Jurnalis Perempuan Indonesia: Bekerja Dua Kali Lebih Keras
Laporan dari Sarasehan Forum Jurnalis Perempuan Dewan Pers
September 2012
Oleh Juni Soehardjo
Sarasehan Forum Jurnalis Perempuan diadakan oleh Dewan Pers untuk memberikan forum bagi para jurnalis perempuan yang selama ini sudah diakui keberadaannya tetapi masih tetap perlu diperhatikan kesejahteraannya. Dalam berbagai kunjungannya ke daerah, para anggota Dewan Pers menemukan banyak permintaan agar jurnalis perempuan dapat difasilitasikan karena masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh mereka.
Menanggapi permintaan tersebut maka Dewan Pers membuat sarasehan yang berjudul Sarasehan Forum Jurnalis Perempuan dengan mengundang jurnalis perempuan yang dianggap bisa mewakili kaum wanita di bidang profesi ini. Para narasumber yang diundang tersebut mewakili perusahaan pers yang sudah mapan seperti Yuli Ismartono, Ninuk Mardiana Pambudi masing-masing dari Majalah Tempo dan Harian Kompas. Sementara Insyani Sabarwati (Ambon), Sania (Aceh), Khairiah Lubis (Medan), dan Angela Flasy (Papua) berasal dari daerah-daerah yang merupakan “hot-spot” di dalam percaturan pemberitaan di Indonesia. Khairiah kini ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang didirikan sejumlah jurnalis perempuan di Medan.
Uni Lubis selaku satu-satunya anggota perempuan di Dewan Pers periode 2010-2013 membuka sarasehan yang dihadiri oleh para pekerja pers dari berbagai media pada hari Senin, 17 September 2012. Di dalam pembukaannya Uni Lubis menyatakan bahwa penyelenggaraan forum seperti ini berawal dari ide Bagir Manan, Ketua Dewan Pers. Selama 2 tahun terakhir, banyak sekali permintaan dari para jurnalis perempuan unuk mendapatkan pelatihan khusus. Masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis biasanya berkaitan dengan masalah yang bersifat susila yang disebabkan oleh ketidak-sensitifan gender dan berikutnya adalah terjadinya pelanggaraan kode etik jurnalistik. Kedua masalah tersebut dipraktekkan oleh perusahaan pers ataupun koleganya oleh karena berbagai alasan.
Saat ini ada kurang lebih 30,000 wartawan di Indonesia. Sementara pelatihan peliputan sesuai Kode Etik belum mampu menjangkau keseluruhan wartawan di Indonesia. Setidaknya jumlah jurnalis perempuan hampir mencapai setengahnya. Pada perjalanan karier mereka, banyak jurnalis perempuan yang berhenti di tengah jalan karena berbagai alasan. Akan tetapi faktanya adalah kaum perempuan mampu menembus berbagai tes kemampuan dan tes masuk sebagai wartawan yang berarti mereka memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dengan rekan-rekan prianya.
Salah satu yang perlu diperhatikan saat membahas kaum perempuan sebagai jurnalis adalah tingkat dan standar kesejahteraan mereka sebagai karyawan. Pada APEC CEO Summit 2013 di Vladivostok, Rusia, yang diselenggarakan pada awal September lalu, sudah disusun bahan rekomendasi standar kerja untuk perempuan yang berkaitan dengan fleksibilitas tugas-tugas, fasilitas untuk anak dan lain-lain. Rekomendasi tersebut menunjukkan perubahan paradigma lama yang merujuk kepada kewajiban bekerja di kantor. Dengan posisi perempuan yang merupakan tiang keluarga serta profesi jurnalis yang tidak kenal waktu, maka fleksibilitas waktu di tempat kerja merupakan suatu terobosan besar.
Yuli Ismartono menyatakan bahwa status perempuan di perusahaannya mencerminkan kesetaraan. Ia mengakui memang banyak fasilitas yang harus diperjuangkan tetapi sejak awal perusahaannya memang memperlakukan karyawannya dengan cukup adil. Namun demikian ia tidak menutup mata terhadap apa yang terjadi pada jurnalis perempuan di perusahaan lain yang biasanya dinomor-duakan, dan tidak mendapatkan fasilitas pendukung pekerjaan.
Yuli menyatakan bahwa dengan kemajuan teknologi, maka jurnalis perempuan dapat menggunakan teknologi sebagai dukungan dalam bekerja. Jurnalis dapat bekerja secara remote. Yuli menceritakan bahwa penugasannya ke daerah-daerah konflik seperti Irak, Lebanon, Vietnam, dan Sri Lanka lebih kepada alasan praktis karena saat itu ia sedang berada di luar negeri dan mudah mencapai tempat-tempat tersebut. Ia mengakui bahwa sebagai perempuan, ia baru dapat bekerja dengan cukup leluasa setelah anak-anaknya sudah besar, dan dapat ditingggalkan kepada suaminya atau keluarganya.
