SIAGA ITU MANTRA WARTAWAN
Malam tahun baru 2012. Dari ruangan saya di lantai 19 Menara Sentra Mulia, Rasuna Said, Kuningan, saya memandangi ratusan menara pencakar langit dan ribuan bangunan di Jakarta. Enaknya punya ruangan kerja dengan jendela kaca yang besar menghadap ke arah Menteng, saya bisa menikmati sebagian Jakarta. Di kawasan Rasuna Epicentrum nampak kelap-kelip lampu. Ada keriaan di sana. Karnaval dan perayaan pergantian tahun. Di ruang redaksi tim Topik Malam tengah sibuk menyiapkan program berita harian ANTV yang akan on air Pukul 1.30-an wib. Sebelas pesawat televisi yang berjajar di atas ruangan menayangkan riuhnya program spesial pergantian tahun. Riuh di layar, tenang di ruang redaksi. Sambil menulis sebuah makalah, mata saya sesekali memonitor perkembangan peristiwa di media siber dan percakapan di jejaring sosial, Twitter.
Blackberry saya menyala, dan berbunyi. Tanda ada pesan masuk. Saya buka tab mention. Seseorang meminta informasi kepada saya terkait penembakan di Aceh. Ada korban tewas. Bukan cuma satu, melainkan dua penembakan, yakni di Bireuen dan di Banda Aceh. Penembakan? Di Aceh?
Saya membuka tiga media siber yang populer. Belum ada informasi itu. Koordinator daerah ANTV pun belum menerima berita itu. Saya minta mereka kontak kontributor Topik ANTV di Aceh dan Lhok Seumawe. Keduanya sempat sulit dikontak. Suasana hati saya tak lagi tenang. Keriuhan malam tahun baru, kerlip kembang api yang mulai muncul di langit Jakarta tak lagi menarik perhatian. Perhatian saya tertuju pada berita penembakan di Aceh. Aceh?????? Peristiwa kekerasan apapun di bumi Serambi Mekkah selalu mengkuatirkan. Terutama setelah Aceh Damai melalui perjanjian di Helsinki, Agustus 2005.
***
Liburan Natal, seminggu sebelum tahun baru lalu, saya berlibur di Banda Aceh bersama keluarga. Kepada ayah, adik, dan anak saya tunjukkan tempat-tempat yang punya riwayat memilukan saat musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Banda Aceh kini menyenangkan. Jalan-jalan mulus, pantai indah, kuliner yang bikin lidah tak berhenti berdecap. Susah diet kalau ke sana. Banyak ide liputan saya dapatkan dalam kunjungan dua hari itu.
Ada yang mengusik damai di Aceh, dan melakukannya di malam tahun baru. Sambil menunggu informasi dari kontributor ANTV, saya mengontak seorang petinggi Polri untuk konfirmasi.
“Ada penembakan di Bireuen Aceh? Katanya 7 korban, 1 tewass???,” tanya saya via BB Mesenger ke petinggi Polri itu. Pesan saya kirim pukul 22..38 wib.
Jawaban muncul seketika. “3”.
“What??? 3 tewas. Siapa nembak???,” tanya saya lagi.
“3 di Bireun, 1 di Banda Aceh, pok tak dikenal,” jawab sang Jendral.
“Confirmed jumlah korban tewas? Tolong info rinci, kadivhumas sms dong ke media,” pinta saya.
“1 di Blitar. Polisi ditusuk 2 orang tak dikenal,” info baru dari Sang Jendral.
“Omaigat, polisinya tewas?” tanya saya.
“Iya,” jawabnya.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Siapa nyebar teror kayak gini??,” tanya saya sambil masang icon nangis di BB.
“Haduh, mestinya gw gak piket malam tahun baru di kantor,’ ketik saya lagi.
“Lho, ngapain di kantor atuuuuhh..,” kata sang Jendral.
“Feeling aja. Prepare kalau ada sesuatu gini. Jadi bisa mimpin teman-teman produksi berita,” jawab saya. Wapemred dan Manajer News memang ijin cuti. Gantian, karena saya sebelumnya sudah libur dua hari saat cuti bersama Natal.
