuk AIIB, pengelolaan operasionalnya harus mengikuti standar dan aturan multilateral. Kami juga belajar dari Bank Dunia dan ADB dan lembaga multilateral lain dalam praktik yang baik dan pengalaman mereka.”. Pemerintahannya akan setor 50 persen dari modal US$ 100 Milyar yang akan ditempatkan di AIIB. Sisanya diharapkan dari negara lain dan sektor swasta.
Saat bertemu dengan Presiden Jokowi pekan depan, saya yakin Presiden Xi Jinping akan menyampaikan hal yang sama agar Indonesia bergabung dengan AIIB. Saya juga yakin Presiden Xi Jinping akan menyambut hangat Presiden Jokowi dan delegasi Indonesia, meskipun tanpa dansa-dansi. Mungkin Presiden Xi Jinping bisa meminta Presiden Jokowi menyanyikan lagu Bengawan Solo sebagaimana yang dilakukan saat kunjungan Megawati.###
No Comment