MELIPUT BENCANA, MELIPUT TRAGEDI
Hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501 memicu debat atas kualitas peliputan media yang dianggap gagal menunjukkan empati kepada keluarga penumpang. Breaking news bencana dan tragedi selalu memicu debat soal profesionalisme wartawan.
Tulisan ini adalah sebuah refleksi. Self reminder untuk saya, yang masih ingin disebut berprofesi sebagai wartawan. Profesi itu mengandung konsekuensi tanggung jawab besar. Ada syarat dan kondisi. Jika tidak, mungkin saya lebih pantas disebut sebagai orang yang mencari nafkah dengan bekerja seperti wartawan: meliput ke lapangan atau via telepon, wawancara, melengkapi dengan riset, lalu mempublikasikannya di media. Apapun mediumnya. Dalam setiap profesi, ada etika yang perlu dipahami dan dijalankan.
Peristiwa hilang kontak pesawat Air Asia QZ8501 mengingatkan saya akan kehidupan di ruang redaksi saat terjadi sebuah peristiwa besar yang skalanya masuk ke kategori breaking news. Saat menjadi pemimpin redaksi di ANTV, sampai 1 Oktober 2014, ketika banyak koordinasi kegiatan dan diskusi saya lakukan via milis redaksi, maka berikut ini yang biasanya saya lakukan setelah pertama kali mendapatkan informasi peristiwa. Sumber informasi bisa beragam, bisa dari media, status media sosial, atau dari tim redaksi baik dari Jakarta maupun daerah.
*Melalui milis, kirim penugasan awal ke koordinator peliputan dan koordinator daerah (jika ada narasumber yang harus di daerah, atau lokasi peristiwa di daerah. Biasanya saya akan menyertakan beberapa poin yang harus digali pertama kali di lapangan. Kalau ada peristiwa tragedi kecelakaan, misalnya pesawat Sukhoi yang sempat menabrak bukit di kawasan Bogor, maka penugasan awal dari saya mencakup ke mana saja tim peliputan harus diberangkatkan: ke lokasi kejadian, ke rumah sakit terdekat yang bakal menampung para korban, ke posko krisis yang didirikan pihak berwenang. Di atas kertas, setiap korda, korlip dan produser in-charge sudah paham apa yang harus dilakukan. Kami sudah punya Standar Operasi Prosedur (SOP) Breaking News dan beragam SOP lain. Tapi, saya membiasakan diri menyampaikan friendly reminder. Mengingatkan. Kalau dalam 3-5 menit tidak ada tanggapan dari milis, artinya tidak ada yang sempat membaca, saya akan telpon ke kantor, mengirim pesan pendek atau komunikasi dengan wakil pemimpin redaksi, produser eksekutif peliputan dan produser eksekutif program terdekat. Isinya sama.
*Saya juga meminta assesment lapangan, bahkan kalau perlu menelpon langsung wartawan termasuk kontributor ANTV yang terdekat atau sudah tiba di lokasi, soal skala bencana/tragedi. Perlu mengirimkan tim untuk siaran langsung? Mengerahkan mobil satellite news gathering? Kalau respon dari wapemred dan jajaran senior di redaksi cepat, usulan mengirim SNG dan tim siaran langsung juga datang dari mereka. Saya akan menyetujui, dan meminta sekretariat redaksi menyiapkan dana dan keperluan operasional tim di lapangan.
Breaking-news memerlukan stamina ekstra dari semua yang meliput, baik yang di lapangan, maupun yang di kantor. Saya biasanya meminta sekretariat redaksi memastikan tim yang bertugas mendapatkan suplai makanan untuk 12 jam pertama. Makan malam, makan siang. Untuk yang di lapangan mendapatkan suplai makanan sesuai jadwal makan, selama mereka bertugas di lapangan. Peliputan panjang seperti letusan merapi, gempa bumi, memerlukan tidak hanya makanan, juga vitamin. Pada saat peliputan tsunami di Aceh, sekretariat redaksi bahkan membeli puluhan pakaian dalam dan perlengkapan mandi termasuk cairan anti bakteri dan obat-obatan untuk menjaga kesehatan tim di lapangan. Yang perempuan dibekali celana dalam, be-ha alias penutup dada dan pembalut!!
