HomeUncategorizedAgung, Agus, Ade dan Aburizal di Pucuk Konflik Beringin

Agung, Agus, Ade dan Aburizal di Pucuk Konflik Beringin

By @IwanQH

image.php

ADA empat orang yang di masa lalu adalah kawan dekat, namun kini mereka adalah sosok yang berseberangan, dan sangat mewarnai konflik yang terjadi di Partai Golkar. Mereka itu, secara kebetulan, bisa disingkat menjadi 4A: Aburizal-Ade-Agus-Akom.

Aburizal Bakrie adalah pengusaha, juga ketua umum Partai Golkar versi musyawarah nasional di Pekanbaru dan Bali. Ia menempatkan Ade Komarudin, salah satu loyalisnya, sebagai ketua Fraksi Golkar di DPR.

Adapun Agung Laksono adalah ketua umum Golkar versi musyawarah nasional di Ancol, Jakarta. Kepengurusan Agung disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Yasona  Laoly, kader PDIP, sebagai pengurus yang sah. Agus Gumiwang Kartasasmita, yang oleh Agung Laksono diangkat sebagai wakil ketua umum, ditunjuk Agung menjadi ketua fraksi, menggantikan Akom.

Aburizal Bakrie, 69 tahun, hanya berselisih tiga tahun dengan Agung Laksono, 66 tahun. Keduanya sama-sama kelahiran Jakarta. Aburizal lulusan Institut Teknologi Bandung, adapun Agung adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Agung dan Aburizal semula adalah dua sahabat dekat. Keakraban keduanya bisa dilihat dari berdirinya PT Cakrawala Andalas Televisi, lembaga penyiaran swasta yang memiliki nama populer ‘’antv’’. Agung menjadi direktur utama pada 1993-1998. Kedekatan Agung dengan Harmoko membuatnya sukses meraih izin stasiun televisi dari Harmoko, yang ketika itu menjadi menteri penerangan.

Aburizal, ketika itu masih terlibat aktif di Kelompok Usaha Bakrie, adalah investor stasiun televisi yang ketika itu bermarkas di Gedung Sentra Mulia, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Secara politik Aburizal kurang disukai Presiden Soeharto. Dalam pemilihan Ketua Umum KADIN, Aburizal maju melawan Sotion Ardjanggi, calon yang dikehendaki pemerintah.

Baik Aburizal maupun Agung Laksono sama-sama pernah menjadi aktivis Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, juga Kamar Dagang dan Industri. Pendek kata, mereka berdua adalah kawan seiring sejalan, di dunia bisnis dan politik.

Pada tahun 2004, dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali, Agung Laksono berada di kubu yang sama dengan Aburizal Bakrie. Mereka, bersama Surya Paloh, menyokong Jusuf Kalla, yang ketika itu baru saja diangkat menjadi wakil presiden, untuk menggusur Akbar Tandjung.

Bagi para wartawan yang biasa meliput peristiwa politik partai beringin, sikap Agung Laksono ketika itu membikin kaget. Pada akhir 2004 itu ia baru tiga bulan menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Tampilnya Agung sebagai ketua tak lepas dari dukungan Akbar Tandjung, yang rajin melobi partai-partai politik, terutama yang berwarna Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera.

Agung memang piawai melobi Akbar, sehingga Golkar mencalonkannya menjadi ketua DPR. Paket Agung disebut Koalisi Kebangsaan. Ia bersama Soetardjo Soeryogoeritno (F-PDIP), Muhaimin Iskandar (FPKB), dan Zaenal Maarif (F-Partai Bintang Reformasi), mengalahkan paket Koalisi Keumatan. Paket yang didukung Koalisi Keumatan adalah calon Ketua DPR Endin J. Soefihara (F-PPP), wakil ketua EE Mangindaan (F-Partai Demokrat), Ali Maskur Musa (F-PKB) dan A. Farhan Hamid (F-PAN).

Dalam pemilihan yang berlangsung melalui jalan voting ini, kemenangan paket Agung menang tipis atas Endin. Paket Agung mendapat 280 suara, paket Endin 257 suara, 4 abstain dan tidak sah 6 suara. Padahal, bila partai koalisi pendukung solid, Endin yang bakal jadi pemenang. Dari 574 suara, koalisi kebangsaan hanya memiliki 263 suara, sedangkan koalisi keumatan bakal mengumpulkan 284 suara.