Dukungan keluarga, yakni dari suami maupun orang tua, juga diakui oleh Ninuk Mardiana Pambudi dari Kelompok Kompas . ia menyatakan institusi tempatnya bekerja tidak membedakan laki-laki ataupun perempuan dalam memberlakukan penugasan maupun promosi. Ia menambahkan bahwa ia membuat beberapa kesalahan dalam menanggapi respon negatif dari rekan-rekan sekerjanya, akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, kedua belah pihak mengambil hikmahnya dan belajar menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada di antara kaum perempuan dan pria. Ninuk menyatakan bahwa ia dalam mempelajari kesalahannya lantas memfokuskan diri kemampuannya, sehingga berprestasi di bidang tersebut. Pesannya kepada para jurnalis perempuan adalah wartawan bekerja tidak mengenal waktu, oleh sebab itu wanita harus bekerja dua kali lebih keras untuk dapat membuktikan dirinya sendiri.
Insyani Sabarwati sudah terdidik dalam meliput berita konflik di daerah seperti Ambon tempatnya berkarya. Ia menyebutkan kemampuan fisik maupun intelektual merupakan persyaratan utama dalam bekerja di bidang jurnalistik. Saat ini hanya terdapat lima orang perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis. Di wilayah Ambon, konflik yang terjadi sudah merambah ke ranah agama, sosial dan politik selama 13 tahun terakhir ini. Di dalam penugasannya sebagai jurnalis lembaga penyiaran, Insani selalu memperhitungkan keamanan (safety) serta kemampuan (ability) saat sedang berada di daerah konflik. Namun ia menemukan bahwa jurnalis perempuan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tugas sehingga banyak yang mengundurkan diri. Stigma yang melekat kepada jurnalis perempuan di daerah – khususnya daerah Ambon – adalah bahwa mereka tidak terpantau dengan baik.
Saat ini kurang lebih terdapat 1000 orang jurnalis di Ambon, akan tetapi tidak ada metoda untuk memantau jurnalis, khususnya jurnalis perempuan, di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Saat ini marak berkembang isyu jurnalis perempuan yang diperlakukan sebagai komoditi kepada pejabat setempat saat mereka berugas ke daerah di Ambon. Ia menemukan bahwa jurnalis perempuan perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari para pengambil keputusan di perusahan pers, mereka juga perlu mendapatkan training atau pelatihan jurnalistik selain itu perlu mendapatkan pengetahuan tentang pengamanan secara fisik. Poin berikutnya adalah agar jurnalis perempuan bersedia menjadi saksi saat terjadi pelecehan fisik pada waktu melakukan tugasnya.
Di perusahaan pers sendiri, susunan pelatihan bagi jurnalis perempuan sudah masuk ke dalam budget tahun sebelumnya. Insyani menyebutkan bahwa pelatihan jurnalis seharusnya memperhatikan komposisi gender dan ia sudah memohon kepada perusahaan untuk memperhatikan masalah ini. Pada kenyataannya, perusahaan tetap mengirim jurnalis pria dalam jumlah yang lebih besar daripada jurnalis perempuan.
Pengalaman Sania ketua FJPAceh dimulai dari saat ia berhenti menjadi TKW di Malaysia. Sesudah bekerja beberapa lama di Negeri Jiran tersebut, ia memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di STIKM Medan untuk mencapai cita-citanya bekerja sebagai seorang jurnalis. Untuk membiayai kuliahnya, ia menjual koran lokal yang mempersyaratkan agar calon jurnalis menjual koran dalam kuota tertentu. Saat ia sudah berhasil memenuhi syarat, Sania tetap menemukan beberapa kesulitan dalam pelaksanaan tugasnya. Kesulitan tersebut antara lain adalah ia tidak bisa menjadi karyawan tetap perusahaan karena usianya sudah melebihi usia maksimal pengangkatan karyawan tetap.
Kesulitan lainnya adalah Sania hanya mendapatkan tugas meliput berita seremonial pada awal karirnya. Jurnalis perempuan di Aceh hanya bertugas menjadi pembaca berita dan tugas ringan lainnya. Menulis berita bukanlah bagian dari penugasan jurnalis perempuan. Selain itu ia mendapatkan ancaman verbal dari pimpinan perusahaan saat ia bersikeras untuk menulis artikel. Ia tidak dibenarkan untuk menulis lagi karena politik internal perusahan.
Sania meminta Dewan Pers untuk memantau praktek-praktek seperti itu di perusahaan media dan memberikan dorongan kuat untuk jurnalis perempuan untuk melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya Sania membentuk Forum Jurnalis Perempuan dan mulai menyusun program pemberdayaan perempuan melalui forum tersebut. Program FJP Aceh antara lain mengadakan workshop Peran Jurnalis Perempuan, diskusi untuk membahas yayasan dan problematika. Selain itu mereka berperan aktif dalam komunitas dengan mengadakan berbagai kegiatan sosial seperti pemberian paket lebaran, pemberian bantuan sosial kepada penyandang cacat serta sosialisasi toilet bersih.