Saya juga biasanya bertanya, siapa yang memegang komando di lapangan? Siapa yang akan melakukan laporan langsung? Kalau perlu saya telpon langsung. Jika lokasi di Jakarta, saya sempatkan ke lokasi, misalnya mendampingi tim yang liputan langsung banjir. Mengetahui siapa yang bertugas memberikan saya gambaran, apa yang perlu diingatkan kepada yang bersangkutan. Atau, jika saya tidak yakin dan memungkinkan meminta penggantian tim. Ini hanya jika sangat terpaksa. Salah satu yang kami lakukan di ANTV sejak 2006 adalah standarisasi kemampuan. Semua tim produksi harus bisa dan pernah menjadi produser lapangan. Semua reporter bisa menjadi juru kamera, dan begitu juga sebaliknya. “Bisa enggak yang bersangkutan berenang?”, ini pertanyaan saya untuk tim yang meliput peristiwa di laut. Kami belajar dari tragedi kapal Livina yang menewaskan kolega wartawan.
*Masih di jam pertama, maka setelah mengirim edaran penugasan, email saya berikutnya adalah friendly reminder soal penerapan etika jurnalistik dalam peliputan. Setiap wartawan di ANTV saya asumsikan paham kode etik jurnalistik. Mengapa? Karena setiap wartawan baru selalu menjalani dua pekan pelatihan di kelas dengan beragam materi termasuk UU Pers, KEJ, UU Penyiaran dan P3SPS KPI. Untuk wartawan yang lebih senior, setidaknya setiap semester saya mengirimkan materi penyegaran dengan tema terkait KEJ. Sekretariat redaksi menyimpan semua dokumentasi tulisan saya terkait KEJ dan apa yang perlu diperhatikan dalam peliputan. Saya akan meminta materi terkait dengan topik yang sedang hangat untuk dikirim kembali melalui milis baik ke milis tim produser maupun tim peliputan. Bahkan sampai ke tim peliputan di daerah.
Kalau yang diliput soal bencana, maka saya akan mengingatkan perlunya berhati-hati soal gambar, jaga privasi dan jangan memaksa narasumber berbicara terutama saat yangv bersangkutan masih terpukul, fokus pada informasi dari sumber resmi dan atau yang berkompeten, dan seterusnya. Kalau kasus yang ramai soal kejahatan asusila, maka saya akan mengingatkan aturan terkait. Ini di luar pelatihan rutin baik undangan lembaga lain maupun di internal redaksi. Sebagai ketua komisi pelatihan dan pendidikan wartawan di Dewan Pers 2010-2013, saya mewajibkan tim redaksi ANTV di Jakarta maupun daerah untuk ikut dalam semua sesi pelatihan yang diselenggarakan Dewan Pers.
Setiap saat, saya bisa mengundang tim peliputan dan redaksi untuk diskusi penerapan KEJ dan P3SPS berdasarkan hasil peliputan yang kami lakukan. Koreksi internal. Diskusi dengan tim bisa saya lakukan kapan saja. Paling sering, kelas di pagi hari, pukul 7-8.30 wib sambil sarapan bubur ayam dengan reporter dan juru kamera. Di News ANTV ada departemen pengembangan dan penelitian yang dikoordinasikan Ivan Haris, wartawan senior. Tugasnya menyusun dan menyelenggarakan pelatihan. Program news dan current affairs hanya mencakup 13-15 persen dari total durasi tayang korporasi.
Dengan pola seperti ini saja, beberapa kali kami masih melakukan kesalahan dalam penayangan berita terkait bencana, konflik dan kejahatan asusila. Mendapat kritik publik via media sosial. Mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia. Bisa dibayangkan kalau semua proses di atas tidak pernah kami lakukan? Bisa dapat teguran dan kritik setiap hari. Kebutuhan memahami dan menjalankan KEJ dan P3SPS KPI menurut saya kian besar saat wartawan bekerja di media yang sepenuhnya menayangkan berita. Melakukan siaran langsung nyaris 24 jam saat ada peristiwa besar.