Tak lama kemudian sms dari Kadivhumas Mabes Polri masuk. Isinya rincian penembakan di Aceh, dan penusukan polisi di Blitar. Lengkap dengan nama korban, kronologi dan waktu dan tempat kejadian. Semua informasi saya teruskan ke tim produksi Topik Malam. Berita harus naik malam itu juga. Kontributor di Aceh Utara akhirnya menyahut, dan meliput ke lokasi.
Berbekal info dari Polri, saya menjawab pertanyaan di Twitter yang mencari informasi tersebut. Respon banyak muncul, menyesalkan ada yang coba mengoyak damai di Aceh. Teman-teman di Aceh memasang tagar #PrayforAceh. Mesin pendingin di ruang redaksi yang biasanya bikin kami membeku, malam itu jadi tak terasa dinginnya. Peristiwa kekerasan atau musibah dengan korban tak pernah kami harapkan. Toh, terjadi tiap hari. Terasa beda magnitude-nya karena kali ini terjadi di Aceh, di malam tahun baru.
Saya mendekati teman-teman yang tengah bekerja malam itu di kantor sambil berguman. “Hm, banyak kejadian di saat libur, termasuk akhir pekan. Jadi ingat gempa Yogya 2006 deh.” Faisal Utama, produser eksekutif kami menjawab, “ Iya ya, itu pas kita rapat mingguan, Mbak. Rapat Topik Pagi.”
Sabtu pagi, 27 Mei 2006.
Tim Topik Pagi baru menyelesaikan siaran yang berakhir Pukul 05.30 wib. Kami berkumpul di ruangan rapat redaksi. Saat itu tiap Sabtu Subuh saya ke kantor, melihat teman Topik Pagi bekerja, lantas rapat mingguan untuk evaluasi dan perencanaan mingguan. Tentu saja ada rapat redaksi lain di siang hari. Rapat Pimpinan setiap Senin dan Rapat Agenda Setting Mingguan yang kami gelar tiap Selasa siang. Berhubung teman di Topik Pagi sulit bergabung karena mereka bekerja dengan jadwal berbeda, saya yang saat itu bertugas sebagai General Manager Produksi Berita membuat rapat mingguan khusus untuk mereka, di pagi hari. Kami menyebutnya “Bubur Ayam Meeting”, karena suguhannya adalah sarapan Bubur Ayam yang dibeli di belakang kantor ANTV. Buburnya enak, biasanya dihidangkan Pukul 06.30 wib. Wajah-wajah di sekitar meja nampak lelah dan mengantuk. Mereka telah bekerja semalam suntuk. Untung kopi dan teh manis panas segera tersedia.
Saya baru berbicara beberapa menit, ketika pesan pendek di telpon seluler menghentak perhatian. Gempa berkuatan 5,9 skala Richter mengguncang selatan Pulau Jawa, berpusat di 33 kilometer selatan Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gempa terjadi Pukul 05.53 Wib. Seingat saya, getaran gempa terasa sedikit di Jakarta.
Saat itu kami punya tim yang tengah bertugas di Yogyakarta, meliput perkembangan status Gunung Merapi yang setiap saat bisa meletus lagi. Merapi meletus 15 Mei 2006. Ribuan orang mengungsi ke berbagai lokasi yang tersebar di kota Yogya, Sleman, Magelang dan Klaten. Tim pemberitaan ANTV telah bertugas sejak Merapi dinyatakan berstatus siaga. Arief Widoseno, produser lapangan yang ada di kawasan Kaliurang menjawab telpon dan konfirmasi. Yess, gempa terasa kuat dan ribuan masyarakat panik. Jalanan di Kaliurang, lokasi mobil Satelitte News Gathering (SNG) kami macet oleh ribuan orang dan ratusan kendaraan yang mencari tempat aman. “Upayakan kirim gambar segera untuk Breaking News,” ujar saya ke Arief.
Kami punya kesepakatan, semacam Standar Operasional Prosedur. Dua puluh menit setelah informasi kejadian musibah atau bencana yang memenuhi kriteria Breaking News kami terima, siaran pertama harus dilakukan. Pagi itu tak ada lagi rapat. Semua siaga untuk Breaking News. Produser mencari informasi terkini baik dari lapangan maupun internet. “Tolong buat grafis lokasi gempa,” pinta saya ke bagian grafis. Presenter Topik Pagi kembali membenahi dandanan, dan masuk studio. Tim teknik dikontak, saya mengirim email ke COO, Direktur Programming, Pemred (saat itu Bang Karni Ilyas), penanggung jawas program operation Mas Edy Sunaryo dan semua manajer dan produser. Saya meminta ijin dan alokasi slot untuk Breaking News.
