MOSSAD (4): FROM NORTH KOREA WITH LOVE
Kisah dalam buku Mossad, The Greatest Mission Of The Israeli Secret Service ini menggambarkan kerjasama Suriah, Korut dan Iran dalam pengembangan nuklir Suriah. Kerjasama yang jadi target operasi Mossad.
Pada sebuah malam, Juni 2007. Udara nyaman di London. Seorang tamu meninggalkan kamarnya di Kensington Hotel. Dia turun dari lift ke lobi, dan keluar dari hotel. Sebuah mobil sudah menunggunya. Orang ini adalah pejabat senior pemerintah Suriah yang baru tiba siang harinya di London. Dia menuju sebuah rapat rahasia. Begitu dia bergegas keluar pintu berputar di lobi hotel, dua orang yang sejak lama duduk mengamati di sofa di pojok lobi hotel, bangkit dari duduknya. Mereka pergi ke kamar yang ditempati pejabat Suriah tadi. Mereka masuk lift dan kamar dengan akses khusus, kartu elektronik ala intelejen.
Begitu masuk kamar, penggeledahan dimulai. Kayaknya gampang, karena laptop di Suriah tergeletak di meja. Kedua penyusup membuka laptop, aksesnya, lantas menginstal program Trojan Horse. Versi yang canggih. Program itu memungkinkan mereka memonitor dan meng-copy dari jarak jauh semua file yang disimpan di memori laptop itu. Selesai, keduanya meninggalkan hotel tanpa dideteksi.
Dari sebuah tempat di Tel Aviv, Israel, analis Mossad mempelajari isi file. Mereka kaget. Lantas mendesak rapat segera dengan bos departemen itu. Mereka memaparkan informasi yang sangat berharga: koleksi file, foto-foto, gambar dan peta, serta dokumen yang untuk pertama kalinya membuktikan program yang sangat dirahasiakan pemerintah Suriah: pembangkit nuklir. Materi data yang berhasil ditarik analis Mossad begitu lengkap dan penting karena termasuk kontruksi pembangkit nuklir, pula rencana membangun senjata berbasis nuklir. Lokasinya di gurun pasir, ditempat yang terpencil, tersembunyi. Ada korespondensi antara pejabat Suriah dengan pejabat Korea Utara, juga foto proses pembangunan pembangkit nuklir. Ancaman yang sudah berjalan.
Sebuah foto lain menunjukkan dua orang, yang salah satunya diidentifikasi sebagai pejabat tinggi di proyek atom Korea Utara. Orang satunya adalah Ibrahim Othman, kepala Komisi Energi Atom Suriah. Penemuan ini mengkonfirmasikan sejumlah laporan dari berbagai sumber yang dikumpulkan komunitas intelejen Mossad antara 2006-2007 bahwa Suriah secara rahasia membangun instalasi reaktor nuklir di gurun Dir Al-Zur, di bagian timur Suriah, dekat perbatasan dengan Turki dan hanya beberapa ratus mil dari wilayah Irak.
Bagi Israel, yang paling mengejutkan dari temuan di laptop itu adalah informasi bahwa Suriah membangun reaktor nuklir dibantu dan disupervisi Korea Utara, dan didanai Iran. Hubungan Suriah dengan Korut dimulai saat kunjungan Pemimpin Korut, Kim Il-Sung, ke Damaskus, tahun 1990. Kim dan Presiden Hafezz Al-Assad meneken kerjasama dalam teknologi dan militer.
Pembangunan nuklir belum jadi prioritas bagi Assad saat itu. Dia ingin lebih dulu membangun senjata biologi dan kimia. Februari 1991, dalam Operation Dessert Storm, untuk pertama kalinya Pyongyang mengapalkan pesanan Rudal Scud ke Damaskus. Informasi ini sampai ke meja Moshe Arens, Menteri Pertahanan Israel. Sejumlah jendral Israel merekomendasikan operasi mencegat dan memusnahkan rudal-rudal itu sebelum sampai di Suriah. Arens menolak ide itu. Dia menghindari memicu konflik di kawasan itu. Posisi tanah Israel berbatasan dengan wilayah Suriah.
