INDONESIA BAWA KEMARITIMAN DI COP 20
SIARAN PERS DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
Lima, Peru, 9 Desember 2014
Indonesia Bawa Perspektif Kemaritiman dalam Perundingan Konferensi Iklim Lima
Lima. 8 Desember 2014. Indonesia berfokus memperjuangkan lima sektor penting terkait
penanggulangan perubahan iklim yakni, adaptasi, mitigasi, transfer teknologi, pengembangan
kapasitas, dan pendanaan dengan memasukkan perspektif kemaritiman di Konferensi Iklim
COP20 yang berlangsung pada 1-12 Desember 2014 di Lima, Peru.
Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim sekaligus Ketua Delegasi
Republik Indonesia, menyatakan kelima sektor ini merupakan fokus pembahasan yang akan
dimasukkan dalam Kesepakatan Iklim pada 2015 di Paris. Di samping kelima sektor ini, Indonesia
juga membawa perspektif kemaritiman dalam perundingan COP20.
“Di era pemerintahan yang baru, sektor kemaritiman perlu mendapat perhatian khusus karena
sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Masyarakat yang hidup di daerah pesisir menjadi
sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim,”ujar Rachmat dalam High Level Session:
Towards a Low Carbon Society di Indonesia Pavilion pagi ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan sangat bergantung pada maritim yang sangat dipengaruhi
oleh iklim. Karenanya, diperlukan aksi adaptasi dan mitigasi dalam perkembangan sektor
kemaritiman.
Sementara itu, Organisasi Meteorologi Dunia (The World Meteorological Organization /WMO)
menyatakan tahun 2014 adalah tahun terpanas diukur dari suhu permukaan laut. Tahun 2014
juga ditandai dengan banyaknya hujan deras dan banjir di banyak negara. Tingginya suhu
permukaan air laut ditenggarai akan mengakibatkan hujan deras, banjir dan kekeringan ekstrim
di berbagai tempat yang rentan.
Agus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan DNPI
sekaligus juru runding Delri, menyatakan dalam perundingan ilmiah dan teknologi /Subsidiary
Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA), COP20 dibahas upaya para pihak untuk
secara aktif terlibat dalam penelaahan terhadap laporan status dan untuk mendukung
pengembangan rencana pelaksanaan baru, termasuk pada aspek yang berhubungan dengan
pengamatan kondisi laut, termasuk pengasaman.
“Indonesia di era maritim perlu membuat peta jalan (roadmap) dan rencana aksi terkait
pengamatan laut dan pengasaman,” kata Agus.
Perkembangan negosiasi di COP20 tidak terlepas dari isu pendanaan perubahan iklim dari
negara maju ke negara berkembang yang merupakan sarana penting untuk implementasi
kegiatan adaptasi dan mitigasi di negara berkembang. Fokus negosiasi antara lain pada tiga dana
multilateral perubahan iklim, yaitu Green Climate Fund (GCF), Adaptation Fund dan Global
Environment Facility. Suzanty Sitorus, Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI/ juru runding Delri menyatakan terkait GCF
yang baru operasional tahun ini, isu yang diangkat adalah kesiapan negara berkembang untuk
mengakses pendanaan.
Negara berkembang perlu melakukan penguatan di level nasional
terutama untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga nasional agar berhasil dalam proses
akreditasi. Hanya lembaga yang terakreditasi yang dapat mengajukan proposal kepada GCF.
“Proses akreditasi baru diluncurkan akhir November lalu dan GCF menargetkan pada bulan
Maret 2015 sudah ada lembaga-lembaga yang terakreditasi sehingga sekitar Juni/Juli 2015
Board GCF akan dapat menyetujui proposal proyek/program. Indonesia menargetkan pada
bulan Maret 2015 setidaknya ada tiga lembaga nasional yang terakreditasi,”ujar Suzanty.
Bulan November lalu GCF berhasil menggalang komitmen pendanaan hampir USD 10 milyar
yang menjadikannya dana multilateral untuk perubahan iklim terbesar saat ini. Di sisi lain,
Adaptation Fund menghadapi krisis karena sumber dana dari pasar karbon menurun drastis
sementara kontribusi sukarela dari negara maju diberikan kepada Adaptation Fund berdasarkan
target tahunan. Kondisi tersebut memberikan ketidakpastian bagi negara berkembang karena
dana yang tersedia tidak dapat diprediksi dan nilainya tidak memadai dibandingkan kebutuhan
dan jumlah proposal yang sudah disetujui.
Selanjutnya, salah satu produk dari proses negosiasi pendanaan yang menjadi sorotan pada
COP20 adalah laporan yang bertajuk Biennial Assessment and Overview of Climate Finance (BA).
Laporan BA tersebut dikeluarkan oleh Standing Committee on Finance (SCF), badan di bawah
COP, yang memberikan rekomendasi kepada COP mengenai isu-isu pendanaan termasuk
koherensi dan koordinasi pendanaan perubahan iklim. Laporan tersebut memberikan gambaran
mengenai jumlah aliran pendanaan perubahan iklim baik dari negara maju ke negara
berkembang, maupun di antara sesama negara maju, dan di dalam negeri negara maju dan
negara berkembang.
Indonesia berharap proses peninjauan menyeluruh (overview) mengenai
pendanaan tersebut, termasuk mengkaji kelayakan metodologi pelaporannya, akan
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas baik di sisi pemberi maupun di sisi penerima.
Anggota SCF terdiri dari 20 orang, 10 orang dari negara maju dan 10 orang dari negara
berkembang, salah satunya Indonesia yang diwakili oleh Suzanty Sitorus dari DNPI.
“Sampai dengan tanggal 6 November 2014, keputusan terkait implementasi pendanaan yang
telah disepakati di COP20 adalah review kedua efektivitas Adaptation Fund, dana untuk negara
miskin (Least Developed Countries Fund), dan tata cara pelaporan pendanaan yang diberikan
oleh negara maju ke negara berkembang,” tambah Suzanty.
Di akhir perundingan yang selesai minggu depan, Indonesia berharap hasil COP20 akan
memperlancar jalan kesepakatan penyelesaian masalah perubahan iklim baik di tingkat nasional
maupun global yang akan disepakati tahun 2015 di Paris.
Untuk informasi lebih lanjut:
Contact:
Moekti Handajani Soejachmoen, Sekretaris Pokja Negosiasi Internasional, DNPI
Email: kuki.soejachmoen@gmail.comAgus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan, DNPI
Email: asupangat@gmail.com
Suzanty Sitorus, Sekretaris Pokja Pendanaan, DNPI
Email: suzanty@gmail.com
No Comment