Ijin segera diberikan. Thanks God saat itu semua tim manajemen ANTV sudah menggunakan Blackberry sehingga siap online setiap saat, termasuk di hari libur. Kami melakukan Breaking News dengan cara “reader”, artinya presenter membacakan informasi awal yang kami dapatkan. Dilengkapi beeper,wawancara via telpon dengan kontributor ANTV di Yogyakarta. Saat itu namanya Michael Aryawan. Kami belum tahu persis besarnya kerusakan. Kaliurang relatif aman dan tidak banyak kerusakan. Gambar pertama yang kami terima dari tim lapangan adalah gambar kepanikan. Breaking News pertama kami tayangkan Pukul 06.25 Wib.
Kami gagal menghubungi Michael untuk wawancara via telepon, tapi berhasil wawancara dengan seorang warga di Yogyakarta yang mengalami kerusakan cukup parah di rumahnya. Tak lama setelah Breaking News pertama, informasi masuk dari Tina Agustari, reporter kami yang tengah berada di bandara Adisucipto untuk kembali ke Jakarta. Bandara rusak parah, atapnya jebol. Rumah Michael yang terletak di kawasan belakang bandara pun rusak berat. Salut, karena Michael pagi itu pun segera bertugas meliput kerusakan bandara.
Bandara sempat ditutup sehari, semua penerbangan menuju Yogyakarta diarahkan ke Solo dan Semarang. Setelah siaran Breaking News yang pertama, pagi itu kami siaran setiap 20 menit, termasuk siaran langsung menggunakan SNG di Yogyakarta. Semua kontributor ANTV di sekitar Yogyakarta, yakni kontributor Solo, Semarang, bahkan Madiun kami minta mendukung peliputan tim di Yogyakarta termasuk memonitor dampak di daerahnya. Ini juga prosedur standar. Back up team.
Sekitar Pukul 07.00 Wib, informasi korban mulai masuk. Dikabarkan tiga tewas. Ratusan luka, ribuan rumah dan bangunan rusak. Baru saya teringat menelpon Ibu saya, juga keluarga mertua yang tinggal di Yogyakarta. Alhamdulillah, mereka selamat. Gempa terasa sangat kuat. Atap teras rumah mertua ambruk. Ibu saya mengabarkan bahwa listrik mati.
Komunikasi via email terus saya sampaikan ke semua tim. Pukul 08.00 wib, semua manajer di lingkungan News dan CA sudah hadir di kantor, termasuk yang hari Sabtu itu tidak bertugas. Sebuah peristiwa bencana dengan magnitude besar, jelas bernilai berita tinggi. Wartawan yang baik harus siap terlibat dalam setiap peristiwa bernilai berita tinggi. Posisi manajerial bukan halangan untuk terjun ke lapangan. Prinsipnya, Reporting is the Heart of Journalism.
Saya teringat mengirim pesan singkat ke Pak Aburizal Bakrie, saat itu menjabat Menko Kesra. “Kabari perkembangan ya,” ujar Pak Aburizal. Siang itu rencananya Pak Aburizal berangkat untuk sebuah tugas ke luar negeri. Saya yakin beliau juga mendapat informasi dari lapangan via kementriannya.
Pukul 08.00 Wib saya mengirim SMS ke Walikota Yogya, Herry Zudianto. Pak Wali membalas dengan “Mbak, minta tolong dikirim bantuan medis termasuk tenaga dokter.” Wow…jumlah korban rupanya banyak sehingga tenaga medis di Yogyakarta tak bisa menangani sendiri. Informasi itu kami muat di running text yang terus kami perbarui di layar ANTV, dan disiarkan terus-menerus sepanjang hari. Sekitar Pukul 09.00 Wib korban tewas mencapai sembilan orang. Saat saya informasi ke Pak Aburizal, beliau membalas, “Trims, Ni. Saya batalkan perjalanan ke LN siang ini. Jam 11 siap-siap ke Yogya ya, kita ketemu di bandara Halim,” ujar Pak Aburizal.