*Jika peristiwanya terjadi di akhir pekan atau musim liburan, di mana jumlah tim redaksi yang masuk lebih sedikit, maka saya akan meminta teman-teman yang sedang di rumah, libur atau cuti tapi tidak di luar kota, untuk masuk kantor. Setidaknya ikut gotong-royong mengawal layar, di 6-12 jam pertama. Saat breaking-news sedang hangat. Biasanya, sebagian (kecil) akan datang ke kantor. Saya mengapresiasi wartawan yang peduli seperti ini. Sebagian lain tidak. Mungkin tidak mengecek email dan mematikan telpon selulernya. Who knows? Jika situasi ini terjadi, maka ada risiko harus mengirimkan reporter yang belum matang, untuk melakukan live report di lapangan. Juga master control room dan penggarapan liputan dilakukan tim terbatas, dengan risiko akurasi dan verifikasi gambar dan naskah lemah. Pemimpin redaksi turun langsung meliput? Mengapa tidak? Segera setelah mengirimkan penugasan via email, saya menyiapkan diri untuk ke kantor. Saat akhir pekan? Kalau perlu mengajak anak saya. Selain kami bisa sama-sama melewatkan waktu di kantor, kalau perlu mengajak dia ke lapangan dan melihat langsung dampak bencana atau tragedi.
Meliput bencana atau tragedi butuh empati
Melatih empati dan simpati. Dua hal yang tidak bisa dipelajari dari teori di kelas. Harus turun ke lapangan.
Kalau anak SD saja perlu belajar empati dan simpati, maka mereka yang memilih bekerja sebagai wartawan punya kewajiban lebih besar. Bukankah, salah satu tujuan terpenting memilih profesi ini adalah memelihara humanity? Nilai-nilai kemanusiaan? Karena itu saya termasuk yang berpendapat, setiap wartawan harus mau dan pernah meliput peristiwa konflik atau bencana alam. Ini jenis peliputan yang mengasah semua kepekaan rasa dan nurani. Palang Merah Internasional pernah mewawancarai saya soal ini, tautan videonya di sini.
Saya tidak mengecilkan mereka yang meliput di kantor ataupun gedung seperti wartawan ekonomi dan bisnis. Enam tahun pertama karir wartawan saya lakoni di mingguan ekonomi dan bisnis. Joke-nya, menjadi wartawan “salon”. Saya terima anggapan itu. Keuntungan menjadi wartawan ekonomi dan bisnis juga besar. Terlatih untuk meliput hal yang rumit dan teknis. Misalnya, bagaimana menganalisa anggaran pendapatan dan belanja negara? Menghitung kecukupan modal bank? Menganalisa naik turunnya aset korporasi?
Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan Nias, Desember 2004, posisi saya adalah wakil pemimpin redaksi TV7 (kemudian menjadi Trans7, setelah sahamnya dibeli pengusaha Chairul Tanjung). Seingat saya redaksi TV7 ada 200 an orang. Selama tiga bulan pertama pasca gempa dan tsunami, secara bergiliran saya mengirimkan tim ke lokasi. Gantian. Bahkan yang bertugas di bagian olahraga, yang kebetulan ada di bawah koordinasi redaksi, juga kebagian meliput ke lapangan. Tsunami di Aceh itu adalah peristiwa bencana yang terbesar dalam 50 tahun terakhir. Saya ingin semua tim redaksi TV7 di semua lini mengalami meliput peristiwa tragedi ini, sebagai bagian dari pengalaman karir dan hidup. Alasan lain adalah untuk menjaga agar tim yang bertugas tetap dalam keadaan cukup segar, karena meliput dalam kondisi medan yang penuh keterbatasan dan sarat pengalaman traumatik. Kami mengatur penggantian tim setiap 10-12 hari.
Saya mengingat kembali apa yang saya lakukan saat masih bekerja di ruang redaksi televisi, karena kemarin, saat terjadi breaking news hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501, publik mengkritik kencang cara-cara peliputan televisi dan media siber. Yang paling mudah kelihatan adalah peliputan televisi. Bagaimana reporter lapangan mewawancarai narasumber. Jangankan sesaat setelah terjadi tragedi. Bahkan setelah berlalu 10 tahun, saya merasakan sulitnya mewawancarai korban tsunami. Pertanyaan harus diajukan hati-hati, tidak langsung pada hal yang membangkitkan trauma itu, perlu keikhlasan dan membangun kepercayaan atas narasumber untuk berbagi cerita.
