Laga Anti Korupsi Ahok vs DPRD (Bagian 1)
Hak Angket yang dilakukan DPRD DKI Jakarta dan pelaporan Gubernur Ahok ke KPK atas dugaan penyelewengana APBD 2012-2015 akan jadi momentum bongkar praktik KKN di ibukota negeri.
UPS. Uninterruptable Power Supply. Kata yang dalam tiga hari terakhir menjadi buah bibir, berseliweran di pemberitaan media dan percakapan di media sosial. UPS, sebuah perangkat pasokan daya listrik bebas gangguan menarik perhatian karena pengungkapan kepada publik, melalui media, yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok membuka data penyelidikannya, bahwa 49 sekolah di wilayah Jakarta menerima UPS yang dibeli dengan anggaran “siluman”. Nilainya sekitar Rp 330 Miliar, dan ini masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.
Anggaran “siluman”? Menilik keterangan Ahok di media, yang dimaksudkan adalah anggaran yang muncul bukan dari usulan pihak eksekutif, dalam hal ini adalah dari kepala daerah. Istilah ini digunakan Ahok untuk merujuk kepada anggaran senilai Rp 12,1 Triliun pada APBD 2015. Menurut Ahok, bujet itu muncul dari pihak legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta, yang dia monitor via e-budgeting. “Akhirnya mereka (anggota DPRD) nekat kan, mereka nekat bikin (program) dan ketik sendiri program mereka dan ketahuan tuh (rencana beli) UPS dan lain sampai Rp 12,1 Triliun,” demikian Ahok, seperti dimuat laman Kompas.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budiman mengatakan pihaknya tidak pernah mengusulkan pembelian UPS untuk APBD 2015.
Ahok dipuji karena berhasil “menggagalkan” bujet Rp 12,1 Triliun yang menurut dia lebih baik digunakan untuk rehabilitasi sekolah. Tahapan penyusunan APBD 2015 antara tim eksekutif di bawah kepemimpinan Ahok dengan DPRD bisa dibaca di sini: Polemik APBD 2015: DPRD DKI Jakarta ancam pemakzulan Ahok.
Lika-liku itu termasuk ditolaknya APBD 2015 yang disampaikan Ahok ke Kementerian Dalam Negeri. Menurut DPRD, APBD 2015 yang disampaikan Ahok, bukan yang disepakati dalam rapat paripurna DPRD DKI.
Padahal menurut UU dan Peraturan Pemerintah, yang diserahkan ke Kemendagri haruslah yang disepakati di rapat paripurna, dan ditandatangani kedua belah pihak, DPRD dan Gubernur sebagai kepala eksekutif di tingkat daerah. “Pelaksana anggaran itu eksekutif. Jika eksekutif menemukan ada anggaran yang tidak sesuai prioritas sebagaimana ditetapkan KUA-PPAS, eksekutif bisa meminta pergeseran atau perubahan alokasi anggaran melalui mekanisme pembahasan APBD Perubahan. Itu biasa dan bisa dilakukan. Kuncinya di eksekutif kog,” kata Prof Dr. H.M. Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng. Saya menelepon Nurdin Minggu malam (1/3).
KUA, atau Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS yaitu Platform Penggunaan Anggaran Sementara, memuat rancangan prioritas program untuk setahun ke depan, dan bakal menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD. Misalnya, sebuah daerah memutuskan akan memprioritaskan program swasembada pangan. KUA-PPAS yang dibuat pihak eksekutif akan menyusun program apa saja yang harus dibuat, berapa alokasi bujet, proyeksi pendapatan, sumber dan penggunaan bujet. Semua mendukung program swasembada pangan itu. Kalau ada yang tidak sesuai prioritas ya dicoret. KUA-PPAS lantas diajukan ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan, karena DPRD memiliki Hak Budgeting selain Hak Angket dan Hak Interpelasi.
