Kisah IPB : Rimba Hijau Sungai Telaga
Beberapa lotjianpwee/pendekar sepuh yang malang melintang di dunia akademis bidang lingkungan hidup kebanyakan sudah wafat: Prof. Ishemat, Prof. Tjahjono, Prof. Suratno, Prof. Gunarwan Soeratmo dari IPB; Prof. Sugeng Martopo, Prof. Koesnadi Harjasoemantri dari UGM; Prof. Otto Soemarwoto dari UNPAD dan Prof. Surna Tjahya (Naya) Djajadiningrat dari ITB.
Tahun 1974-1980 sebagai ‘ siauw enghiong’ (pendekar muda) yang berbakat dan berambekan besar – kali ini ijinkan meniup kulit kerbau- aku beruntung bisa diasuh, bersilang pedang eh pemikiran serta bertemu dengan puluhan guru-guru besar rimba hijau sungai telaga lingkungan hidup nasional dan internasional.
Saat itu, isu lingkungan hidup masih akademis dan baru diminati/ditekuni oleh beberapa ilmiahwan dari kampus. Tetapi, dalam perkembangannya kemudian merambah dan bercabang-beranting dari akademisi ke LSM, bisnis, korporasi, advokasi, politik dan diplomasi.
Walhi dibentuk bulan Oktober 1980 oleh Komisi Sepuluh, diantaranya Erna Witoelar, Junus Aditjondro, alm. Zein Rachman dari Agronomi IPB dan Nashihin Hasan aktifis pesantren bersamaan dengan Konferensi Pusat Studi Lingkungan Hidup yang pertama di Indonesia.
Menyusul kemudian pada tahun 1983, Dana Mitra Lingkungan dibentuk oleh tokoh-tokoh bankir dan bisnis diantaranya Omar Abdallah dan Julius Tahija. Tiga organisasi ini kemudian menjadi motor penggerak utama isyu lingkungan hidup di tanah air: PSL di kampus, Walhi di LSM-politik advokasi dan DML di bisnis sebagai mitra Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badal Pengendali Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
Kurun waktu 1980-1985 ketika isu lingkungan mulai melejit, diantaranya dengan kasus waduk Kedungombo, aku tinggalkan tanah air untuk belajar di program Pasca Sarjana Oregon State, Amerika. Tetapi setelah kembali ke Indonesia, nasib dan peruntungan membawaku menjadi Direktur PSL Unhas (1986-1993) dan Chairman of the Board DML (2008-2010).
Apa yang menarikku ke rimba hijau sungai telaga lingkungan hidup yang amat kompleks dan sekarang campur aduk antara akademis-politik-bisnis-diplomasi ini ?
Paling tidak ada tiga batu tapal-batas (milestones) dalam jalan karir yang kumulai dari IPB: berjumpa dengan Dr. Soedjatmoko; ekpose dengan pemikiran Club of Rome dan seminar Dr. Jorgen Randers di aula Agronomi ; terakhir masuk Program Pasca Sarjana Pengelolaan Lingkungan Hidup di IPB.
***
Awal tahun 1974, aku ikuti Kursus Non-Degree : Indonesia dan Tantangan Perubahan Internasional di UI. Pada kursus itu, Dr. Soedjatmoko membawakan makalah: ”Studi Tentang Hari Depan: Artinya Bagi Indonesia’. Makalah dan diskusi beliau amat memukau.
Pak Koko adalah intelektual Indonesia berkelas internasional yang tak tertandingi bahkan sampai saat ini. Pada sesi tanya jawab dan jeda makan siang (dulu belum ada ‘ishoma’), beliau dengan sabar dan sopan menjawab pertanyaanku yang kebanyakan bodoh dan kepo.
Ceramah beliau kemudian menjadi tulisan di majalah Prisma 2 April 1975. Sebuah edisi tentang ramalan/prognosis masa depan Indonesia menjelang tahun akhir abad ke 20. Edisi ini disumbang oleh para ‘futurologist’ yang handal dari akademisi dan praktisi. Saat itu, ramal-meramal baru dikenal di dunia ‘mistik’ seperti ramalan/jangka Joyoboyo atau ramalan bintang Empeh Wong Kam Fu.