Alih-alih bertanya, “bagaimana perasaan Bapak (atau Ibu) atas kejadian (bencana/tragedi ini),” wartawan bisa memulainya dengan bertanya tentang kegiatan sehari-hari saat ini. Biarkan cerita mengalir, sampai kemudian tiba di satu titik narasumber bersedia menceritakan peristiwa traumatis itu. Saya melakukannya, termasuk saat mewawancarai Polwan Elfiana, untuk 10 Tahun Tsunami. Elfiana kehilangan keluarganya saat tragedi tsunami di Aceh. Wawancara dapat dibaca di sini: Polwan Elfiana: Melindungi anak, mengobati kehilangan pasca tsunami Aceh.
Untuk laporan langsung, sebagaimana kejadian kemarin, saat wartawan menyerbu pusat krisis di bandara Djuanda, wartawan televisi tidak perlu memaksa keluarga penumpang untuk berbicara. Jam-jam pertama, fokus mencari data dari petugas yang berkompeten, termasuk dari maskapai. Meskipun sebagian masyarakat ada yang percaya, tetapi bagi saya dukun atau paranormal bukan tergolong narasumber yang kredibel.
Media sebaiknya menguatkan asumsi dan informasi awal bahwa QZ8501 hilang kontak dengan menara pengawas. Pertanyaan soal “firasat” dan “perasaan” nuansanya memastikan bahwa pesawat itu jatuh dan seluruh penumpang dan kru tidak selamat. Betapa pertanyaan seperti ini menambah duka dari keluarga penumpang? Kita bisa mengganti pertanyaan soal firasat dan perasaan itu dengan bertanya soal: “kapan dan dari mana mendapat informasi soal masalah ini?” atau “kapan terakhir bertemu dengan penumpang (atau korban)? Apa isi percakapan? Dalam rangka apa penumpang ke Singapura?”.
Hindari menyebarluaskan informasi yang sifatnya masih spekulasi. Termasuk menghindari sumber anonim. Upayakan selalu mengutip sumber yang jelas kredensial dan keterlibatannya dalam penanganan bencana atau tragedi.
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat konperensi pers di kantor pusat Badan SAR Nasional kemarin sore harus mengoreksi istilah “korban” yang dia gunakan untuk menggambarkan penumpang dan kru QZ 8501. Menggunakan istilah “korban” nuansanya memastikan nasib akhir para penumpang. Nuansa yang tentu tidak membesarkan hati keluarga.
Gambar mewakili seribu kata. Picture speaks thousand words. Bahkan tanpa harus memaksa wawancara pada jam-jam pertama. Juru kamera mengambil gambar dari jarak medium, manfaatkan fasilitas zoom in-zoom out di kamera. Ambil dari jarak yang tidak mengganggu privasi dan kedukaan keluarga. Merekam gerak-gerik keluarga, yang saling berpelukan. Gambar detil ketika seorang anak menggenggam tangan ibunya bisa diambil dari jarak aman tanpa mengganggu suasana batin mereka. Kerumunan keluarga meneliti daftar penumpang yang dipasang di papan pengumuman. Kelelahan yang nampak setelah menunggu berjam-jam tanpa kepastian. Ada puluhan scene gambar yang bisa dimanfaatkan dari satu jam pertama meliput dengan empati dan menjaga tidak mengganggu privasi keluarga penumpang (dan atau korban tragedi).
Wawancara keluarga penumpang (dan atau korban) tidak dilarang, selama yang bersangkutan mau secara sukarela. Mereka berhak mengatakan, “tidak mau”. Bahkan kematian seorang figur publik, selebriti, berhak mendapatkan perlindungan privasi dari media. Di negara maju, keluarga yang bersangkutan akan meminta media memahami jika mereka tidak bisa mengijinkan rangkaian acara terkait dengan kematian keluarganya diliput media. Media harus menghormati.
Stasiun CNN menuai kritik saat mewawancarai penyintas, anak yang selamat dari tragedi penembakan di sebuah sekolah di Sandy Hook, tahun 2012. Ini kisahnya, Why Are CNN and NBC Interviewing the Students of Sandy Hook Elementary?
Media massa arus utama di Amerika Serikat juga menuai kritik atas cara peliputan mereka atas tragedi itu. Bisa dibaca di sini: Coverage Rapid, And Often Wrong, In Tragedy’s Early Hours.
Media di Australia yang memilih untuk menghormati imbauan polisi untuk tidak menyiarkan pembicaraan telepon dengan sandera dan menyembunyikan identitas sandera dalam tragedi penyanderaan Sydney Siege bulan ini, juga menuai kritik publik dan pengamat media. Ini tautannya: How the Australian media reported the Sydney siege – and spared us the worst.