Kemenangan Agung tak lepas dari kepiawaian lobi Akbar Tandjung. Pemilihan itu berlangsung pada 2 Oktober 2004. Tentu, ketika itu Akbar berharap Agung bakal mendukungnya dalam musyawarah nasional Partai Golkar, di Bali, dua bulan kemudian. Nyatanya, Agung, setelah menjadi ketua DPR, memilih maju sendiri. Ia bahkan kemudian bersekutu dengan Jusuf Kalla untuk mengalahkan Akbar Tandjung.

Bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, pernah berkata: Amerika tak pernah punya teman yang langgeng. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Sejatinya rumus itu tak hanya berlaku di Amerika, di partai politik Indonesia, terutama di Golkar, rumus itu berlaku dengan banyak bukti.

Pada awal 1998, menjelang pemilihan  presiden, Ketua Umum Golkar Harmoko, Presiden Soeharto mengatakan dia sudah ‘’TOPP—tua, ompong, peot, dan pikun’’ untuk dicalonkan kembali sebagai presiden. Entah ini kalimat tulus atau basa-basi. Namun Harmoko menyahut dengan cepat, bahwa dari hasil kunjungannya ke daerah-daerah, ia menangkap aspirasi rakyat yang menghendaki Soeharto jadi presiden kembali.

Pada Maret 1998, Soeharto diangkat kembali sebagai presiden. Harmoko ketika itu menjadi ketua umum Golkar, juga ketua DPR/MPR. Dua bulan kemudian, Harmoko menemui Soeharto lagi, untuk menyampaikan berita buruk: rakyat menghendakinya turun.

Bila Agung Laksono kemudian menggusur Akbar, senior yang membesarkannya, itu membuktikan bahwa Agung adalah murid yang baik, yang sukses menimba ilmu dari ‘’kakak-kakak kelasnya’’.

 

****

Ade-Komaruddin-VS-Agung-Gumiwang

Agus Gumiwang Kartasasmita dan Ade Komarudin adalah dua politisi yang semula bersahabat akrab. Agus, kelahiran Jakarta pada 3 Januari 1969, termasuk politisi yang cepat menanjak. Ia putera tokoh politik senior, Ginandjar Kartasasmita. Ginandjar pernah hampir menjadi calon wakil presiden, di era Presiden Soeharto. Tapi kemudian Soeharto lebih memilih BJ Habibie. Ginandjar banyak membantu perjalanan Agus Gumiwang di kancah politik.

Agus tercatat pernah menjadi aktivis di berbagai organisasi kepemudaan: Generasi Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, Forum Keluarga Putera-Puteri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) –organisasi di bawah Golkar. Di AMPI ia sempat menjadi ketua umum.

Agus Gumiwang pertama kali masuk ke Senayan dengan menjadi anggota MPR pada 1998-1999. Ada empat trah Kartasasmita yang masuk ketika itu: Ginandjar Kartasasmita, Agus Gurlaya Kartasasmita, Gunariyah Kartasasmita, dan Agus Gumiwang Kartasasmita.

Ade Komarudin hampir seangkatan dengan Agus. Ia aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, alumni Universitas Islam Jakarta –ketika itu masih IAIN Syarif Hidayatullah, dan meraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran. Ade dikenal sebagai politikus yang tekun dan pintar membaca situasi.

Ia masuk menjadi anggota DPR sejak 1997, ketika pemilihan politik masih dengan cara mencoblos gambar partai. Seorang aktivis Golkar era orde baru bercerita, Ade bisa masuk ke dalam daftar calon berkat kedekatannya dengan Asep Sudjana (almarhum), ketika itu ketua umum Forum Komunikasi Putera-Puteri Purnawirawan Indonesia.

Golkar ketika itu terdiri tiga unsur: ABRI, Golkar, Birokrasi. Asep, sebagai bagian dari generasi muda ABRI, mendapat jatah. Alhamdulillah, Ade Komarudin ikut ditunjuk. ‘’Namanya sudah rezeki,’’ kata si mantan pengurus itu.