Siang itu saya nebeng pesawat yang menerbangkan Menko Kesra Aburizal Bakrie ke Solo. Pesawat penuh dengan sejumlah pejabat yang terkait, termasuk Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan beberapa dokter. CEO ANTV Anindya N. Bakrie berpesan, selain urusan peliputan untuk ANTV saya diminta memberikan assesment lapangan soal kebutuhan bantuan bagi korban, sehingga Grup Bakrie bisa segera antisipasi. Tugas yang sama dari Bang Karni Ilyas untuk ANTV. Mendarat di Bandara Adisumarmo Solo, kami menumpang bis ke Klaten.
Tiba di RSU Klaten saya terhenyak. Di halaman rumah sakit ribuan orang, sebagian besar lanjut usia, tergeletak. Tenda-tenda darurat sudah berdiri. Ratusan orang tergeletak dengan botol infus di terikat di tangan, ada yang kaki. Buntelan pakaian dan barang-barang pengungsi ikut menyesaki halaman dan selasar rumah sakit. Melihat simbah-simbah yang renta terbaring dengan tatapan mata kosong, dan infus di tangan, membuat air mata saya menitik. Ya Allah, betapa berat cobaan yang mereka hadapi. Pikiran saya melayang saat peliputan Tsunami di Aceh 26 Desember 2004. Saya tiba di Banda Aceh sehari setelah tsunami. Melihat ribuan mayat bergelimpangan di dekat Pasar Lambaro, Lapangan Blang Padang adalah pengalaman yang luar biasa. Mengoperasikan kamerahandycam sambil menangis melihat mayat ibu dan anak berpelukan sampai ajal menjemput. Saya berdoa tak pernah terjadi lagi bencana demikian besar.
Apa mau dikata, manusia tak bisa merencanakan. Kehendak Allah SWT yang terjadi. Indonesia adalah negeri rawan bencana. Saat itu, kembali saya dan tim ANTV menjadi saksi sebuah bencana yang memakan korban besar. Kerusakan akibat gempa Yogya itu dirasakan di Klaten, Bantul, Sukoharjo, Wonogiri maupun Solo. Paling parah di Bantul dan Klaten. Sedikitnya 5.700 tewas, kebanyakan anak-anak dan usia lanjut karena saat itu pagi hari. Banyak orang masih di rumah, bahkan belum bangun tidur. Di banyak tempat, korban memang dari kalangan kurang mampu dan tinggal di rumah yang rawan roboh. Diperkirakan 37.000 korban luka.
Dari RS Klaten saya ikut rombongan Pak Aburizal Bakrie ke Bantul. Jelang Maghrib kami sampai di pendopo Bantul. Halaman pendopo dipenuhi pengungsi. Di ruang utama Bupati dan Sekretaris Daerah tengah menjawab pertanyaan sejumlah jendral TNI. Pimpinan TNI terbang dari Bali tempat mereka tengah rapat. Rupanya mereka mendapat perintah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang malam itu juga sudah tiba di Bantul. Informasi dari rapat di RS Klaten dan pendopo Kabupaten Bantul saya sampaikan ke pimpinan ANTV, juga ke Anindya. Jumlah korban, di mana posko pengungsian disiapkan, kebutuhan mendesak ratusan ribu pengungsi dan kebutuhan tenaga medis.
Setelah mengambil sejumlah gambar saya meninggalkan pendopo Bantul, memisahkan diri dari rombongan Menko Kesra. Saya bergabung dengan tim SNG ANTV yang membangun posko di depan RS Bethesda, Yogyakarta. Yang kami sebut “posko” adalah selembar terpal ukuran 3×3 meter yang menjadi “teras” mobil SNG, dan melindungi alat-alat siaran. Tak ada tempat duduk. Tim News duduk di trotoar, dalam panas dan hujan. Tapi kami merasa masih jauh lebih beruntung ketimbang ribuan pengungsi yang harus siap tidur beralaskan tikar di halaman rumah, sekolah dan rumah sakit. Hujan turun tiap hari. Melihat tubuh-tubuh menggigil, tidur berselimut secarik sarung itu bikin miris. Apalagi melihat anak-anak.