Stasiun TV Publik di Jepang, NHK, yang mencantumkan misi mendukung masyarakat sadar dan siap menghadapi bencana dalam visi misinya, dipuji sebagai lembaga penyiaran yang siap secara peralatan maupun sumberdaya manusia. Tapi, bencana dengan skala masif seperti Great East Asia Tsunami, Maret 2011, membuat NHK kelabakan. Tak ayal muncul kritik dari publik. Saya berkunjung ke NHK, tahun lalu, bersama tim wartawan berbagai negara yang mengikuti East West Center Journalism Fellowships on Disaster Management and Resiliency. Acara ini diadakan oleh East West Center yang bernaung di bawah Universitas Hawaii. Selain ke Jepang di Tokyo dan Sendai, kami juga berkunjung ke New York, AS dan Chengdu, Tiongkok. Tiga lokasi terdampak bencana.
Jajaran pimpinan redaksi NHK menceritakan bahwa pasca bencana itu mereka melakukan penyesuaian terhadap SOP pemberitaan bencana. Termasuk penggunaan kata-kata oleh presenter berita, agar lebih tegas memaksa penduduk mengungsi. “Kami menyesali, bahwa cara peliputan yang kami lakukan, tidak cukup untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa,” kata Tadaishi Ideishi. Bagaimana tanggapan terhadap cara peliputan NHK, antaralain bisa dibaca di sini: In Japan, disaster coverage is measured, not breathless.
Sejak Tsunami 2011, NHK intensifkan pelatihan internal. Setiap Jumat malam, pelatihan peliputan bencana digelar. Tujuannya adalah kesiapan, setiap saat diperlukan. Bangsa Jepang sejak lama menyadari dirinya rawan dikepung bencana. NHK sebagai lembaga penyiaran publik menyerap aspirasi publik dan ikut menyiapkan diri, sehingga bisa menjadi referensi yang bisa dipercayai publik.
Dalam sebuah seminar yang diadakan kementerian luar negeri Jepang mengenai peran media dalam peliputan bencana, Tadaishi Ideishi mengatakan:
“NHK released an earthquake bulletin 30 seconds after the earthquake occurred, started broadcasting on-site live footage 6 minutes later, and started broadcasting live footage of the upcoming tsunami 24 minutes later from a helicopter which took off from Sendai Airport. As for the Fukushima Daiichi Nuclear Plant accident, we reported the situation using super high resolution cameras from 30 km away.
NHK, which is Japan’s only public broadcaster, has 460 robot cameras and 14 helicopters stationed around the country and its disaster reporting system is one of the best in the world in terms of equipment, staff, budget, etc. However, there is a limit to what our reporting can do and there were many points on which to reflect. Most importantly, there were many lives we could not save, and we could not provide viewers with accurate information on the nuclear power plant accident as we were not able to grasp the situation easily.
This disaster was the first mega-disaster to occur in this advanced information society, and various issues were highlighted, such as the collaboration and division of roles between existing media and social media, and how information should be disseminated by the government and companies. Such lessons should be shared across national borders.
Pada jam-jam pertama, fokuskan wawancara pada otoritas instansi terkait. Ini pegangan NHK, dan pegangan kita sebagai media.
Gunakan sumber dan gambar yang sudah diverifikasi. Di era digital, siapa saja bisa memasok gambar ke dunia maya. Termasuk gambar dan komentar di status media sosial korban tragedi dan atau penumpang pesawat yang hilang. Verifikasi.
Tidak semua orang nyaman jika wajahnya dipublikasikan media massa dalam keadaan, misalnya, sedang menangis. Media tidak pernah meminta ijin kepada yang bersangkutan kan, manakala memasang foto itu, di halaman depan? Atau menayangkannya? Jadi, di mana penerapan KEJ soal privasi? Ini tautan ke Kode Etik Jurnalistik yang disahkan Dewan Pers: Kode Etik Jurnalistik.
