Kampanye Revolusi Mental Seharga Rp 149 Miliar
Pemerintah Jokowi siapkan dana untuk iklan dan promosi mengubah perilaku. Yang mendesak dilakukan adalah memulai dari diri sendiri. Perlu konsistensi sikap petinggi
Tiga pekan lalu saya mengundang Menteri Keuangan Profesor Bambang Brodjonegoro untuk #ngobroldipasar, soal APBN-P 2015 dan isu ekonomi lainnya di Padsar Santa. Setiap akhir pekan, apalagi Hari Minggu, jalan mendekati Pasar Santa selalu super macet. Jangankan mencari tempat parkir. Menembus kawasan sekitar pasar yang terletak di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu pun tidak mudah. Beberapa teman media bergabung.
Menkeu Bambang datang hanya ditemani istri dan berpakaian santai, baju kaus. Karena macet, dia memilih turun dari mobilnya, lalu berjalan melompati beberapa genangan air di jalan dan halaman Pasar Santa. Kami bertemu di lobi kantor cabang BRI. Ini tanda dari saya, karena begitu banyak lobil di pasar. Tidak mudah nanti mencari kios di mana kami janjian bertemu untuk ngobrol santai. Tidak ada ajudan, petugas protokol ataupun petugas humas dari departemen keuangan. Benar-benar santai. Hari Minggu, semua berhak mendapatkan libur, termasuk jajaran kemenkeu.
Saya menangkap nuansa #revolusimental. Pejabat tinggi datang tanpa perlu disambut. Menjawab pertanyaan wartawan dengan terbuka dan sambil menikmati hidangan yang ada. Kami ngobrol soal serius sambil agar berteriak karena tak jauh dari kios, ada acara peresmian kedai lain, yang menghadirkan band. Kedai samping tempat kami ngobrol juga memutar musik yang asyik. Benar-benar suasana pasar. Ramai. No complaint.
Menjadi pejabat, esensinya adalah melayani masyarakatnya. Bukan membuat repot.
Menurut saya itulah hakikat dari revolusi mental, meminjam istilah yang menjadi jargon kampanye Joko “Jokowi” Widodo yang akhirnya menjadi presiden sejak 20 Oktober 2014. Saya membaca Nawa Cita, visi misi Jokowi-JK, dan sejumlah janji lain. Terlalu panjang. Pusing pala barbie dibuatnya. Apalagi ketikannya tanpa spasi.
Saya (mungkin publik juga) melihat realitas yang ada untuk mengubah sikap, tindakan, paradigma, dan seterusnya yang dikemas dengan jargon revolusi mental itu.
Konsistensi kebijakan
Presiden Jokowi memerintahkan efisiensi anggaran. Menteri Penerbitan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengimplementasikannya dengan edaran hindari rapat di hotel dan jenis makanan ringan yang dihidangkan dalam rapat-rapat di lingkungan pemerintahan. Saya menuliskannya di sini: Makan singkong untuk hemat anggaran? Kuat nuansa pencitraan
Menteri keuangan Bambang mengatakan anggaran yang bisa dihemat dari rapat di hotel dan perjalanan kelas ekonomi adalah Rp 1,5 Triliun untuk 2015. Presiden Jokowi memangkas anggaran perjalanan dinas dan rapat seluruh kementerian dan lembaga yang jumlahnya mencapai Rp 41 Triliun menjadi Rp 25 Triliun untuk tahun ini.
Dampak dari penghematan itu tingkat okupansi hotel turun 20%-80%, sebagaimana dimuat laman detikcom ini: Pasca 1 Bulan Larangan Rapat untuk PNS, Omzet Hotel Anjlok 20%-80%
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan melakukan revolusi mental di lingkungan birokrasinya, antaralain dengan rotasi 1.400 karyawan dari 2.500 kemenhub dan berjanji transparansi perijinan termasuk ijin rute pesawat. Kita tidak tahu siapa dan di bagian mana saja rotasi dilakukan. Yang jelas membuat Surat Keputusan mutasi untuk 1.400 tentu bikin pegel yang tanda-tangan. Itu juga kalau benar 1.400 orang. Saya bisa memahami kalau dalam 100 hari pertama, semua kementerian merasa perlu menunjukkan kepada publik (tentu saja ke presiden), apa hasil kerjanya.
Pekan ini ketegasan Jonan diuji dalan kasus ribuan penumpang maskapai Lion Air terlantar di bandara belasan jam. Tidak mudah buat Jonan bersikap setegas terhadap Air Asia. Lion Air dimiliki Rusdi Kirana, salah satu anggota dewan pertimbangan presiden, sekaligus wakil ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa. Entah berapa, tapi Rusdi Kirana punya andil dalam kampanye pilpres Jokowi. Bagaimana Jonan merevolusi mental layanan Lion Air dan tanggung jawab pemiliknya?