Dalam edisi itu, Sumitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo Subianto) menulis tentang ekonomi-politik; J.A. Katili (ayah Dr. Amanda Katili) tentang sumber-sumber alam, Wijarso tentang enerji; Wahyudi Sugiyanto dan Hardono Tedjokoesoemo tentang pangan. Sumber alam, enerji dan pangan adalah tiga kata kunci ketahanan dan kedaulatan suatu negara dan bangsa.
Tak lama kemudian, aku bertemu Pak Koko lagi pada Latihan Nasional Lingkungan Hidup Untuk Pemuda (LIPI dan Mapala UI) di Puncak Pass Hotel sekitar awal 1975. Beliau masih membahas tema masa depan tetapi lebih menukik ke isyu lingkungan hidup yang saat itu lagi naik daun karena studi Club of Rome.
Latihan ini adalah tonggak penting sejarah gerakan lingkungan hidup di tanah air. Dimotori oleh Rio Rachwartono dan Sudito, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumpulkan sekitar 25 pemuda dari kampus dan organisasi kepemudaan se Indonesia di Puncak Pass Bogor. Pelaksanaan latihan dilakukan oleh MAPALA UI.
Di sini aku berkenalan dengan orang-orang yang ‘by twist and turn of fate” sering bertemu lagi di di rimba hijau dan sungai telaga, diantaranya : Bang Marsilam Simanjuntak (pejabat di era Gus Dur), Aristides Katoppo, wartawan senior dan Pemred Sinar Harapan, Rudy Badil (wartawan Kompas), Dono, Kasino dan Nanu Warkop Prambors. Percaya atau tidak, tapi lebih baik percaya, Badil dan aku pernah ikut siaran acara Warkop dengan mereka. Tetapi karena tidak cukup lucu, karier kami putus di tengah jalan.
Peserta lain adalah Irwan Yulianto (wartawan Kompas), Muriani Budiwan-pemeran Karmila di film Cintaku di Kampus Biru- dan but the most imporlast tant : Martha Hutauruk yang punya wajah, mata dan suara sama beningnya. Karena kegiatan ini, aku membolos lagi kuliah-praktikum Tekben dan kuliah-praktek lapang agronomi dengan segala konsekuensinya.
Dalam diskusi itu, Pak Koko membahas dan sekaligus mengkritik pemikiran para futurist seperti Alvin Toffler, Arthur Clarke, Herman Kahn, Daniel Bell tentang perubahan-perubahan ekonomi, sosial politik dan sumber daya alam menjelang abad 21. Isyu lingkungan hidup belum muncul secara khusus tetapi terkait dengan enerji, pangan dan kependudukan. Pemikiran beliau tentang lingkungan hidup baru lengkap dalam kumpulan tulisan berjudul: “Masalah-Masalah Global dan Pengembangan Lingkungan Hidup Indonesia”, diterbitkan BAPPENAS, 1988.
Kritik Pak Koko sampai sekarang masih relevan. Intinya, selama negara-negara masih berpikir tentang kepentingan sendiri, maka jangan harap iyu lingkungan (seperti perubahan iklim) terselesaikan dengan baik. Ini bisa kita lihat sampai pada COP Perubahan Iklim di Lima-Peru, 2014 yang masih maju mundur karena dibayangi kepentingan nasional negara-negara besar seperti Amerika, India dan Tiongkok.
Sebagai aktifis pers mahasiswa aku sempat berjumpa Pak Koko dua-tiga kali lagi dalam berbagai diskusi/seminar. Bersama teman-teman dari UI, kami pernah juga menghadap beliau di rumahnya di Jalan Tanjung. Beliau menikah dengan Ibu Ratmini yang cantik dan artis-pelukis hebat dan punya tiga puteri cantik dan pintar. Isna, salah satu puteri beliau juga terjun di rimba hijau sungai telaga dan menjadi salah satu bidan lahirnya BAPEDAL.