Ketika era Gus Dur, Ade mengorbit menjadi salah satu politisi muda Senayan yang ngetop, mendapat julukan ‘’koboi Senayan’’—antara lain bersama Alvin Lie dan Didi Supriyanto.

Ade adalah salah satu tim sukses Akbar Tandjung pada musyawarah nasional Golkar, 2004. Tetapi ketika ternyata yang terpilih adalah Jusuf Kalla, Ade bisa dengan cepat merapat ke Jusuf Kalla.

Ade pintar menulis, yang terbukti bermanfaat di perjalanan politiknya. Ia menulis buku biografi Prof. Suhardiman, pendiri Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), berjudul ‘’Kuserahkan pada Pengadilan Sejarah’’. Pada 1997, ia menulis buku lainnya: ‘’Anak Guru Dari Sumedang. Kisah Pengabdian Ratjih Natawidjaja.’’ Di buku ini, Ade menggunakan nama A.K. Mochammad. Buku ini diterbitkan PT Gramedia Widiasarana.

Ratjih adalah ibu kandung Ginandjar Kartasasmita, alias nenek Agus Gumiwang. Kepercayaan keluarga Ginandjar menyerahkan penulisan buku biografi Ratjih kepada Ade Komarudin menunjukkan betapa dekatnya hubungan keduanya. Pada 1997 itu Ginandjar merupakan salah satu tokoh politik yang tengah di orbit. Ia menjadi salah satu kandidat kuat calon wakil presiden.

Kini, karena masalah politik, Ade Komarudin berseteru dengan Agus Gumiwang. Dua orang yang pernah menjadi sahabat dekat itu seperti tahu kunci rahasia masing-masing.

Dalam masalah Golkar, sebetulnya yang terjadi adalah soal keabsahan pimpinan, karena masing-masing kubu menyatakan dirinya sebagai yang sah. Tetapi entah kenapa Agus Gumiwang menantang Ade Komarudin untuk buka-bukaan soal asal-usul harta. Ada apa dengan harta Ade Komarudin?

Coba baca berita di detik.com pada 29 Maret 2015 ini. Saya kutipkan di sini: ‘’Ketua Fraksi Golkar kubu Agung Laksono, Agus Gumiwang, marah besar mendengar Ketua Fraksi Golkar kubu Ical, Ade Komaruddin (Akom), menudingnya haus jabatan dan harta. Dia menantang Akom untuk buka-bukaan asal harta kekayaan.

“Kalau Akom menuduh saya dan kawan-kawan haus jabatan dan harta, saya ingin tantang, kita buka-bukaan harta kita masing-masing asalnya dari mana!” tantang Agus saat berbincang dengan detikcom, Minggu (29/3/2015).

Ade Komarudin, yang ditantang Agus, menyatakan siap menanggapi ajakan itu. Tapi ia menjawabnya dengan kalimat lain yang penuh bumbu. Kembali saya kutip dari detik.com:

“Saya siap untuk membuka semua, tidak ada yang perlu disembunyikan atas diri saya. Saya adalah anak pensiunan pimpinan KUA dari desa yang patuh dengan aturan hukum positif dan hukum agama,” kata Ade dalan keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (30/3/2015).

Ade menegaskan bahwa ia tidak pernah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Selama 18 tahun menjadi anggota DPR, saya tidak pernah melakukan kegiatan tercela terkait praktek KKN,” ujarnya.

Justru, Ade balik menyindir Agus. Ia mengungkapkan bahwa dirinya bukanlah keturunan pejabat seperti Agus yang merupakan putra Ginandjar Kartasasmita.

“Jika dibandingkan dengan saudara Agus Gumiwang, saya bukan siapa-siapa. Beliau adalah keturunan darah biru, putra seorang pejabat tinggi,” tutur Ade.

Entah kenapa Agus Gumiwang menantang Ade buka-bukaan soal asal-usul harta kekayaan. Entah kenapa pula Ade menyebut dirinya hanyalah putera pensiunan pemimpin KUA, dan tidak pernah terkait praktek KKN selama 18 tahun menjadi anggota DPR.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Asean Pasca Soeharto dan Lee Kuan Yew
Next post
Jusman SD : Mungkinkah Rupiah Bangkit Kembali?

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *