Mengapa TNI Lakukan Tes Keperawanan untuk Kandidat Perempuan?
Sebelas narasumber Human Rights Watch menceritakan pengalaman menjalani dan melakukan tes keperawanan. Selain menyakitkan, tes ini diskriminatif dan melanggar prinsip HAM.
Trauma itu membekas cukup lama. Empat tahun sesudah menjalani tes keperawanan, seorang anggota Korps Wanita Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, menikah dengan tunangannya. Mereka berbulan madu ke Bali. “Saat malam pertama, badan saya tegang. Saya tidak bisa melakukannya. Saya menangis sepanjang malam. Saya baru bisa melakukannya dua bulan kemudian. Saya trauma gara-gara pengalaman melakukan tes keperawanan,” demikian pengakuan pensiunan kowau itu, kepada Human Rights Watch (HRW). Narasumber ini menjalani tes keperawanan, pada tahun 1984.
HRW, lembaga pemantau pelaksanaan Hak Asasi Manusia mewawancarai 11 narasumber terkait tes keperawanan yang wajib dijalankan calon anggota TNI, bahkan tunangan atau calon istri anggota TNI. “Tes keperawanan harus diakhiri, karena kejam, tidak manusiawi dan menyalahi hukum HAM,” demikian siaran pers Human Rights Watch hari ini (14/5) berjudul Indonesia: Military Imposing “Virginity Test” (http://unilubis.com/2015/05/14/trauma-karena-tes-keperawanan-di-tni/).
Temuan HRW termasuk pengakuan seorang anggota Korps Wanita Angkatan Laut (kowal), yang menjalani tes keperawanan saat melamar ke kowal tahun 1988. “Sangat memalukan,” kenang mayor kowal ini. Dia menyaksikan anggota polisi wanita, polwan, protes pemberlakuan tes keperawanan.
No Comment