Hadirkah Negara Ketika Perempuan Meregang Nyawa?
Press Release Liga Perempuan untuk Keadilan Sosial dalam Memperingati Hari Kartini 21 April 2015.
Satu abad silam R.A. Kartini lahir membawa harapan bagi perempuan Indonesia. Kini sebagian besar perempuan Indonesia telah mencapai kemajuan melalui pendidikan dan kemerdekaannya. Namun sejumlah isu mengemuka terkait dengan pelanggaran hak-hak perempuan yang masih belum terpenuhi.
Liga Perempuan untuk Keadilan Sosial (LPKS), sebuah kelompok pemerhati isu hak-hak kaum perempuan yang dipimpin Nursyahbani Katjasungkana dan beranggotakan sejumlah perempuan aktivis dan akademisi seperti Bianti Djiwandono, Chusnul Mar’iyah, Lies Marcoes, Sita Aripurnami, Erdiana Noerdin dan lain-lain, menyatakan sikap dan menuntut Pemeritah Indonesia untuk memberi perhatian pada pemenuhan hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( EKOSOB) perempuan dengan bertumpu pada kenyataan-kenyataan buruk sbb:
- Pemerintah telah berjanji kepada warga dunia untuk menurunkan angka kematian Ibu sampai angka 102/ 100.000 kelahiran hidup. Namun hingga kini angka Angka Kematian Ibu (AKI) masih luar biasa tinggi, lebih tinggi dari ketika Millenium Development Goals (MDG’s) dicanangkan yaitu 359/100.000 kelahiran hidup. Selain infrasutruktur yang buruk, sanitasi yang tak memadai, perempuan hamil mengalami gizi buruk dan beban kerja berlipat; mereka tersisih dari pengambilan keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan. Negara juga gagal dalam memberikan layanan kontrasepsi yang aman dan terjangkau, serta melindungi anak perempuan dari praktik kawin di bawah umur dan sunat perempuan.
- Pemerintah telah menerima sumbangan 9,1 juta dollar dari 6 juta pekerja migran yang sebagian besar di antaranya perempuan. Malangnya, sumbangan mereka dalam menggerakkan pembangunan ekonomi perdesaan tidak dibarengi dengan perlindungan menyeluruh di tempat mereka bekerja. Dalam empat hari berturut-turut pada bulan ini, di saat Bangsa Indonesia memperingati dan merayakan emansipasinya, dua perempuan warga Indonesia tewas di papan pancungan tanpa kehadiran negara. Kini 58 Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi Arabia dan ratusan perempuan TKW di Malaysia menunggu kehadiran negara untuk membebaskan mereka dari hukuman mati.
- Pemerintah menyatakan telah berhasil menurunkan kemiskinan hingga 12%. Sejumlah penelitian seperti dari Tim Nasional Pencepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan PEKKA ( Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) menunjukkan bahwa sebagian besar dari kaum termiskin adalah perempuan dan perempuan kepala keluarga. Upaya penurunan kemiskinan yang hanya memberikan perhatian pada aspek ekonomi namun mengabaikan budaya kemiskinan yang berakar pada praktek diskriminasi berbasis gender telah merugikan perempuan dalam mengakses modal dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi mereka.
Atas dasar situasi di atas, kami LPKS menuntut:
Pertama, agar negara menepati janjinya untuk hadir di hadapan perempuan dan menghapus segala bentuk diskriminasi berbasis prasangka gender. Janji itu bukan saja karena kita telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan atau CEDAW ( Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) melalui UU no 7/1984, tetapi juga demi amanat Konstitusi Negara UUD 45 Pasal 127, yang menyatakan “Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali.”
Kedua, agar negara mengakhiri sikap masa bodoh terhadap pelanggaran hukum dan penistaan martabat perempuan dengan membiarkan terjadinya kekerasan berbasis prasangka gender; membiarkan terjadinya dualisme hukum antara hukum negara dan “hukum agama” yang kedudukannya melampaui hukum negara dan berdampak pada sulitnya perempuan berpartisipasi di ruang publik, dan dalam pengambilan keputusan serta dalam pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara.
Ketiga, agar negara memperjelas visi pembangunan hukum yang bertumpu pada pemenuhan hak perempuan untuk dihormati dan dilindungi serta berkesesuaian dengan kerangka Hak Asasi Manusia. Negara harus berani bersikap atas pelanggaran hak-hak kaum perempuan yang seringkali bersembunyi di balik “budaya dan norma ketimuran” namun pada kenyataannya budaya serupa itulah yang sejak masa Kartini menjadi alat yang efektif untuk menindas kaum perempuan.
Keempat, LPKS mengusulkan agar pemerintah memutuskan tanggal 17 September sebagai Hari Kesehatan Reproduksi Perempuan dengan mengambil momentum wafatnya RA Kartini 17 September 1904, setelah empat hari melahirkan putranya R. Soesalit dan mengalami pendarahan dan kejang rahim hebat. Wafatnya RA Kartini harus menjadi tonggak kesadaran Bangsa Indonesia untuk menghapus Angka Kematian Ibu melahirkan sampai ke titik nol.
Jakarta 21 April 2015
No Comment