“Sesudah KUA-PPAS disetujui DPRD, itulah dasar komisi DPRD dan pejabat di eksekutif membahas RKA-SKPD. Hasilnya adalah Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, yang kemudian dibawa ke sidang paripurna,” kata Nurdin Abdullah. RKA adalah Rancangan Kerja dan Anggaran, sedangkan SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah. SKPD adalah pengguna anggaran. Kepala dinas dan eselon dua masuk di sini.
Proses penyusunan APBD ini diatur dalam PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Saya bertanya kepada Nurdin, karena rekam jejak yang bersangkutan mengembangkan Kabupaten Bantaeng. Bupati yang kini menjabat di periode kedua itu banyak diganjar penghargaan, yang bisa disimak di sini: Profil Bupati Bantaeng.
Nurdin mengatakan, pengalamannya di Bantaeng, anggota DPRD bahkan ikut mengawal proses penyusunan rencana program mulai dari musyawarah rencana pembangunan di level desa. “DPRD kan punya hak budgeting. Jadi, wajar saja kalau mereka berkepentingan dalam proses perencanaan sejak awal. Tapi eksekusi anggaran kan di eksekutif,” ujar Nurdin Abdullah. Di Bantaeng pihaknya menerbitkan peraturan daerah tentang transparansi anggaran.
Gubernur meneken APBD 2015?
Mengingat ada kewenangan penggunaan anggaran, termasuk menetapkan spesifikasi barang ada di eksekutif, memang menjadi pertanyaan mengapa Gubernur Ahok memilih curhat ke publik soal dugaan bujet “siluman” Rp 12,1 Triliun, padahal APBD itu sudah disepakati di rapat paripurna. Diteken pula oleh Gubernur. Kalau Ahok tidak setuju, dia bisa menolak anggaran itu saat pembahasan dengan DPRD.
Informasi persetujuan Guberur saya dapatkan dari linimasa Triwisaksana, wakil ketua DPRD DKI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Jumat (27/2) melalui akun Twitternya, Bang Sani, panggilan akrab Triwisaksana menjawab @elisa_jkt: “pembahasan RAPBD DPRD kan bareng dg TAPD/SKPD pemprov mbak? Saat paripurna bahkan Gub juga ttd persetujuan.”
Puncak dari kisruh APBD DKI Jakarta 2015 adalah Hak Angket (hak penyelidikan). Sebanyak 106 anggota DPRD DKI menyetujui menggunakan Hak Angket untuk menyelidikan kisruh APBD 2015. Pangkal tolaknya adalah tindakan Ahok mengirimkan APBD versi sendiri, bukan yang disepakati dalam rapat paripurna dengan DPRD, sebagaimana disyaratkan dalam UU dan PP.
Ahok membalas dengan membuka data anggaran “siluman” pengadaan UPS pada APBD 2014, dan rencana yang sama dari pihak DPRD di APBD 2015. Ahok juga melaporkan dugaan penyelewengan dalam APBD DKI dari 2012-2015 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saling balas antara Ahok dan DPRD bisa disimak di sini Paripurna DPRD DKI Jakarta setuju gunakan hak angket untuk Ahok.
Untuk APBD 2015 yang jadi pemicu kisruh, menurut saya yang perlu dilakukan kedua belah pihak, baik Ahok maupun DPRD adalah membuka kedua versi APBD itu. Versi yang disahkan di rapat paripurna pada Selasa (27/1/2015). Jumlahnya Rp 73,08 Triliun. Ahok mengatakan bahwa APBD 2015 yang dia serahkan ke Kemendagri disusun melalui sistem e-budgeting, dimaksudkan untuk transparansi dan menghindarkan dari penyelewengan, termasuk melalui modus “pokir” atau pokok pikiran yang biasanya muncul atas inisiatif DPRD.