Pendek kata, semua jajaran pemerintahan Jokowi, mestinya berlomba-lomba implementasi revolusi mental itu dalam berbagai macam bentuknya: efisiensi dan efektivitas birokrasi, meningkatkan produktivitas kerja, lebih transparan pekerjaan maupun pelaporan ke publik, pangkas biaya yang tidak perlu, kurangi frekuensi perjalanan dinas dan jumlah rombongan, dan seterusnya.
Lalu, kemarin saya membaca berita ini:
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan, anggaran revolusi mental Rp 149 miliar yang sudah disetujui pemerintah akan digunakan untuk mengubah perilaku masyarakat. Anggaran tersebut nantinya lebih banyak digunakan untuk kampanye perubahan perilaku.
“Revolusi mental kan ubah perilaku, bikin orang sadar. Nah, bagaimana kampanye menyadarkannya supaya mengubah perilaku,” kata Andrinof di Istana Bogor, Jumat (20/2/2015). Berita dimuat di laman Kompas, ini selengkapnya: Andrinof Paparkan Penggunaan Dana Revolusi Mental Rp 149 Miliar
Menurut Andrinof, anggaran revolusi mental tersebut akan disalurkan untuk program-program seperti sosialisasi berupa pengadaan iklan, film, atau dialog publik. Kampanye atau sosialisasi juga bisa dilakukan melalui tokoh-tokoh agama.
“Bisa menyuruh para tokoh agama untuk lebih banyak bicara tentang perubahan perilaku. Banyak itu yang bisa dibikin programnya,” ujar dia.
Pengelolaan dana ini berada di bawah Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan yang dipimpin Puan Maharani. Untuk pelaksanaannya, menurut Andrinof, sebagaimana dikutip berita itu, anggaran ini akan dibagikan kepada kementerian-kementerian terkait, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Agama, atau kementerian lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Sebelumnya, Badan Anggaran DPR menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp 149 untuk Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan dalam RAPBN-Perubahan 2015. Meskipun sudah disetujui DPR, rincian mengenai alokasi dana revolusi mental tersebut belum dipaparkan.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Banggar DPR, Selasa (10/2/2015), Puan hanya mengatakan anggaran tersebut untuk program revolusi mental. Kemenko PMK, kata Puan, punya program yang disesuaikan dengan rencana kerja kabinet Presiden Joko Widodo. Ia juga mengatakan program revolusi mental akan disertakan dalam program komunikasi publik
Adapun program komunikasi publik, di mana di dalamnya juga terdapat program Revolusi Mental, diusulkan ditambah Rp 130 miliar. “Program komunikasi publik ini akan dilakukan kementerian teknis Kemenkominfo, alokasi yang diharapkan Rp 130 miliar. Sehingga kami mengusulkan sebanyak Rp 149 miliar tersebut dalam APBN-P,” ucap Puan.
Saya terhenyak. Revolusi mental, tadinya saya pikir justru implikasinya antaralain penghematan anggaran. Itu yang menjadi jargon dalam kabinet Jokowi. Saya tadinya membayangkan, semua kementerian harus melakukan revolusi mental di jajaranya, bahkan dengan duit anggaran rutin yang lebih kecil dibanding pemerintahan sebelumnya.
Peningkatan anggaran adalah untuk pembangunan fisik atau fasilitas baru, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan semacam itu.
Jika semua kementerian secara konsisten menjalankan revolusi mental, dari pusat menular ke daerah, maka semua masyarakat akan merasakan revolusi mental itu. Dan terinspirasi. Walk the talk. Leaderships by example.
Ini persepsi saya. Dan saya mendukung sepenuhnya upaya seluruh kementerian melalukan revolusi mental. Upaya Jokowi mengajak jajaran birokrasi dari pusat sampai daerah melakukan revolusi mental. Masyarakat akan mengikuti.
Tanpa perlu iklan. Baliho.
Hari ini adalah Hari Peduli Sampah Nasional. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Sudirman Said melakukan kegiatan bersih-bersih di kantornya. Literally. Semangatnya bebersih dalams emua aspek pekerjaan kementerian, dimulai dari bebersih kantor. Itu kampanye revolusi mental. Tanpa perlu iklan. Tanpa baliho. Media memberitakan. Yang ditunggu konsistensi. Soalnya, sampah adalah problem besar, dan menjadi salah satu penyebab bencana banjir.
Tapi saya juga heran, kementerian ESDM atau instansi terkait sibuk mengkampanyekan pentingnya pelaksanaan UU Minerba, soal pentingnya melindungi kekayaan alam kita dan larangan ekspor mineral mental, tetapi di sisi lain kita baru gonjang-ganjing karena lagi-lagi Freport Indonesia mendapatkan dispensasi perpanjangan ekspor mineral mentah tanpa proses pemurnian di smelter. Kan bertentangan, antara promosi dengan kenyataan?