Saat upacara pemakaman Presiden Hafez Al-Assad, Juni 200, putranya yang menggantikan sebagai presiden, Bashar Al-Assad bertemu dengan delegasi Korut. Mereka mendiskusikan pembangunan reaktor nuklir yang akan disupervisi Badan Riset Sains Suriah. Proyek ini dirahasiakan. Pada 2002, sebuah pertemuan rahasia dilakukan di Damaskus, dengan partisipasi dari pejabat senior dari Suriah, Iran dan Korut. Mereka sepakat membantun instalasi nuklir di Suriah. Iran mendanai proyek senilai sekitar US$ 2 Milyar termasuk membuat senjata nuklir dari bahan plutonium.
Selama lima tahun sejak kesepakatan ini, tak ada satupun informasi yang masuk ke intelijen Israel maupun AS, CIA. Mereka nggak sadar Suriah sedang membangun senjata yang mengancam itu. Mossad dan pemerintah Israel beranggapan Suriah tak punya kapasitas membangun reaktor nuklir. Padahal, ada pertanda lain. Pada 2005, sebuah kapal kargo, Andorra, membawa semen dari Korut ke Suriah, karam di dekat perairan Israel, di daerah Nahariya.
Tahun berikutnya, kapal kargo Korut berlayar di bawah bendera Panama, ditahan di Siprus. Otoritas pelabuhan menemukan tumpukan semen dan radar portabel di kapal ini. Tak ada yang menduga bahwa “semen” di kedua kapal itu sebenarnya bahan untuk membangun rektor nuklir. Akhirnya, di penghujung tahun 2006, ahli dari fasilitas nuklir Iran berkunjung ke Damaskus untuk menginspeksi fasilitas yang tengah dibangun.
Komunitas intelejen Israel dan AS tahu soal kunjungan ini, tapi gagal paham bahwa ini terkait dengan proyek Dir Al-Zur. Bagaimana Suriah bisa merahasiakan proyek ini dari endusan dua lembaga intelejen paling top di dunia? Mereka berlakukan total black-out information flow. Nggak boleh ada komunikasi apapun dari mereka yang bekerja di proyek ini. Staf yang bekerja tidak boleh bawa ponsel, maupun peralatan elektronik pribadi. Komputer yang digunakan untuk bekerja sudah diproteksi super ketat. Informasi keluar masuk dari proyek disampaikan via kurir khusus. Pastinya tidak lewat pos, karena lokasi proyek sangat terpencil, bahkan tidak bisa dideteksi satelit AS.
Padahal satelit AS dan Israel sering lewat di atas lokasi. Hebat kan ngumpet-nya.
Pembelotan jendral Iran
Barat baru menyadari ini, ketika pada 7 Februari 2007, ada kejadian. Seorang penumpang keluar dari sebuah pesawat di bandara Damaskus. Dia adalah Ali Reza Asgari, seorang jendral Iran, mantan deputi menteri pertahanan, yang pernah menjadi salah satu pemimpin dalam Revolutionary Guards, lembaga militer elit yang memimpin revolusi di Iran untuk menjatuhkan Shah Iran.
Ali Reza menunggu di bandara Damaskus beberapa waktu sampai dia mendapatkan informasi bahwa keluarganya sudah meninggalkan Iran. Ali Reza lantas naik penerbangan ke Turki. Sesudah mendarat di Istambul, dia menghilang. Sebulan kemudian tersebar kabar bahwa Ali Reza membelot ke barat, dalam sebuah operasi intelejen yang didalangi CIA dan Mossad.
Dia diinterogasi dan dikorek informasinya di bunker CIA di Jerman. Dari mulutnya lah masuk informasi mengenai pembangunan instalasi nuklir Suriah yang dibantu Korut dan didanai Iran. Menurut Ali Reza, Iran tidak hanya mendanai proyek itu, tapi juga menekan Suriah agar segera menuntaskan proyek. Selain menyuplai info proyek, Ali Reza juga memberikan daftar pejabat dan staf yang terlibat dalam proyek Dir Al-Zur.