Hari ini, melalui situs www.jakarta.go.id ini: RAPBD Pemprov dan DPRD DKI jakarta, kita bisa melihat RAPBD 2015 versi DPRD dan versi Pemprov DKI. Yang belum bisa dikonfirmasi adalah apakah yang versi pemprov DKI itu sama dengan yang diajukan Gubernur Ahok ke kemendagri. Membaca kedua versi, khusus di anggaran dinas pendidikan, saya tidak menemukan pengadaan UPS lagi. Mungkin ada diselipkan di anggaran untuk suku dinas? Ini yang perlu dibuka lebih terang oleh Ahok dan DPRD.
Soal e-budgeting sebagai model penyusunan APBD, Nurdin Abdullah setuju. Maksudnya untuk meningkatkan transparansi. “Sebenarnya mekanisme KUA-PPAS itu ya manfaatnya seperti e-budgeting. Ada acuan prioritas bagi eksekutif. Kalau DPRD dianggap menyelusupkan anggaran di luar KUA-PPAS, ya jangan dilaksanakan. Minta geser di APBD Perubahan. KUA-PPAS itu bisa menjadi kontrol, ” kata Nurdin. Menurut dia, penerapan e-budgeting perlu persiapan, dana, dan harus didukung setidaknya Peraturan Pemerintah.
Publik perlu kawal e-budgeting
Yang muncul kemudian adalah pertunjukan simpati dan fanatisme terhadap tokoh Ahok, melawan 106 politisi. Citra politisi memang sedang babak belur. Ahok, kebetulan sedang tidak menjadi anggota parpol tertentu setelah dia mengundurkan diri dari Partai Gerindra yang mengusung dia dan Jokowi dalam pilkada DKI 2012. Sebelum bergabung dengan Gerindra, Ahok pernah menjadi kader Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Indonesia Baru, lalu Partai Golkar.
Jika publik yang anti korupsi ingin membersihkan Jakarta dari perilaku “begal”, sebagaimana saya baca di pamflet yang bersliweran di dunia maya yang dilakukan pendukung Ahok, ini saatnya. Buat APBD 2015 seterang mungkin. Buka semua versi. Buka proses e-budgeting. Siapa yang berhak menginput data. Soalnya, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pekan ini terkait kisruh DPRD-Ahok, untuk ibukota DKI Jakarta e-budgeting adalah hal baru. Proses ini juga rawan disalahgunakan oleh pihak yang bisa menjadi operator penginput data. Habit lama sangat mungkin berkembang di medium berbeda.
Maka membuka proses e-budgeting yang secara real-time bisa diakses publik memungkinkan publik ikut mengawal. Proses ini kita alami saat pilpres, dengan inisiatif KawalPemilu.Org dan Janggal Pemilu. Ketika terjadi kisruh ijin rute bagi penerbangan, yang dipicu oleh tragedi jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501, saya juga menulis betapa Menteri Perhubungan perlu membuka proses iji rute sehingga bisa diikuti publik, yang notabene pelanggan maskapai penerbangan. Sehingga hak-hak publik dilindungi.
Menurut Gubernur Ahok hanya pejabat SKPD terpilih yang bisa mendapat password untuk memasukkan anggaran ke dalam e-budgeting, misalnya sekretaris daerah, kepala Bappeda, kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), dan perwakilan masing-masing SKPD (yang ditunjuk sebagai penanggung jawab).
“Sekarang (APBD) yang dikeluarkan versi DPRD itu tidak ada satu pun SKPD yang ngetik lho. Kalau dia (anggota DPRD) sekarang mengatakan (anggaran siluman) itu bukan urusan kami, nah itu namanya jahat kan. Mereka mau mainin anggaran, tetapi yang dituduh eksekutif,” kata dia, kepada media.
Dugaan korupsi Rp 12,1 Triliun
Jika benar ada “penyusupan” dana senilai Rp 12,1 Triliun dalam APBD 2015 versi e–budgeting, sebagaimana klaim Ahok, apakah bisa dikategorikan tindak pidana korupsi?