Hebatnya, seperti induksi magnit kepintaran Pak Koko menular kepadaku.Tiap kali selesai berdiskusi dengan Pak Koko, aku (merasa) tambah pintar. IQ-ku yang sering jongkok lalu berdiri sebentar. Setelah pulang ke Bogor, seperti beo Nias kebanyakan makan cabe, aku menceritakan dan membahas ide Pak Koko dengan alm. Bang Khairil Rasahan (mantan Dirjen Tanaman Pangan). Di tempat kosku ini, hanya beliaulah yang bisa menangkap ide ide besar dan penting ini. Di luar tempat kos, sering aku diskusikan dengan Mas Syamsun dan Greg Hambali si idealis Baranangsiang yang ‘ koekoay’ atau eksentrik juga menjadi teman berdebat yang hebat.
Aku tak bisa ceritakan ide besar ini ke teman seangkatanku di Agronomi. Mereka sibuk dengan urusan ‘kecil’ seperti menghitung benih tembakau di praktikum Tekben atau mengukur lebar daun di kebun percobaan Tajur. Mahasiswa Sosek yang seharusnya peka pada isu ini, pada sibuk dengan laporan Sosped; mahasiswa Hama Penyakit sibuk mengamati bentuk mulut serangga untuk membedakan mana yang menggigit, menghisap atau menusuk. Gak penting banget !
Lain lagi dengan kakak-kakak mahasiswa angkatan 6,7 atau 8. Mereka sudah sibuk pacaran dan yang masih jomblo galau jelalatan cari pasangan. Aura dan wajah mereka, khususnya mahasiswa, mulai tampak mesum dan jerawatan. Untuk bidang pacaran ini, boleh dibilang aku memang agak ketinggalan. Saat itu, aku lebih peka terhadap rangsangan intelektual daripada seksual. Cieee.
Tak akan habis kalau kita bicara tentang Dr. Soedjatmoko, sang tayhiap (pendekar besar) intelektual ahli ilmu surat ini. Pemikiran beliau meluas mulai dari isyu pendidikan, kebutuhan dasar, ekonomi, pangan, enerji, pembangunan sosial-budaya dan bahkan Kejawen ! Bacalah kembali buku-buku beliau yang masih amat- bahkan makin relevan dengan isyu pembangunan saat ini; seharusnya menjadi buku wajib para menteri.
Saat awal Orba, boleh dibilang pemikiran beliau menjadi warna atau bahkan semacam jiwa atau ruh pembangunan di Indonesia. Memang tak semua pemikirannya diakomodasi oleh Orba. Pada dua dasawarsa terakhir sebagian malah diingkari oleh Orba. Tetapi setelah masa itu, memang terasa ada ‘spirit pembangunan’ yang hilang di tanah air.
Pada berbagai orde pemerintahan selanjutnya dan sampai sekarang, pembangunan (kalau boleh dibilang itu pembangunan) hanya berfokus pada isyu fisik-mekanistik- politik. Ada kekosongan jiwa atau ruh yang sekarang mau diisi kembali oleh Amartya Sen.
Pokoknya, pemikiran dan tulisan beliau pelan-pelan menarikku ke rimba hijau dan sungai telaga. Sekitar tahun 1975, kuberanikan diri menulis surat ke beliau di BAPPENAS dan bertanya cara belajar lingkungan hidup? Beliau membalas kira kira demikian ’tekuni saja bidang Anda sekarang di IPB, sebab semua bidang ilmu juga akan bermuara ke isyu lingkungan hidup’. Sekarang, apa yang dikatakan beliau terbukti. Sayang surat tulisan tangan beliau hilang bersama ratusan foto dan buku saat banjir bandang di Kampus Baraya Unhas tahun 1980-an
Nasihat beliau kuturuti dan dengan penuh semangat reformasi aku kembali ke laboratorium tekben Pak Syam menghitung biji tembakau dan mencoba memecahkan persoalan pelik tentang teori jarak tanam melalui ukuran panjang lebar dedaunan.
***
Pemikiran Pak Koko mengantar aku membaca penerbitan-penerbitan Club of Rome, sebuah lembaga global think tank yang membahas bermacam isyu politik internasional, termasuk isyu lingkungan hidup. Lembaga ini terdiri dari perdana menteri, presiden, diplomat, saintis dan bisnis. Beliau adalah anggota Club of Rome yang amat bergengsi itu (sekarang mungkin Davos).