Di era media sosial, media siber begitu saja mengambil status keluarga penumpang tanpa ijin yang bersangkutan. Misalnya yang memuat status Path putri pilot QZ8501. Sudah minta ijin? Saya ingat ketika harus meminta ijin untuk menggunakan foto-foto dari Facebook Shandra Waworuntu, saat viva.co.id menuliskan soal perdagangan manusia yang pernah dia alami. Bahkan setelah meminta ijin pun, dia memilih untuk mengirimkan beberapa foto diri untuk bahan pemuatan di artikel. Dia tidak nyaman media mengambil begitu saja foto-foto dari laman media sosialnya.
Pelatihan meliput bencana dan tragedi
Panduan meliput bencana mudah diakses di internet. Ada yang bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Wartawan, muda maupun tua, cuma perlu semangat dan kesadaran untuk belajar agar mau mengakses panduan ini. Ruang redaksi bisa menggelar on the job training, diskusi internal dengan modal segelas air putih, atau teh, atau kopi dan sepiring jajan gorengan. Siapa bilang pelatihan harus mahal? Poin penting sudah saya sebutkan di atas. Memasuki hari kedua, saat tensi peliputan breaking news normal, maka menyajikan peliputan dengan standar jurnalistik menjadi hal yang tak bisa dielakkan. Tidak ada alasan tergesa-gesa. Bagian riset seharusnya sudah menyediakan beragam sudut pandang pengembangan peliputan, termasuk data historis terkait peristiwa.
Dari perspektif kode etik jurnalistik, sebutkan tiga hal yang menurut Anda perlu diperhatikan dalam peliputan bencana. Menurut pengamatan Anda sebagai wartawan, apa yang paling sering dilanggar oleh media dan wartawan peliput, saat melaporkan kejadian bencana atau tragedi?
Saya mengajukan dua pertanyaan di atas kepada peserta pelatihan jurnalistik Sekolah Jurnalis Indonesia (SJI), di Semarang, tiga hari lalu (26/12), bertepatan dengan peringatan 10 Tahun Bencana Tsunami dan Gempa di Aceh dan Nias. SJI diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di belasan ibukota propinsi, sejak empat tahun lalu. Saya pengajar tetap untuk sesi Jurnalistik Penyiaran. Sejak awal, karena peserta dari lembaga penyiaran biasanya lebih sedikit dibanding peserta dari media cetak, saya menyesuaikan materi saya sehingga fit untuk semua jenis media. Medium atau platform berbeda, prinsip utama jurnalistik tidak berubah.
Ribuan wartawan sudah mengikuti kelas SJI. Setiap sesi diawali dengan pre-test, memberikan pertanyaan kepada peserta. Di akhir sesi diberikan post-test. Durasi SJI biasanya 10-12 hari, diakhiri dengan proses Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Sejak tahun 2012, Dewan Pers mewajibkan semua wartawan untuk menjalani UKW. Ada masa transisi. Sejumlah organisasi profesi wartawan sudah mendapat akreditasi untuk menjalankan UKW bagi anggotanya, termasuk PWI, Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Perusahaan media yang sudah mendapatkan akreditasi ini diantaranya LKBN Antara, Radio Republik Indonesia dan ANTV.
Tiga jenis peliputan yang selalu saya jadikan fokus diskusi dalam sesi yang saya bawakan, adalah bagaimana meliput kejahatan asusila, meliput konflik dan meliput bencana. Dua hal terakhir dalam satu rangkaian. Meliput kejahatan asusila dan meliput konflik selalu menjadi bahan pre-test dan post-test saya. Tapi, tiga hari lalu, saya memilih untuk mengulik pemahaman peserta atas peliputan bencana. SJI di Semarang kali ini untuk tingkat Wartawan Madya, artinya sudah bekerja sebagai wartawan minimal lima tahun. Beberapa tergolong senior dari sisi usia.
Ini beberapa jawaban peserta untuk soal pre-test:
“Tidak menyiarkan kondisi korban secara vulgar. Melindungi kehormatan keluarga korban. Menjaga dan menghormati perasaan keluarga korban. Tidak menayangkan derita korban yang mestinya dilindungi, terutama anak-anak. Menjaga agar tidak memperberat pengalaman traumatik korban.”
Ada juga yang menjawab sebagaimana berikut:
“Menyajikan kronologis peristiwa atau kejadian bencana tersebut. Memperhatikan dampak kerusakan atau kerugian akibat bencana alam. Meliput upaya penanggulangan bencana atau kerugian yang dilakukan pihak terkait pasca bencana alam. Perhatikan kesiapan fisik dan mental peliput.”
Apa yang paling sering dilanggar oleh media massa dan wartawan peliputnya?
“Pelanggaran privasi dengan menampilkan visual dan identitas korban bencana , termasuk keluarga korban. Memaksa untuk mewawancarai keluarga korban. Akurasi berita yang lemah. Eksploitasi perasaan manusia, korban justru dijadikan berita yang diangkat untuk menarik minat penonton, pembaca, pendengar”
Sesudah sesi, saya menanyakan pertanyaan yang persis sama untuk post-test.
Variasi jawaban peserta sebagai berikut:
“Perlu diperhatikan empati saat mewawancarai korban bencana, misalnya tidak bertanya yang bisa menambah derita korban. Menghormati privasi narasumber. Anak-anak tidak boleh diwawancarai tanpa didampingi orang tua/orang dewasa atau walinya. Tidak ada berita yang lebih berharga dibanding nyawa wartawan, sehingga aspek keselamatan saat meliput perlu diperhatikan. Berita bencana disampaikan secara akurat, lengkap, berimbang, sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi hidupnya, begitu juga korban selamat. Jangan menampilkan hanya sisi derita dan susah, cari juga sisi yang menginspirasi. Lebih mengutamakan meliput hal-hal yang mendorong ke arah solusi dan edukasi dan tidak fokus kepada upaya saling menyalahkan.”
Setidaknya, materi yang saya sampaikan selama tiga jam mewarnai jawaban peserta. Saya bersyukur. Tapi yang lebih penting apakah mereka menerapkannya? Apakah redaksi di media masing-masing mau menerima masukan untuk menerapkannya?
Kemarin, ketika media dengan segala ketergesaannya meliput hilangnya pesawat Air Asia kode penerbangan QZ 8501, dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura, diskusi soal peliputan bencana dan tragedi kembali memanas. Kritik meluncur dari publik melalui media sosial. Media (terutama televisi yang menayangkan secara langsung dari bandara Djuanda, tempat keluarga penumpang berkumpul untuk mendapatkan informasi atas hilangnya QZ8051), dianggap tidak berempati saat memaksa mewawancarai dan mengambil gambar keluarga penumpang dari jarak dekat. Close-up.
“Wartawan tdk berempati, potret/sorot keluarga pnmpang Air Asia @ CrisisCenter Juanda shg mereka cari privasi mhadap tembok @unilubis”. Ini kicauan teman saya, Jasmin Jasin melalui akun @jazzyontwit. Jasmin adalah pendiri sekolah Gemala Ananda di kawasan Jakarta Selatan. Dia teman kuliah saat di Institut Pertanian Bogor.
Saya pernah bekerja untuk majalah mingguan, untuk televisi dan juga media siber. Bekerja di koran atau media mingguan akan lebih mudah dari sisi memenuhi etika peliputan karena ada waktu untuk menyajikan hasil liputan. Mengendapkan hasil wawancara, dan mendiskusikannya dalam rapat redaksi. Lagipula, wawancara dilakukan dalam situasi lebih tenang. Penuh persiapan. Been there done that. Kalau mengajukan pertanyaan “bodoh” pun tidak ketahuan, karena saat diterbitkan sudah melalui proses editing.
Bekerja di media siber berisiko melaporkan informasi yang tidak akurat, yang belum dikonfirmasi, melaporkan isu yang beredar via perangkat komunikasi termasuk isu hoax, sampai dikritik karena memilih sudut pandang yang sensasional. Bekerja di televisi, terutama yang melakukan laporan siaran langsung, menjadi paling berat. Etika jurnalistik maupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibuat Komisi Penyiaran Indonesia menjadi rujukan minimal. Ada banyak etika yang harus diperhatikan. Etika gambar. Etika wawancara. Etika laporan langsung termasuk memilih diksi atau kalimat.
Wartawan, tak peduli sudah berapa lama menjalani profesi ini, perlu terus-menerus belajar. Ini refleksi saya setiap kali terjadi hiruk-pikuk berita besar, breaking news, dan kritik kepada media. Pada akhirnya saya mencoba kembali mengingat rumusan esensi jurnalisme, yang saya baca di buku 9 Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: “ informasi kepada publik, sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi hidupnya.”
Rumusan sederhana, dengan tanggung jawab yang berat.###
No Comment