Menurut Undang-Undang No 31/1999 juncto UU No 20/2001, pengertian korupsi mencakup perbuatan: melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan negara/perekonomian negara (pasal 2), menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3), kelompok delik penyuapan (pasal 5,6 dan 11), kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8,9 dan 10), delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12), delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7) dan delik gratifikasi (pasal 12 B dan 12 C).
Jika saya tidak salah menafsirkan, dari pasal-pasal di atas bisa dikenakan jika tindak pidana korupsi sudah terjadi. Dalam kasus yang ditangani KPK selama ini, nampak bahwa kasus yang melalui operasi tangkap tangan atas pelaku tipikor termasuk gratifikasi dan penyuapan biasanya cepat diajukan ke proses pengadilan. Kasus lainnya banyak yang berbulan-bulan terpendam tak jelas nasibnya, meskipun sudah dilakukan ratusan pemeriksaan dan ada tersangka.
Jadi, saya termasuk yang bersemangat menanti, bagaimana tindakan KPK dengan jajaran pemimpin baru, menangani laporan Ahok. Membongkar korupsi di propinsi yang notabene ibukota negeri sampai ke akarnya, pasti menjadi barometer penanganan kasus serupa di tempat lain. Menjadi preseden mengurai borok dalam penyusunan APBD (dan sebenarnya APBN juga), ketika orang per orang di jajaran legislatif menitipkan proyek atau jenis barang dan jasa ke pihak eksekutif saat menyusun bujet.
“Jika anggaran belum dilaksanakan, bagaimana bisa dikatakan sebagai tindak pidana korupsi?,” tanya Bupati Nurdin Abdullah.
Saya menanyakan kepada Nurdin, bukankah praktik pihak politisi di legislatif bekerjasama dengan SKPD dan pejabat pembuat komitmen alias pimpinan proyek di eksekutif untuk ikut menentukan spesifikasi barang termasuk pemenang tender itu sudah menjadi rahasia umum? Bupati Nurdin menjawab,” kalau itu terjadi, ya kuncinya di SKPD. Kepala Dinas harus kontrol, karena dia pejabat pengguna anggaran. Kalau dia bersih, dia tolak yang tidak layak dan salahi aturan, termasuk dalam proses tender. Gubernur dan Bupati pun demikian. “
Status Facebook Iwan Qodar van Djokja bisa menjadi gambaran perilaku yang berjalan puluhan tahun itu: “Harga-harga UPS ini kisarannya hampir sama, selisihnya dibuat tak lebih dari Rp 10 juta. Bahkan ada yang cuma sejuta: Rp 5.822.608.000; Rp 5.833.448.500; Rp 5.832.750.000; Rp 5.831.408.000… Sulit untuk bilang ini tidak ada persekongkolan jahat untuk menggarong duit negara.” Iwan Qodar mengacu kepada data yang diungkap pihak Ahok, terkait dengan APBD 2014. Sekali lagi, APBD 2014. Dari sinilah muncul angka bujet “siluman” pengadaan UPS yang ditaksir bernilai total Rp 330 Miliar.
Teman saya Elisa Sutanudjaja (@elisa_jkt) menghabiskan akhir pekannya dengan meneliti angka-angka bujet APBD 2014 yang dimuat di Data LPSE: http://lpse.jakarta.go.id/eproc/lelang?q=Printer+3D&s=5 dan Data APBD 2014 yang diambil dari portal Data Indonesia: APBD DKI Jakarta berdasarkan Kegiatan. Saya mengutipkan hasil penelusurannya yang dia bagikan di status akun Facebooknya:
“Jika melihat harga UPS-UPS di SMAN dan SMKN, saya berasumsi bahwa pagu kegiatan pengadaan UPS itu sebesar @ Milyar di Dinas Pendidikan. Lalu saya kembali membuka APBD DKI 2014 dan sengaja mengelompokkan mata anggaran dengan pagu @ 6 Milyar. Ternyata saya menemukan 131 kegiatan dengan variasi berbagai, seperti berikut:
1. Pengadaan Colaboration Active Classroom (CAC) untuk SMAN
2. Pengadaan scanner dan printer 3D untuk SMAN 78
3. Pengadaan Global Future Learning untuk SMAN
4. Pengadaan Literatur Smart Teaching
5. Pengadaan Jasa Cleaning Service untuk SMA
6. Pengadaan alat I Posyton untuk SMA (apa coba itu alat ini??)
7. Pengadaan alat Digital Paging alarm untuk SMAN
8. Perbaikan Instalasi Listrik SMA
dll dll …Tapi tidak ada UPS-UPS untuk SMAN/SMKN.