Informasi ini mengejutkan Israel. Pembangunan senjata nuklir di Suriah adalah big NO bagi negeri kecil yang selalu merasa terancam oleh tetangganya, terutama Suriah dan Iran. Dua kali saya ke Israel, setiap kali pejabat Israel memaparkan mengenai negaranya, hal pertama yang mereka sampaikan adalah “Musuh”. Dan itu adalah IRAN.
Perdana Menteri Ehud Olmert dan bos Mossad saat itu, Meir Dagan, mengadakan rapat khusus dengan semua pemimpin militer dan intelijen Israel. Operasi khusus mencegah transformasi Suriah menjadi negara yang memiliki kekuatan nuklir disepakati. Pembelotan Ali Reza terjadi sekitar lima bulan sebelum agen Mossad menyadap informasi dari laptop di kamar di Kensington Hotel. Bukti-bukti makin jelas. Operasi intelejen pertama yang dilakukan, merekrut informan dari staf peneliti yang bekerja di Dir Al-Zur.
Mossad mendapatkan foto-foto kegiatan dan orang-orang di sana. Bagaimana operasi rekrutmen dilakukan, dirahasiakan. Mossad merasa sukses di sini. Semua informasi yang didapat Mossad dikirim Langley, kantor pusat CIA. Juni 2007, PM Olmert terbang ke Washington DC membawa bukti resmi dan meminta AS mendukung serangan untuk hancurkan Dir Al-Zur. Gedung putih memilih tidak menyetujui serangan ke reaktor nuklir itu. Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice dan Menteri Pertahanan AS Robert Gates menyarankan agar Israel mengkonfrontir Suriah soal pembangunan reaktor nuklir itu.
Presiden George Bush Jr dan penasihat keamanan presiden AS, Steve Hadley, secara prinsip mendukung keberatan Israel, tapi meminta operasi penghancuran Dir Al-Zur ditunda sampai ada bukti lebih jelas.
Juli 2007, Israel menerbangkan satelit mata-mata yang paling canggih, Ofek-7 untuk merekam semua aktivitas di Dir Al-Zur. Foto-foto cukup jelas untuk menyimpulkan, model reaktor nuklir yang tengah dibangun mirip dengan reaktor nuklir Korut, di Yongbyon. Video yang dibagi ke pihak AS bahkan merekam jelas wajah insinyur Korut bekerja di Dir Al-Zur. Unit 8200, elit militer di Israel mentranskrip ribuan percakapan telepon dan email antara pihak Suriah dan Korut meyangkut proyek Dir Al-Zur.
Sebulan kemudian, Agustus 2007, Israel mengirim misi rahasia yang bisa membahayakan nyawa prajuritnya. Unit elit tentara Israel, Sayeret Matkal, terbang di tengah malam ke wilayah Suriah dengan dua helikopter. Mereka menggunakan seragam militer Suriah untuk penyamaran. Mereka berhasil melewati wilayah pemukiman, radar dan mendarat di area dekat dengan Dir Al-Zur tanpa dideteksi. Mereka mengambil contoh tanah di dekat proyek. Hasilnya, sampel mengandung kadar radioaktif yang sangat tinggi.
Bukti yang tidak bisa dibantah lagi bahwa Dir Al-Zur adalah sebuah proyek reaktor nuklir.
Dalam buku memoarnya, Presiden Bush menceritakan operasi “The Orchard”. Operasi untuk memusnahkan Dir Al-Zur karena ancamannya sangat jelas. Bukti jelas. Bush mengatakan, sempat ada rencana menyerang Suriah untuk menghancurkan Dir Al-Zur. Niat ini akhirnya dia batalkan. “Bombing a sovereign country with no warning or annoubced justrification would create severe blowback,” demikian Bush. Nggak bisa sembarangan ngebom negara berdaulat, karena konsekuensi baliknya sangat serius. Bush juga menolak operasi penggerebekan via darat oleh militer AS.