Pengalaman dari Khairiah Lubis yang merupakan Ketua FJP Medan lain lagi. FPJ Medan menekankan human interest di dalam program kerjanya. Ia juga menekankan kepada pentingnya pendidikan bagi jurnalis perempuan. Di Medan ada sekitar 100 orang jurnalis perempuan yang saat ini aktif dan 61 orang di antaranya adalah anggota FPJ. Menurut catatan, sekitar 100 tahun yang lalu Medan sudah memiliki harian “Perempuan Bergerak” sehingga hal ini membuat Medan memiliki peran besar dalam sejarah jurnalistik perempuan di Indonesia.
Namun demikian, saat ini di Medan, jurnalis perempuan tetap mengalami kesulitan yang sama dengan jurnalis perempuan di daerah lain. Mereka juga mengalami diskriminasi dalam hal penugasan serta dalam hal pengembangan dan promosi karier. Rata-rata jurnalis perempuan hanya ditugaskan untuk meliput masalah domestik. Ada catatan penting tentang diskriminasi terhadap jurnalis perempuan di Medan yakni pelaku pelecehan kepada mereka rata-rata adalah aparat pemerintah. Secara tegas Khairiah Lubis meminta agar jurnalis perempuan mendapatkan pelatihan jurnalistik dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja dengan pemberian fasilitas biaya melahirkan dan biaya kesehatan. Saat ini jurnalis perempuan diperhitungkan sebagai wanita lajang sehingga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan, asuransi dan lain-lain.
Pembicara dari daerah yang tekenal akan konflik lainnya adalah Papua adalah Pemimpin Redaksi Suara Papua sebuah tabloid perempuan yakni Angela Flashy. Ia menyebutkan minimnya fasilitas dalam bekerja dan dalam dukungan kerja bagi para jurnalis perempuan di Papua. Apalagi dalam hal pendidikan dan pelatihan bagi para jurnalis perempuan yang ternyata sangat minim diberikan kepada mereka oleh para pimpinan perusahaan Media tempat mereka bekerja.
Yang menonjol dari kegiatan peliputan di Papua adalah stigma keamanan yang ditempelkan kepada provinsi tersebut. Pemberitaan media setempat maupun nasional selalu memberikan pandangan atau sudut dari aparat pemerintah, dan jarang sekali mengambil versi saksi mata. Semua versi pemberitaan selalu dikeluarkan oleh pejabat pemerintah seperti Kapolda. Jurnalis perempuan Papua, seperti juga jurnalis prianya pada umumnya, selalu rentan mendapatkan stigma separatis oleh aparat Pemerintah apabila mereka menuliskan masalah kemanusiaan dan kepentingan publik.
Di luar itu semua, secara fisik para jurnalis perempuan juga mengalami kesulitan karena kerasnya medan penugasan di Papua yang masih kekurangan infrastruktur transportasi. Angela mengaku karena kerasnya medan penugasan ini maka ia mampu mengemudikan berbagai sistem transportasi dari sepeda motor hingga traktor besar. Penugasan tidak pernah mempertimbangkan masalah gender karena para pimpinan media bersedia mengirimkan perempuan ke tempat yang jauh dan sulit dicapai. Seperti pembicara lainnya, Angela juga menekankan pentingnya dukungan keluarga terhadap dirinya.
Sarasehan ini juga mendapatkan masukan dari draft standar layak kerja jurnalis perempuan yang diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. Draft standar layak kerja jurnalis perempuan tersebut termasuk dalam hal perlindungan bagi jurnalis perempuan, yang mencakup perlindungan dari perlakuan diskriminatif, serta kekerasan seksual. Standar layak kerja lainnya adalah untuk pemenuhan hak atas reproduksi wanita yang memberikan cuti haid serta cuti melahirkan sesuai peraturan perundangan. Standar layak ini juga menekankan pada pentingnya fasilitas bagi jurnalis perempuan dengan pemberian makanan dan minuman bergizi, keamanan dan perlindungan, transportasi, ruang menyusui serta jaminan kesehatan dan kesejahteraan.
Sarasehan ini diramaikan dengan tanya jawab yang berkisar di seputaran pengalaman para senior dan jurnalis perempuan di daerah rentan konflik. Para peserta juga mengutarakan harapan agar Dewan Pers dapat menyelenggarakan forum sejenis pada masa mendatang. Uni Lubis menyampaikan bahwa masukan dari sarasehan jurnalis perempuan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh Dewan Pers akan menjadi rujukan kegiatan berikutnya, terutama meminta perusahaan media memberikan peluang lebih besar bagi jurnalis perempuan mengikuti pendidikan dan pelatihan jurnalistik, maupun mendapatkan kelonggaran dalam melakukan tugasnya pada kondisi tertentu, misalnya saat kehamilan yang bermasalah, atau penugasan di daerah berbahaya.
“Sarasehan ini tidak dimaksudkan untuk meminta fasilitas berlebih, apalagi memanjakan jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan memang memiliki perbedaan secara fisik dan kodrat disbanding jurnalis pria. Tantangannya adalah menutupi perbedaan itu dengan kelebihan jurnalis perempuan, misalnya soal ketelitian, ketekunan, kemampuan riset dan mendapatkan sudut pandang pemberitaan yang lebih berpihak pada isu kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan,” tutur Uni Lubis.##
No Comment