Terlampir data yang terangkum, total anggaran utk seluruh kegiatan senilai @ 6 Milyar itu 786 Milyar. Jika kurang kerjaan seperti saya, bisa cross check ke situs LPSE”.
Status Elisa sebelumnya, yang dia tulis di hari yang sama, Sabtu (28/2), adalah:
“Seru melihat rupa-rupa pelaksanaan tender di DKI Jakarta via situs LPSE. Ada pengadaan scanner dan printer 3D di 25 SMAN/SMKN (@ 5.9 M dari pagu APBD 2014 @ 6 M) dengan nilai total pengadaan hampir 150M. Saya cek harga scanner & printer 3D di Amazon yaitu seharga $3429 atau mungkin dengan pajak bisalah capai 60 Jt per unit. Karenanya saya sungguh berharap agar di SMAN 78 (atau SMAN 96, SMAN 112, dll) bakalan kita temui setidaknya 100 (SERATUS) scanner-printer 3D di tiap2 sekolah. Semoga.”
Tautan ini adalah data-data yang menjadi dasar dua status Facebook Elisa: https://drive.google.com/…/0B2kzveVlRAW-ZWxMbHdCOGJie…/view….
Saya berharap media menindaklanjuti telisik Elisa, ke sekolah dimaksud. Sebagian sudah dilakukan.
Dalam proses pemilihan presiden 2014, Elisa ikut menginisiasi “Janggal Pemilu”, sebuah inisiatif urun-daya (crowd sourcing) untuk mengamati proses rekapitulasi penghitungan suara. Inisiatif ini berjalan bersama dengan KawalPemilu.Org dan berhasil mengamankan rekap suara pemilu dari intervensi pihak yang tidak berhak. Dia saya kenal sebagai sosok yang pro transparansi data publik, dan tentu saja korupsi.
Usulan Elisa mengenai transparansi anggaran b isa dibaca di sini: Cukup Sudah: Transparansi Anggaran sebagai Jawaban.
Merujuk definisi tindak pidana korupsi di atas, maka yang paling mungkin terjadi dugaan korupsi adalah pada pelaksanaan APBD 2014. Di dalamnya, termasuk pengadaan UPS yang memicu olok-olok luar biasa terhadap DPRD dan pujian selangit bagi Ahok.
Pengakuan Larso Marbun
Elisa yang menghabiskan waktu berjam-jam menelisik data APBD 2014 yang dipublikasi, tidak menemukan penganggaran dan belanja untuk UPS. Mengapa?
Jawabannya datang dari Larso Marbun. Menurut Larso, anggaran pengadaan UPS itu tidak ada dalam pembahasan APBD 2014. Anggaran itu masuk saat penyusunan APBD Perubahan DKI Jakarta 2014. “Anggaran itu terpisah. Adanya di sudin-sudin,” Kata Larso, yang sejak awal 2015 menjadi kepala inspektorat DKI Jakarta.
Sebelumnya, antara periode Februari 2014-Desember 2014, Larso menjabat kepala dinas pendidikan DKI Jakarta. .
Di tengah jalan, ada drama. Agustus 2014 Larso Marbun ingin mundur dari jabatan kepala dinas pendidikan. Dia beralasan tugasnya sudah selesai, yaitu memperbarui tatanan organisasi dinas pendidikan, sebagaimana yang dia sampaikan di sini: Lasro Marbun Blakblakan Soal Keinginan Mundur.