Israel kesal. PM Olmert menelpon Presiden Bush. Saat menerima telpon itu Bush di Oval Office, ruang kerjanya, dikelilingi penasihat terdekatnya: Menlu Condoleeza Rice, Wapres Dic Cheney, NSC Steve Hadley dan deputinya Elliott Abrams dan staf kunci. Menlu Rice meyakinkan Bush agar menolak permintaan Israel.
“George, saya minta Anda mengebom compound itu,” kata Olmert via telepon.
“Saya tidak bisa menjustifikasi penyerangan atas sebuah negara berdaulat,” jawab Bush, “kecuali intelejen negara saya mengatakan bahwa yang dibangun adalah program senjata,” lanjut Bush.
Presiden AS menyarankan Olmert melakukan diplomasi ke Suriah. “Strategi Anda sangat mengecewakan kami,” kata Olmert terus-terang. “Saya akan lakukan apa yang saya anggap perlu untuk melindungi Israel,” kata Olmert. Mengenang kembali percakapan telepon itu, Bush mengatakan, “Olmert punya keberanian. Itu sebabnya saya menyukai dia.”
Penghancuran Dir Al-Zur Nuclear
Olmert rapat dengan Menteri Pertahanan Ehud Barak dan Menteri Luar Negeri Tzippi Livni. Bertiga mereka melakukan persiapan akhir dengan staf intelejen dan para pimpinan komando militernya. Strategi penyerangan disusun. Mereka informasikan rencana ke pemimpin oposisi Benyamin Netanyahu, yang mendukung serangan ke Dir Al-Zur.
Waktunya ditentukan, serangan pada 5 September 2007.
Koran Sunday Times melaporkan, sehari sebelumnya, sebuah grup pasukan elit Israel, Shaldag (Kingfisher), menyusup area terdekat dengan Dir Al-Zur. Pasukan ini sembunyi. Tugas utama menembakkan sinar laser iluminasi ke reaktor itu, agar pesawat jet tempur Israel dapat membidiknya dengan tepat. Pukul 23.00 waktu Israel, 5 September 2007, 10 pesawat jet F-15 lepas landas dari pangkalan militer Ramat David menuju ke Barat melewati kawasan mediterania.
Tiga puluh menit kemudian tiga pesawat diminta kembali ke pangkalan. Tujuh lainnya diinstruksikan menuju perbatasan Turki dan Suriah dan mengarah ke selatan menuju Dir Al-Zur. Dalam perjalanan mereka mengebom stasiun radar Suriah untuk menghancurkan kemampuan pertahanan udara negeri itu mendeteksi serangan udara dari pesawat asing.
Beberapa menit kemudian pesawat jet Israel mencapai udara Dir Al-Zur, mengukur jarak secara presisi dan meluncurkan rudal Maverick dan setengah ton bom. Dir Al-Zur hancur, proyek pembangkit nuklir Suriah yang dipercayai Israel bertujuan untuk produksi senjata nuklir, hancur. PM Olmert terus berkomunikasi dengan PM Tayyip Erdogan, meminta pemimpin Turki berkomunikasi dengan Presiden Assad, bahwa Israel tidak bermaksud memicu perang. Helooooo…
Olmert menekankan bahwa Israel tidak bisa menerima pembangunan reaktor nuklir di negeri tetangganya itu, yang dimaksudkan untuk menyerang Israel. Olmert kuatir juga dengan serangan balasan. Bagaimana reaksi Suriah? Sehari setelah serangan, pihak Damaskus memilih bungkam.
Pukul 3 sore, sebuah pernyataan dirilis oleh kantor berita Suriah yang bersumber dari pejabat kementrian pertahanan, yang menginformasikan bahwa pesawat Israel telah memasuki wilayah Suriah pada jam 1 tengah malam. “Angkatan Udara kami memaksa mereka untuk mundur setelah mereka menjatuhkan amunisi di kawasan gurun pasir. Tidak ada kerusakan pada fasilitas atau korban jiwa,” demikian rilis itu.