Tahun 1972, Club ini mengeluarkan laporan The Limits to Growth (LTG) oleh Dennis Meadows, Donnela Meadows, Jorgen Randers dan William Behrens yang kemudian diterjemahkan ke 30 bahasa. Di Indonesia buku itu diterjemahkan menjadi Batas-Batas Pertumbuhan. Inilah buku terlaris, terjual 12 juta eksemplar-edisi pertama, dalam sejarah. Barangkali sekarang hanya bisa ditandingi buku Harry Potter.
Kubeli buku itu di Gramedia, dulu masih toko kecil nyempil di Pasar Blok M. Pada pokoknya, LTG dengan agak pesimistis meramalkan kehancuran pertumbuhan ekonomi dan atau karena pertumbuhan penduduk, kerusakan lingkungan dan kelangkaan pangan. Ramalan dibuat dengan model sistim dinamik oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology). Ramalan yang mirip dengan theory Malthus tahun 1798, An Essay of the Principle of Population.
Tahun 1974, dua tahun kemudian buku itu direvisi menjadi Mankind at the Turning Point (MTP) oleh Club of Rome, merinci dampak pertumbuhan secara regional. Pengarang utama: Pestel dan Mesarovic juga mengintegrasikan faktor sosial-budaya kedalamnya. Tak beda jauh dengan kritik Pak Koko pada terbitan LTG.
MTP memberikan prognosis yang lebih optimistis tentang masa depan lingkungan hidup diantaranya mencatat bahwa perkembangan teknologi dapat menghindarkan dunia dari kiamat lingkungan hidup. Suatu hal yang masih akan kita saksikan dengan isyu teknologi bersih, daur ulang, nano tech, biodegradable material dan penghematan sumber daya alam.
Di sini boleh dicatat pemikiran Buckminster “Bucky” Fuller yang pernah ke Indonesia, seorang tokoh lingkungan yang tidak hanya teoritis tapi juga praktis. Sebagai arsitek, Bucky merancang geodesic dome di Montreal yang irit material karena keterbatasan sumberdaya alam di planit bumi. Kabarnya dia juga merancang geodesic dome dengan bambu di Bali.
Bucky membuat istilah “ephemeralization”, yang berarti “doing more with less” melalui daur ulang; serta konsep synergetics yaitu perilaku tak terduga dalam sistim total yang tidak mungkin muncul dari komponen yang sebelumnya terpisah- pisah. Konsep ini yang melahirkan istilah synergy sekarang. Aku pernah ikuti seminarnya di Jakarta menjelang tahun 1980 tentang perkotaan dan transportasi di Balai Kota DKI.
Sekitar tahun 1975, entah siapa yang mengundang, salah seorang ahli sistim dinamik MIT yang membantu penulisan LTG dan MTP: Dr. Jorgen Randers datang ke IPB dan memberikan ceramah di Aula Agronomi yang sekarang menjadi rumah hantu itu! Dugaanku, ini adalah prakarsa Prof. Makaminan Makagiansar dosen luar biasa di IPB dan UI yang menjadi pejabat di UNESCO.
Tidak banyak yang datang ke seminar itu, hanya guru-guru besar, dosen-dosen senior dan mahasiswa senior, diantaranya Bang Khairil dan Mas Syamsun. Dr. Randers berambut gondrong dan amat percaya diri berceramah dengan bahasa Inggris aksen Norwegia. Papan tulis penuh berisi persamaan matematika dan grafik.
Suatu kali, dia mengeluh karena terganggu dengan suara azan dari Babakan Fakultas dan minta agar rekaman “that song’ dimatikan. Entah siapa yang menjelaskan, tetapi dia kemudian paham. Sekarang, Dr. Randers adalah profesor strategi perubahan iklim di BI Norwegian Business School. Risetnya masih tentang scenario planning and system dynamics, climate change and global warming.
Sekarang entah apa nasibnya Club of Rome yang menelurkan para pendekar lingkungan yang hebat. Diantaranya, Dr. Mohan Munasinghe dari Sri Lanka, seorang ahli fisika dan ekonomis pakar enerji, sustainable development dan climate change. Dia adalah Vice-Chairman of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC-AR4) yang memenangkan 2007 Nobel Peace Prize bersama Al Gore.
Mohan yang kalem ini menjadi tetanggaku di lantai 5, World Bank, 1818 Penn Avenue di Washington DC tahun 2000-2004. Di lantai itu berkumpul juga pendekar senior rimba hijau sungai telaga seperti Robert Goodland, Ernst Lutz, Stephen Lintner, dll.
Tahun 1990 dalam sebuah seminar di WB/IMF, aku sempat juga bertemu dengan dua tokoh legendaris lingkungan hidup: Prof. Kenneth Boulding, pemenang Nobel yang dikenal sebagai ‘The Sage of Boulder” atau Orang Bijak dari Boulder, Colorado dan Prof. Garreth Hardin yang dikenal dengan Tragedy of Commons. Lagi-lagi peruntunganku mengantar untuk bisa bertemu para pendekar lingkungan hidup itu.
****
Seminar Dr. Jorgen Randers, orang pintar dari MIT itu membuat minatku lebih mantap untuk menekuni bidang lingkungan hidup. Ketika Pak Andi Hakim, Dekan Sekolah Pasca Sarjana itu menawari aku masuk Program Pengelolaan Lingkungan Hidup angkatan pertama 1976/1977 langsung kuterima. Ini juga program yang pertama kali di Indonesia. Cita-citaku untuk jadi mandor kebun teh dan kina di Pangalengan untuk sementara kutangguhkan.
SPS PPLH Angkatan I sekitar 20 orang, beberapa orang masih kuingat : Hadi Alikodra, Jadjid Damopolii, Benjamin dari Kehutanan, Ali Hasymi, Supriharyono dan Azis dari Perikanan dan beberapa mahasiswa dari universitas luar Jawa dan dinas pemerintahan. Aku peserta termuda di kelas itu. Dengan latar belakang studi, usia, asal dan pengalaman yang beragam mahasiswa SPS PPLH saling memperkaya satu sama lain. Inilah salah satu bukti kejeniusan Pak Andi dan keberanian IPB untuk mendobrak sistim pendidikan pasca sarjana di tanah air.
Demikianlah, selama dua tahun kemudian, aku melanjutkan pengembaraan intelektual dan literal di rimba hijau sungai telaga. Hampir 40 persen program studi SPS PPLH ini dihabiskan dengan praktikum di lapangan: di hutan, sungai, comberan dan tempat sampah untuk lebih mendalami dan memahami ekosistem, pencemaran lingkungan hidup dan pengelolaannya.
Di kelas Dasar-Dasar Ekologi, kami diajar oleh pendekar aneh: Prof. Tjahjono “Odum” Samingan, pakar ekologi, taxonomy tanaman dan dendrology (ilmu pengenalan pohon) hutan yang kosen tak ada tandingan. Nama Odum melekat karena beliau menterjemahkan buku text ekologi karangan Odum Fundamentals of Ecology (1953 dan 1963), buku satu-satunya tentang ekologi selama satu dasawarsa setelah itu.
Buku Odum mengilhami dasar pengetahuan dan pemikiran para pakar biologi dan banyak aktifis lingkungan. Tahun 1970, ketika Hari Bumi yang pertama, konsep-konsep Odum menjadi ilham bagi gerakan lingkungan yang kemudian meluas sampai sekarang. Boleh dibilang, buku itu sempat menjadi kitab acuan para pendekar lingkungan, mirip Imyang Tjinkeng (Kitab Imyang) karangan Tatmo Tjouwsu dalam dunia bulim-kang ouw.
***
Hutan Kebun Raya Cibodas (KRC) memang bukan hutan alami, tetapi tempat koleksi ex situ (di luar habitat) bagi tumbuh-tumbuhan tropis basah dataran tinggi, termasuk tusam (damar). Hutan ini cukup ideal sebagai lokasi praktikum karena ekosistem cukup lengkap, dari serasah sampai berjenis strata pepohonan. Disana juga ada berbagai jenis benalu, pencekik (strangler) dan liana, jenis-jenis jenis tumbuhan yang menumpang gratis tetapi kemudian membunuh inang atau tanaman induknya, mirip sebagian politisi saat ini.
Udara siang lembab panas, ciri khas hutan hujan tropis. Kami terbungkuk-bungkuk basah oleh tetesan air dan keringat; kehabisan napas mengikuti Pak Tjahjono praktikum dendrology. Berjalan cepat, beliau tunjuk sana sini, sambil berbicara tak henti dan meludah-ludah, ciri khas beliau. Aku menggendong ransel yang cukup berat berisi makanan, buku catatan dan air dalam pelples tentara Ayahku. Saat itu belum ada Aqua dan sejenisnya.
Tak henti-henti tanganku membuat catatan dan menggambar sketsa. Hadi Alikodra dan Ben yang punya latar belakang kehutanan tak begitu pusing. Mereka pernah dapat kuliah ini di S-1 dari …no other than Pak Tjahjono. Tetapi Bang Ali, Azis, Supri dan aku yang belum pernah kenal Pak Tjahjono kelimpungan dan mencatat nama-nama Latin yang bakal keluar di ujian nanti.
Pak Tjahjono dengan piawai membahas dasar ekologi hutan, strata pepohonan, konsep persaingan antar dan intra species berebut hara, air dan cahaya. Persaingan membentuk masyarakat tumbuhan (life-form). Beliau juga cerita tentang taktik tumbuhan untuk memenangkan persaingan, misalnya dengan mengeluarkan zat kimia yang membunuh/menghambat tumbuhan lain atau bahkan anakannya sendiri. Strategi allelopathy ini dilakukan oleh Pinus merkussi, alang-alang atau beberapa jenis bambu berdaun kersik.
Kuliah Pak Tjahjono amat menarik dan humornya seringkali (lebih sering daripada sekali) vulgar. Misalnya di tengah hutan, lelaki yang pendek hitam kekar ini bertanya serius: ”Hei, coba kalian identifikasi mana bagian depan dan belakang pohon?”. Kami putar otak dan berteori mungkin yang lebih sering kena matahari itu bagian depan, yang kurang bagian belakang dsb dst. Hadi dan Ben Cuma cengar-cengir, mungkin sudah tahu jawabannya.
Ketika kami menyerah, Prof. Tjahjono beranjak ‘ke belakang pohon’ dan mengencinginya sambil berdiri. Sambil tertawa berkakakan, beliau bilang: ”Itulah bagian belakang sebuah pohon, yang kita kencingi”. Hadi dan Ben tertawa terbahak-bahak dan kemudian lari pergi kencing ke balik pohon lain. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Untunglah, mahasiswa SPS PPLH waktu itu lelaki semua. Jika ada wanita, cara identifikasi bagian belakang pohon ini tentunya sulit dilakukan.
Humor lain, setelah kami lelah mencatat dan memikirkan konsep nama taxonomy Latin yang rumit, beliau sambil menunjuk pohon mati kering yang masih berdiri tegak berkata: “ Catat itu, dari family Cungitacea !”. Hadi Ali Kodra cuma cengar- cengir. Lalu Pak Tjahjono tertawa: “Ngacung ka langit, hahahaha, cuiih”.
***
Jika Pak Koko memberikan ide-ide besar tentang isyu lingkungan hidup, Prof. Tjahjono memaksa kami memahami dua konsep dasar: ekologi dan ekosistem. Konsep penting yang terkadang tidak dipahami khalayak malahan sebagian aktifis lingkungan.
Ekologi adalah kajian ilmiah atau studi tentang interaksi antara organism dan lingkungan, biotic atau abiotic. Sedangkan ekosistem adalah sistim yang terbangun dari interaksi organism, komunitas yang terbentuk dengan komponen abiotik. Ekologi juga ilmu pengetahuan tentang manusia sebagai pembuat dan penerima dampak dari perubahan ekosistem akibat ulah manusia.
Sekarang banyak terapan dari ekologi misalnya, pengelolaan lahan basah, pengelolaan sumber daya alam (pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan), ekologi perkotaan, ekonomi dan ekologi manusia. Untuk yang terakhir itu, pada tahun kedua kuliahku di SPS-PPLH, aku menjadi asisten Prof. Makaminan Makagiansar. Seorang akademisi-praktisi dan pernah menjadi pejabat di UNESCO dan kemudian Dirjen Pendidikan Tinggi di Depdikbud itu.
