RAPOR MERAH JOKOWI SOAL PAPUA
Freeport Indonesia mendapat ijin melanjutkan ekspor mineral mentah. Pemerintah dan raksasa tambang AS itu juga sepakat lanjutkan pembahasan MoU. Kepentingan bisnis lebih kental dibanding penegakan HAM di Papua.
Ketika banyak perhatian tertuju ke gerakan #SaveKPK, banyak yang luput memperhatikan bagaimana perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia, berhasil lolos (lagi) dari larangan ekspor mineral. Hari ini (25/1), adalah batas akhir jaminan bahwa raksasa pertambangan yang beroperasi di Timika, Papua, itu mampu membangun smelter, yakni industri pemurnian dan pengolahan mineral. “Kemarin mereka sudah mendapatkan kerjasama pembangunan smelter dengan PT Petrokimia Gresik. Jadi, Freeport bisa melanjutkan ekspor mineralnya,” kata Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Sudirman Said, saat saya kontak Minggu siang (25/1). Batas waktu selesainya pembangunan smelter adalah 2017.
Tahun lalu, Freeport diberikan ijin ekspor bahan tambang mentahnya. Padahal, dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, mulai 14 Januari 2014 ekspor bahan tambang mentah dilarang. Dampak larangan ini, semua perusahaan harus membangun smelter di dalam negeri. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keringanan bagi Freeport melalui memorandum of understanding (MoU) yang isinya antaralain bukti kesungguhan membangun smelter di dalam negeri.
MoU seperti ini juga berlaku untuk industri pertambangan lain. Alasan pihak industri saat itu, mereka bisa mati tanpa ekspor. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia sempat menggugat UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. MK menolak gugatan ini. Larangan ekspor mineral mentah, menurut MK, wajar dilakukan untuk melindungi sumberdaya alam.
Batas MoU untuk Freport adalah kemarin, 24 Januari 2015.
Saat rapat kerja di DPR pekan ini, Menteri Sudirman Said menunjukkan kekesalannya karena Freeport lambat memenuhi janjinya membangun smelter.
No Comment