April 2008, tujuh bulan setelah penghancuran proyek Dir Al-Zur, pemerintah AS akhirnya mengumumkan bahwa Suriah membangun fasilitas nuklir atas bantuan Korut, dan fasilitas itu dibangun, “bukan untuk tujuan perdamaian.” Presiden Bush mengatakan, keputusan Olmert menghancurkan reaktor nuklir Suriah membangkitkan kepercayaan AS terhadap Israel. Kepercayaan pernah menipis gara-gara perang Israel melawan Lebanon pada 2006.
Pemerintah Olmert hanya bisa merahasiakan serangan itu dua pekan. Pemimpin oposisi Benyamin Netanyahu membocorkannya ke media saat diwawancarai televisi. “kala kabinet mengambil tindakan demi keselamatan Israel, saya memberikan dukungan penuh. Begitu pula dalam serangan ini. Saya adalah mitra sejak awal dan mendukung penuh,” kata Netanyahu. Kini PM Israel.
Episode Final Proyek Nuklir Suriah
Pada 2 Agustus 2008, sebuah pesta koktail di sebuah vila dengan pemandangan indah lautan mediterania di Rimal El Zhabiya, utara pelabuhan Suriah, Tartus. Para tamu adalah kenalan dekat tuan rumah, Jendral Muhammad Suleiman. Mereka diundang menikmati akhir pekan santai.
Jendral Suleiman adalah orang terdekat dan terpercaya Presiden Assad. Dia mengawasi proyek Dir Al-Zur. Keberadaannya di elit militer dan politik Suriah bagaikan bayang-bayang. Tak banyak yang pernah bertemu dengannya. Apalagi menyebut namanya. Kantor Suleiman berhubungan dengan kantor presiden. Media tak pernah menyebut namanya. Tapi Mossad mengetahui sosok ini dan selalu mengikuti gerak-geriknya.
Suleiman berusia 47 tahun saat itu. Ia belajar teknik di Universitas Damaskus, di mana ia bertemu dengan putra kesayangan Presiden Hafez Al –Assad, Bassel Al-Assad. Mereka bersahabat. Bassel diproyeksi menggantikan ayahnya memimpin Suriah. Ketika Bassel tewas dalam sebuah kecelakaan mobil tahun 1994, Presiden Assad memperkenalkan Suleiman ke putra bungsunya, Bashar. Assad meninggal dunia karena kanker pada 2000 dan Bashar menggantikannya.
Bashar mengangkat Suleiman menjadi penasihat kepercayaannya. Suleiman menjadi orang sangat berkuasa. Dia mendapat kewenangan penuh mengawasi semua kegiatan militer dan intelejen Suriah. Dia menjadi penghubung senior antara pemerintah Suriah dan Iran, termasuk soal kerjasama rahasia terkait dengan organisasi teroris di Timur Tengah. Suleiman juga kontak utama dengan Hizbullah dan menjalin hubungan erat dengan pemimpin militernya, Imam Mughniyeh.
Setelah Israel menarik diri dari zona keamanan di Lebanon Selatan, Mei 200, Suleiman bertanggungjawab untuk mengirimkan senjata dari Iran dan Suriah ke Hizbullah, terutama senjata roket jarak jauh. Saat Perang Lebanon kedua, 2006, roket jarak jauh ini berhasil menghajar sebuah lokasi di jaringan keretaapi Israel dan membunuh delapan pekerja di situ. Suleiman kemudian juga menyuplai Hizbullah dengan rudal udara buatan Suriah untuk mengganggu aktivitas militer Israel di udara Lebanon.
Suleiman juga punya posisi rahasia yang penting. Dia adalah anggota senior Komite Riset Suriah yang mengembangkan persenjataan rudal jarak jauh, roket, senjata bologi dan kimia serta nuklir. Dia mengawasi kerjasama militer dengan Korut, mengkoordinasikan pengiriman bahan pembangkit nuklir dari Korut ke Suriah dan memerintahkan proteksi maksimum bagi keamanan komunikasi lewat isolasi teknisi Suriah dan Korut yang ikut membangun proyek nuklir Dir Al-Zur.
