Bicara Intoleransi, Bicara Kepemimpinan
Meningkatnya intoleransi yang dibarengi menyebarnya paham radikalisme dianggap sebagai hasil dari pragmatisme politik. Apa warisan rejim SBY?
“Saya merasa bahwa intoleransi belakangan meningkat di Yogyakarta,” ucapan ini datang dari seorang jurnalis perempuan di Yogyakarta dalam sebuah pelatihan jurnalistik untuk jurnalis perempuan yang diadakan Dewan Pers, pada 20 Maret 2015.
Sebagai mantan anggota Dewan Pers, saya diminta menjadi salah satu pembicara dalam pelatihan yang dikemas dengan judul Workshop Peliputan Jurnalis Perempuan: Meliput Konflik dan Bencana. Jurnalis ini menyebut sejumlah kasus di Yogya. Laporan Wahid Institute 2014 menunjukkan Yogyakarta ada di posisi kedua terbanyak dalam kasus intoleransi.
Saya sering ke Yogyakarta. Almarhum Ibu saya lahir di kota pelajar ini, dan sampai kini kami masih memiliki rumah peninggalan ibu saya di sana. Sejak kecil saya sering ke Yogya, meskipun tidak pernah menetap, dan bersekolah di sana. Ayah saya berpindah tugas dari kota yang satu ke kota lain, sehingga kami bersekolah di berbagai kota. Saya selalu menyebut Yogya sebagai kota tempat “pulang”, meskipun saya tak benar-benar mengenalnya, seperti misalnya, suami saya mengenal Yogya. Dia tinggal di sana sejak kecil dan menamatkan semua jenjang sekolah di kota itu.
Jadi, ketika teman jurnalis perempuan mengungkapkan perasaannya, kekhawatirannya soal Yogya yang kian intoleran, reaksi saya adalah, “Jika itu benar terjadi, sangat disayangkan. Yogya selalu menjadi miniatur Indonesia. A melting pot, tempat pelajar dari seluruh Indonesia berkumpul, melewatkan waktu di lembaga pendidikan tinggi yang ada di kota ini.
No Comment