Wagub Ahok saat itu mengatakan Larso stress atas tekanan pekerjaan dan birokrasi di dinas yang dipimpinnya. Jokowi meminta Larso meneruskan tugas di dinas pendidikan. Ahok yang dilantik sebagai gubernur pada November 2014, memberikan posisi baru ke Larso awal Januari 2015.
Ketika kisruh antara Gubernur Ahok dan DPRD memuncak, Larso Marbun membenarkan adanya pengadaan senilai kurang lebih Rp 330 miliar tersebut. Ia mengaku kecolongan pengadaan barang bernilai kontrak Rp 5,8 miliar per unit tersebut bisa lolos.
“Saya sudah dikasih tahu Pak Gubernur (tentang data tersebut). Saya waktu itu kaget anggaran itu bisa masuk. Padahal pas pembahasan tidak ada,” kata Lasro saat dihubungi wartawan, Jumat (27/2/2015).
Mengacu kepada peran SKPD sebagai pejabat pengguna anggaran, maka agak sulit bagi saya memahami bagaimana duit Rp 330 Miliar untuk membeli 49 UPS itu bisa dibelanjakan tanpa sepengetahuan Larso Marbun sebagai kepala dinas pendidikan. Lagi-lagi, karena saya melihat sekuens waktu. Larso mengatakan duit itu ada di APBD Perubahan 2014, yang disahkan 13 Agustus 2014. Saat itu dia menjabat Kepala Dinas Pendidikan. Artinya Larso gagal mengawasi penggunaan anggaran di instansi yang dipimpinnya.
Padahal di mata bosnya, terutama Ahok, Larso dipuji. Saat pelantikan Larso Marbun sebagai kepala dinas pendidikan, Februari 2014, Wagub Ahok memuji prestasi Larso Marbun yang baru menjabat kepala dinas (kadis) pendidikan di wilayah kerjanya sebagai orang yang jago manajemen organisasi tata laksana (ortala).
“Pak Gubernur merasa ada sesuatu yang dia bisa dobrak. Dia kan jago di organisasi dan tata laksana (ortala), jago menyusun orang. Dia yang memotong semua posisi-posisi dan melakukan penggabungan pembelian satu pintu,” kata ujarnya, sebagaimana dikutip laman www.antaranews.com (13/2/2014).
April 2014, Larso mengungkap adanya penganggaran ganda di Dinas Pendidikan yang berpotensi merugikan negara Rp 700 Miliar, sebagaimana di tautan ini: Anggaran Disdik ‘diutak-atik’, Rp700 M nyaris menguap. Saat itu, Wagub Ahok yang dilapori Larso menganggap temuan ini tak perlu dilaporkan ke KPK. Alasannya, belum terjadi kerugian. “”Persoalannya kan kalau tidak dikembalikan saja. Peluang melebihkan ini wajar, bukan pelanggaran,” ujarnya, sebagaimana disebut dalam berita ini: Ahok nilai mark up di Disdik wajar.
Senin pekan ini, Larso Marbun berjanji akan buka-bukaan soal kisruh pengadaan UPS Rp 330 Miliar. Kita menunggu siapa yang bakal disebut Larso sebagai pihak-pihak yang bertanggungjawab, dan berpotensi melakukan korupsi. Merugikan negara. Dari pihak DPRD? Pihak eksekutif Pemprov DKI Jakarta? Jajaran Dinas Pendidikan yang pernah dipimpinnya?
APBD Perubahan DKI 2014 disahkan rapat paripurna DPRD DKI pada 13 Agustus 2014 oleh anggota DPRD periode 2009-2014. Anggota DPRD yang kini berseteru dengan Gubernur Ahok dilantik pada 25 Agustus 2014, sesudah pengesahan APBD-P 2014. . Menurut data Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, 70 persen dari anggota DPRD periode sebelumnya gagal mempertahankan kursinya di DPRD periode 2014-2019.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta, Matnoor Tindoan mengatakan, APBD-P 2014 didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) pada tujuh BUMD DKI sebesar Rp 9,308 triliun. Tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa APBD-P 2014 juga mengalokasikan duit membeli 49 UPS seharga Rp 330 Miliar.
M Taufik, Ketua Fraksi Partai Gerindra yang juga wakil ketua DPRD DKI baru menjabat di periode 2014-2019. Dia yang paling vokal berseteru dengan Gubernur Ahok dan menjadi yang pertama meneken Hak Angket untuk menyelidiki Gubernur. Ini kisahnya: Lagi-lagi, Taufik Jadi Anggota DPRD Pertama Tanda Tangani Hak Angket.
Pimpinan DPRD lainnya, Abraham Lunggana yang dikenal sebagai Haji Lulung, wakil ketua DPRD dari Partai Persatuan Pembangunan, menjabat posisi yang sama di DPRD 2009-2014, ketika APBD 2014 dan APBD Perubahan 2014 yang memuat pembelanjaan UPS senilai Rp 330 Miliar itu disahkan dan dijalankan oleh Pemrov DKI Jakarta. Haji Lulung dikenal sering mengkritisi Ahok.
- Taufik pernah tersangkut kasus hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2006), memvonis penjara M. Taufik, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, satu tahun enam bulan karena terbukti korupsi. M. Taufik terbukti merugikan negara sebesar Rp 488 juta saat pengadaan barang dan alat peraga Pemilihan Umum 2004. Ini informasinya: Mantan Ketua KPU DKI Divonis 18 Bulan.
Dari informasi di tautan ini: APBD-P DKI 2014 Disahkan Rp 72,905 Triliun, kita bisa melihat proses pengesahan APBD-P 2014 berjalan lumayan lancar.
Di situ ketua badan anggaran Matnoor, mengatakan APBD-P 2014 meningkat dari nilai Raperda APBD-P DKI 2014 sebesar Rp 72,9 Triliun. Peningkatannya sebesar Rp 905,36 miliar atau 1,26 persen dari nilai APBD DKI 2014 senilai Rp 72 Triliun. Sedangkan rendahnya penyerapan anggaran hingga pertengan semester 2014 perlu menjadi perhatian khusus Pemprov DKI.
Matnoor Tindoan yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan berharap Pemprov DKI dapat menggenjot kinerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) barang dan Jasa DKI, serta membantu mengakomodir penyerapan anggaran.
“Permintaan tambahan anggaran KJP perlu dievaluasi kembali, mengingat temuan BPK pada APBD 2013 dimana KJP merupakan salah satu item yang perlu mendapat perhatiaan utama dan perbaikkan,” ungkapnya. KJP adalah Kartu Jakarta Pintar.
Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, berterimakasih kepada DPRD DKI yang telah mengesahkan APBD-P 2014. Jokowi berharap, program-program unggulan Pemprov DKI dapat segera terlaksana.
“Terimakasih dan apresiasi atas ketelitian substansi materi APBD 2014 dan persetujuan dewan. Semoga Pemprov DKI bisa menyelesikan program unggulan,” kata Jokowi.
Mantan Walikota Solo tersebut juga mengapresiasi saran dari DPRD DKI, sehingga menjadi bahan masukan yang berharga, agar APBD-P DKI dapat terserap secara maksimal.
“Dewan juga akan melakukan pengawasan terus menerus terkait penyerapan anggaran. Saran dari dewan akan menjadi masukan bagi eksekutif,” kata Jokowi.
Aman dan damai bukan?
Bahkan Jokowi mengapresiasi ketelitian substansi materi. Bagaimana mungkin ada “penyelundupan” anggaran beli UPS Rp 330 Miliar baru diungkap saat ini? Di situ saya masih merasa gagal paham.
Pihak yang berpikir dengan kepala dingin memandang kisruh DPRD vs Gubernur akibat problem komunikasi. Salah satunya adalah Presiden Jokowi. Dia, yang dilapori Ahok soal kisruh ini menganggap ketegangan antara Gubernur DKI dan DPRD tidak perlu terjadi seandainya ada kesamaan pemahaman tentang prioritas anggaran.