Serangan Israel yang berhasil menghancurkan Dir Al-Zur adalah pukulan telak bagi Jendral Suleiman. Dia merencanakan membangun reaktor lain. Lokasinya belum ditentukan. Suleiman juga merasakan hidupnya makin terancam. Kini dia tahu, dia diinginkan baik oleh agen rahasia AS maupun Israel. Untuk menghindari tekanan stress, sebelum memulai proyek reaktor nuklir yang baru, dia memutuskan leyeh-leyeh di vilanya di Rimal El-Zahabiya. Akhir pekan yang santai dengan teman dekat.
Malam itu, dari mejanya di beranda vila, sambil santai dengan tamu, Suleiman menikmati datangnya gulungan ombak besar di laut mediterania. Dia luput mengetahui, bahwa didalam gulungan ombak itu ada gerakan sekelompok orang, mengikuti gelombang mendekati pantai. Mereka berenang ke pantai setelah sebuah kapal mengantarkan mereka sampai ke sebuah titik sekitar satu mil dari vila Suleiman.
Pasukan ini berisi anggota komando militer Israel dan ahli penembak jitu. Mereka membawa peralatan menyelam untuk mencapai posisi terdekat ke vila Suleiman tanpa dideteksi. Tiba di dekat vila, dalam gelap, mereka mempelajari situasi rumah dan beranda tempat pesta koktail berlangsung. Mereka melihat sejumlah orang duduk di meja. Target mereka fokus: sang jendral, yang duduk diantara tamunya.
Pukul 21.00 waktu setempat, penembak jitu mengarahkan pandangan ke beranda. Cukup banyak orang lalu-lalang. Namanya juga pesta koktail. Dua tamu tak diundang menggunakan baju selam warna gelap menaiki beranda dari kolong pantai. Senjata mereka berperedam suara. Saat mendengar komando, mereka menembakkan senjata langsung ke kepala Suleiman. Presisi. Kepala Suleiman terjatuh ke meja kayu di depannya. Mati seketika. Para tamu yang lagi asyik, pada awalnya tidak menyadari apa yang terjadi.
Baru tahu ketika melihat aliran darah dari kepala sang jendral. Kepanikan yang muncul kemudian, teriakan-teriakan, tembakan dari pengawal ke berbagai penjuru, memberikan kesempatan kepada dua penyusup untuk menghilang dari lokasi.
Ada versi lain dari Sunday Times. Koran itu menuliskan bahwa penembak jitu yang menewaskan Suleiman adalah anggota dari komando Angkatan Laut Israel, Flotilla 13, yang tiba di pantai Suriah menumpang sebuah kapal pesiar milik pebisnis Israel. Kapal pesiar ini segera berlayar meninggalkan Suriah sesudah tim menjalankan misinya.
Kabar tewasnya Jendral Suleiman membuat petinggi Damaskus kaget. Shock. Mereka bungkam. Tidak mau bicara ke media juga. Bingung mereka. Bagaimana mungkin pasukan rahasia itu berhasil mencapai Tartus yang hanya 140 mil dari Damaskus? Bagaimana mereka selamat melarikan diri keluar Suriah? Apakah tidak ada lagi tempat aman bagi pemimpin Suriah?
Beberapa hari kemudian informasi yang muncul ke media adalah,” aparat akan menyelidiki peristiwa kriminal yang menewaskan Jendral Suleiman.” Media di negara Arab menerbitkan berbagai versi dari beragam sumber intelijen mengenai peristiwa di vila Jendral Suleiman. Motif…motif…motif menjadi fokus liputan media yang ingin mengungkap identitas pembunuh Suleiman. Mereka mengarah ke Israel, dengan alasan peran penting Suleiman di proyek nuklir Dir Al-Zur.
Reaksi komunitas intelijen di Barat berbeda. Diam-diam mereka senang atas terbunuhnya Suleiman. Juni 2010, pasukan Flotilla 13 mendapat penghargaan khusus dari kementerian pertahanan Israel. Tidak dijelaskan mengapa pasukan ini mendapat penghargaan. Bisik-bisik yang beredar adalah, penghargaan diberikan atas sukses misi rahasia membunuh Jendral Suleiman.##
No Comment