Tugas asisten adalah duduk menyimak di belakang, saat Pak Mak beri kuliah, membantu beliau menyiapkan bahan kuliah dan menjaga waktu mahasiswa ujian. Mata ajaran Ekologi Manusia belum resmi menjadi m.a. di IPB, sehingga tidak ada honor untuk asisten. Pak Maks terkadang memberiku amplop berisi uang, terkadang dollar mungkin dari sebagian gaji/honornya di UNESCO.
Akhir semester, kami maju ujian taxonomy dan dasar ekologi. Kecuali ujian tertulis, Pak Tjahjono punya cara menguji yang unik. Mahasiswa dipanggil ke rumah dan diminta mengidentifikasi beberapa tanaman yang ada di halaman rumah atau di sekitar kampus Dramaga. Pak Tjahjono selalu bilang, kenalilah lingkungan hidup yang paling dekat dan kelola dengan baik. Tak ada gunanya teriak-teriak untuk melestarikan ikan paus, kalau mengelola sampah di RT pun tak becus.
Pagi itu aku berangkat ke Dramaga. Bergonta-ganti moda transport, jalan kaki naik dari lembah Sempur ke Air Mancur, ambil bemo ke terminal Jembatan Merah, ganti angkot ke Dramaga dan kemudian jalan kaki ke rumah beliau. Sepanjang jalan kulirik dan kubuka catatan serta sketsaku sambil menghapal nama tanaman dan taxonomy. Kadang aku pejamkan mata sambil komat-kamit mirip orang berdzikir. Ada beberapa cewek cantik anak SMA Regina Pacis yang terheran-heran melihatku kemudian pada berbisik-bisik. Mungkin bilang “Ieu budak teh lumayan kasep, tapi mungkin rada gelo, meureun..”.
Sampai di rumah Pak Tjahjono aku bermandi keringat. Tetapi beliau berbaik hati dan minta pembantunya menyediakan teh manis yang kutenggak seperti unta minum air di oasis; kehausan setelah sebulan berjalan melintasi Sahara.
Menunggu sebentar di teras rumah, kudengar beliau berteriak memanggil seorang pembantu anak lelaki tanggung yang sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dia pergi ke halaman dan sekitar 10 menit kembali dengan seonggok tanaman atau bagian tanaman dari jenis rumput, semak, krokot, tanaman bunga, dll. yang nanti harus aku identifikasi nama ilmiahnya
.
Prinsip beliau, ekosistem tidak harus di hutan tetapi di halaman rumah, di lapangan, di kebun semua adalah ekosistem yang harus kita ketahui. Jadi…..sketsa dan catatan tanaman hutan yang kuhapalkan di angkot itu tak ada gunanya!
Pembantu lelaki itu datang dan menyerahkan seonggok tanaman. Ada bunga mawar, rumput jarum (dondoman), bunga tahi ayam, pakis, lumut dsb. Pak Tjahjono memilih, menata dan mengatur sekitar 10-15 preparat. Tidak semua tanaman itu disajikan lengkap di meja. Ada beberapa lembar kelopak mawar, sepotong bunga rumput, sekelumit lumut, seiris pakis, sebatang lidah buaya, dll.
Lalu beliau mulai bertanya: “Nama tanaman….nama ilmiah ?” Sambil mengangkat preparat itu. Aku mulai gelagapan. Beliau mulai dengan yang mudah, mengangsurkan beberapa kelopak mawar merah. Jawabku gagah “ Mawar merah…Rosa foetida (aku tahu jenis-jenis mawar dari kebun Bang Dirman). Sambil meludah, beliau membuang preparat itu ke kardus. Cuih.
Beliau mengambil preparat lagi, potongan lidah buaya. Aku jawab: “ Lidah buaya….nama ilmiah ehhhm, oooh, hehehe..maaf.”. Cuih, beliau melempar ke kardus lagi. Berturut-turut beliau menunjukkan nama preparat. Seringkali aku bisa menyebut nama Indonesia tapi nama ilmiahnya lupa atau tidak tahu. Jadi seringkali aku cuma nyengir dan mohon dihampura (mohon maaf). Demikianlah, preparat demi preparat aku lewati. Keringat dinginku mulai mengalir deras. Aneh, beliau juga tidak marah, seolah-olah tahu tak ada gunanya memarahi mahasiswa idiot ini.