Komunikasi yang baik menurut saya bisa dilakukan tanpa mengenyampingkan upaya memberantas potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi antaralain dari penggelembungan anggaran atau mark up, termasuk mengalokasikan anggaran untuk program yang tidak perlu. Bagaimanapun, hak dan kewajiban menyusun anggaran ada pada dua pihak, eksekutif dan legislatif. Mereka harus mau dan mampu duduk bersama membahas perbedaan yang ada dan mengacu kepada UU dan peraturan yang ada.
Komunikasi yang bermasalah, misalnya, membuat keterlambatan pembayaran gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil DKI Jakarta termasuk honorer. Padahal, menurut UU, jika RAPBD belum disepakati sesuai jadwal, kepala daerah dapat membelanjakan anggaran rutin yang jumlahnya sesuai dengan APBD sebelumnya. Itu diatur dalam Permendagri No 13/2006. Aturan ini memungkinkan pemerintah daerah tetap bisa menjalankan fungsinya karena tetap digaji, begitupula dengan kelangsungan pelayanan publik termasuk pendidikan.
Sekarang, masalahnya sudah menjadi lebih rumit. Ahok sudah melaporkan DPRD ke KPK. Kita dukung, sebagai momentum bebersih di lingkungan politik ibukota. DPRD menjalankan Hak Angket, menyelidiki bagaimana persisnya APBD 2015 yang dikirim ke Kemendagri, apakah benar mengandung bujet “siluman” Rp 12,1 Triliun sebagaimana disampaikan Ahok? Sebagai warga yang memiliki aset properti di Jakarta saya berkepentingan untuk tahu secara tuntas.
Di ranah media sosial, nuansanya sudah seperti saat kampanye pilpres. Pihak yang meminta Ahok lebih transparan dan mengkritisi dianggap anti korupsi, anti China, diskriminatif. Ya, Ahok dianggap sebagai salah satu tokoh yang diunggulkan untuk Pilpres 2019. Karena itu, simpati dan fanatisme untuk menjaga dan membela Ahok jelas nuansanya di kalangan masyarakat media sosial.
Padahal, bicara anti korupsi semua harus diuji. Sejarah menunjukkan sosok yang digadang-gadang dan berkampanye anti korupsi ternyata melemahkan lembaga anti korupsi dan iklim pemberantasan korupsi. Dari dulu. Elisa Sutanudjaja yang mencoba mengulik lebih dalam merasakan nuansa itu. Padahal, sama dengan Ahok, dia adalah warga negara Indonesia keturunan juga.
Sejarahwan @JJRizal yang mengkritisi Ahok sampai harus menjelaskan bahwa dia, di komunitas Bambu, menerbitkan sejumlah buku terkait China. Di linimasa akun Twitter-nya @JJRizal menulis, “ngeritik ahok = anti cina, anti kristen, anti pluralisme, terima bayaran dprd…kerennn #Save Ahok ini”
Apakah Hak Angket akan berujung pemakzulan Ahok dari kursi gubernur? Menurut saya tidak. Selain prosesnya cukup panjang, Ahok sebenarnya masih didukung oleh sebagian pemimpin parpol utama termasuk Ketua Umum Megawati Sukarnoputri. Jokowi tentu tidak akan membiarkan Ahok dimakzulkan. Sebagai presiden, Jokowi punya kartu dan posisi untuk bernegosiasi soal ini dengan parpol yang ada. Jadi, Ahok tidak sendiri.
Kedua proses yang dilakukan pihak kepala eksekutif dan legislatif secara simultan menurut saya selain baik sebagai upaya bebersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, juga baik untuk pembelajaran bagaimana menjalankan fungsi masing-masing sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, seperti lirik lagu Iwan Fals, “kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan”. Bongkar!!! ###
No Comment