Ketika banjir merendam Jakarta termasuk Istana Negara dan Balai Kota, kita membaca bahwa pompa air di Balai Kota tidak bisa digunakan, dan saluran air mampet karena sumbatan sampah renovasi ruangan di sana Balai Kota. Ini informasinya: Inikah Penyebab Istana dan Kantor Ahok Kebanjiran? Merevolusi mental warga Jakarta agar peduli sampah dan kesiapan hadapi bencana, perlu contoh dari pemimpinnya.
Jadi, sejauh ini yang bisa kita baca di media adalah besaran penghematan dari ongkos rapat dan perjalanan dinas pejabat, lalu alokasi kampanye promosi untuk revolusi mental. Yang satu penghematan, yang satu berpotensi pemborosan. Saya katakan berpotensi karena mestinya itu bisa dilakukan bersamaan dalam anggaran masing-masing kementerian. Dan Walk The Talk itu tadi.
Saya belum tahu apakah rencana Presiden Jokowi pindah ke Istana Bogor, berkantor dan berkegiatan di sana, ada dampaknya terhadap anggaran rumah tangga Istana. Saya paham kalau Pak Jokowi lebih nyaman tinggal di Istana Bogor. Sebagai alumni Fakultas Kehutanan, tentu dia lebih nyaman bangun pagi bisa jalan menyusuri Kebun Raya Bogor yang nota bene bersisian dengan Istana. Sambil “ote-ote”, pakai kaus singlet. Tentu sulit dilakukan di Istana Negara karena komplek itu praktis sudah dikelilingi perkantoran pegawai Istana.
Lalu, menteri-menteri akan rapat di Bogor. Tersiar kabar akan disediakan kereta api khusus. Ratusan pegawai Istana tentu harus hijrah bertugas di Bogor. Diangkut kereta api khusus juga atau naik bis? Atau naik kendaraan pribadi? Kalau rapatnya jam 7 pagi mungkin ada menteri yang perlu menyewa kamar hotel di Bogor, untuk menginap, supaya keesokan harinya tidak telat.
Sudah adakah yang menghitung implikasi keputusan ini?
Di jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, memindahkan rapat kabinet ke Istana Bogor atau Istana lainnya jelas menimbulkan kenaikan ongkos. Ribet juga. Kemacetan yang ditimbulkan, buka tutup jalan, dan seterusnya.
Singkat kata, per Hari Minggu ini saya agak bingung dengan jargon revolusi mental dan implementasinya. Yang terbaca adalah kejadian esuk tempe, sore dele. Plin-plan.
Buat saya, kembali ke walk the talk dan prinsip jangan menyusahkan rakyat itu, maka revolusi mental bisa dilakukan misalnya:
1. Kunjungan presiden, wapres, pejabat tinggi ke daerah/lapangan tidak perlu mengerahkan pelajar untuk menyambut, berjejer di pinggir jalan. Kasihan mereka yang seharusnya belajar, berjam-jam harus berdiri di jalan sekedar untuk mendapat lambaian tangan. Kalau pemimpin ingin bertemu mereka, buatlah di tempat yang layak. Pendopo Kabupaten. Atau kunjungan ke sekolah. Kalau masyarakat mau menyambut pemimpinnya, silahkan. Tidak perlu dkerahkan. Masak senang sih dielu-elukan rakyat terpaksa?
2. Kalau sudah berkomitmen untuk hadir di sebuah acara, sebaiknya tepat waktu. Jangan mengubah-ubah waktu seenaknya. Di era presiden SBY saya beberapa mengalami, jadwal presiden untuk hadir di sebuah acara mendadak berubah. Tadinya acara di Yogyakarta, diubah ke Istana. Konsekuensinya? Hotel dan konsumsi untuk acara itu yang sudah disiapkan di Yogyakarta, mubazir. Harus dibayar, tapi tidak digunakan. Apalagi? Peserta acara yang sudah berdatangan dari seluruh Indonesia ke Yogyakarta, harus mencari pesawat terbang ke Jakarta. Merepotkan. Semoga Jokowi tidak melakukannya, termasuk saat mengundang kepala daerah ke Jakarta, lalu mengubah jadwal pertemuan. Itu pemborosan. Bertentangan dengan SK MenPAN/RB
3. Kecuali Presiden dan Wakil Presiden, biasakanlah antre dalam setiap peristiwa, termasuk menghadiri acara pernikahan. Jangan membuat penumpang pesawat menunggu, karena pejabat terlambat.
4. Anda bisa menambahkannya di sini.
Intinya, jangan menyusahkan rakyat. Itu revolusi mental. Memberikan contoh nyata adalah cara murah-meriah.
Saya sendiri merasa belum berhasil revolusi mental. Jam segini belum mandi. Untung saya bukan pejabat 😉
No Comment