Tinggal tiga preparat di meja: sepotong rumbut jarum (dondoman), sekelumit lumut dan seiris pakis. Sebelum beliau bertanya, sambil menunjuk rumput, aku bilang dengan gemetaran :“ Rumput dondoman…..Andropogon acicici cih…ehm.. aciculatus !. Aku ingat karena rumput inilah seluruh Wangsa Yadawa, wangsa Sri Kresna musnah. Bacalah komik Mahabarata karangan R.A Kosasih. Beliau cuma meludah, tidak memuji. Sebab so far, dari sekitar 15 preparat hanya 3 yang bisa aku identifikasi nama ilmiahnya, so far not good.
Grand finale, tinggal dua preparat. Aku sudah menyerah kalau harus mengidentifikasi nama lumut dan pakis ini. Pak Tjahjono yang mungkin sudah tahu jawabanku yaitu tidak tahu; tiba-tiba berganti pertanyaan: ”Baik, diantara dua ini …lumut dan pakis, mana ordo yang lebih tua atau lebih sempurna dan apa alasannya…? Aku panik sebentar, tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan ketenangan luar biasa, setelah semenit komat-kamit berdoa menyerah dan tawakal kepada Allah subhanahu wa taala.
Jika aku tak lulus mata ajaran maha penting ini aku bakal mengulang tahun depan dan kalau tak lulus lagi, mungkin bisa dikeluarkan dari SPS PPLH. Aku malah mikir mau segera pindah ke jurusan Sosek yang lebih mudah, atau malah Tekben yang lebih sulit tapi gurunya amat baik : Prof. Syamsoeoed Sadjad.
Dengan muka serius kujawab: ” Pakis lebih sempurna dari lumut pak …karena ehm…ehh, di buku teks… gambar-gambar pakis muncul belakangan, maksud saya di halaman lebih belakangan…daripada gambar, eh lumut pak”. Kali ini Pak Tjahjono begitu terpesona melihatku dan malah lupa meludah. Matanya seperti mata kijang tersorot lampu mobil, membelalak dengan retina terbuka ngablak. Tiba-tiba beliau tersenyum lebaaar dan mendekatiku. Aku kuatir beliau akan mencekikku, tapi malah menyalami : “ Wahaha, jeniussss….jeniusssss…calon pemenang Nobel Biologi, kekekkekek…!”
Tapi senyum lebar itu cuma sebentar. Beliau panggil si pembantu dan suruh menyebutkan nama–nama ilmiah preparat di kardus yang dengan lancar dia sebutkan : “Cyperus rotundus,…Imperata cylindrical, …Vinca rosea, …Ageratum conyzoides,….Portulaca oleracea…dll. Terakhir, dia lambaikan pakis ke mukaku :” Cycassss rumphiiiiiii !”. Sambil ngaleos, pembantu itu tersenyum sinis, seolah berkata: ” Huh, kaya begini mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana PPLH-IPB”. Belakangan aku tahu, pembantu itu sudah lama ikut Pak Tjahjono dan sudah dilatih khusus identifikasi tanaman.
Aku keluar halaman dengan hati berantakan. Tetapi untuk menjaga gengsi, kutengadahkan mukaku dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar (mungkin juga karena air mata). Beberapa calon manusia malang yang nangtung di luar menanyaiku dengan harap-harap cemas. Alm. Bang Ali Hasymi (mantan Rektor Unlam, pakar perikanan) bertanya “ Gimana Yan….sulit ?” Jawabku ;”Ahh, gampaaang Bang, sipiiiiiil”.
Alhamdulillah, aku tak harus mengulang mata ajaran Dasar-Dasar Ekologi, nilai akhir: B. Dugaanku, dua anggota tim pengajar lain : Dr. Arthur Hanson dari Canada yang mengajar Ekologi Kuantitatif dan Prof. Kusubiono yang mengajar Ekologi Perairan memberi nilai bagus dan menutup nilai buruk dari Prof. Tjahjono. Tetapi aku tak boleh suudzon (berprasangka buruk) sebab mungkin juga beliau yang sekarang sudah wafat memberiku nilai bagus karena terkesan dengan jawabanku atas pertanyaan terakhir. De mortuis nil nisi bonum- untuk yang sudah wafat, kita bicarakan yang baik-baik saja.
No Comment