Di kantor Jakarta, manajemen merespon cepat laporan saya mengenai kebutuhan bantuan. Koordinasi tim ANTV Peduli dengan Bakrie Untuk Negeri (BUN) berlangsung intensif. Pak Azkarmin Zaini, komisaris ANTV, saat itu menjadi kontak utama di BUN yang menaungi kegiatan corporate social responsibilty (CSR) Grup Bakrie. Juga Zoraya Perucha, saat itu manajer komunikasi korporat ANTV, yang ikut mengelola ANTV Peduli. Saya mengikuti “rapat-rapat” bantuan untuk korban gempa Yogyakarta melalui email via Blackberry. Berkah teknologi informasi. Hari kedua gempa Yogyakarta, 28 Mei 2006, Anindya Bakrie tiba di Yogyakarta, setelah melalui jalan darat dari Semarang ke Yogyakarta. Anin disopiri oleh Samsul Arifin, kontributor ANTV di Semarang. “Nggak apa-apa nih, Mbak? Mobil saya nggak bagus,”ujar Samsul. Saya bilang, jangan kuatir. Anin tidak menyoal bagus tidaknya mobil, yang penting sampai dengan selamat. Saat itu sulit mencari penyewaan mobil di Solo dan Semarang. Ratusan perusahaan dan instansi mulai terjun ke lokasi korban gempa sehari setelah peristiwa. Mereka memburu penyewaan mobil. Hotel dan penginapan penuh. Sebagian hotel hanya beroperasi setengahnya karena kamar-kamar yang retak.
Hari-hari berikutnya Tim News sibuk melakukan siaran langsung sepanjang hari sampai malam, seraya bekerjasama dengan tim ANTV Peduli menyalurkan bantuan bagi korban. Penggalangan dana dari grup perusahaan dan masyarakat mendapat respon baik. Alhamdulillah dana itu kemudian mewujud dalam bentuk mesjid, puskesmas hingga ambulan. Dalam peliputan bencana, terasa betul semangat gotong-royong dan koordinasi antar bagian. Apa yang menjadi nilai utama ANTV, yakni Team Work, Creativity and Innovation, Customer Focus dan Good Corporate Governance menemukan implementasinya di sini. Kami bekerjasama erat baik dalam peliputan maupun pengumpulan dan penyaluran bencana, termasuk dengan bagian komunikasi korporat, teknik, program, keuangan, sumberdaya manusia, perlengkapan bahkan dengan staf di menara transmisi. Dengan produksi dan sales kami bekerjasama menayangkan program penggalangan dana. Kami harus kreatif karena situasi darurat menghendaki kreatifitas di semua lini, menyiasati keterbatasan. Kami harus melayani pemirsa dengan informasi yang akurat dan akuntabel. Kami harus mempertanggungjawabkan kepercayaan publik atas dana sumbangan yang dipercayakan, disalurkan dengan benar setiap sen-nya.
Menjadi wartawan, harus siap siaga setiap saat. Tragedi bisa terjadi kapan saja, termasuk di malam tahun baru. Musibah, bencana, kecelakaan adalah peristiwa dengan nilai berita tinggi. Tak bisa ditebak kapan terjadi. Loss of Life and Property Destructions, adalah salah satu kriteria Nilai Berita (news values). Lainnya adalah Kebaruan, Aktualitas, Unik, Magnitude, Kedekatan, Menyangkut Sosok yang Populer, serta Bermanfaat bagi publik. Saat pertama kali ke Aceh pasca tsunami, saya tak membawa selembar pun baju ganti. Sama halnya dengan saat gempa Yogya. Hal yang sama dilakukan oleh teman-teman wartawan lainnya, termasuk awak redaksi ANTV yang sering dihadapkan pada situasi tak terduga di kantor, pula di lapangan. Siaga adalah mantra seorang wartawan. Juga jaga stamina. Peliputan bencana biasanya berkepanjangan, berhari-hari. Menguras stamina.
Peran wartawan dalam peliputan bencana dianggap sangat penting. Dr Eric Frost, direktur Visualization Laboratory di Universitas San Diego membahas soal ini dalam semuan workshop peliputan bencana yang dilakukan di Institut of Americas.“Journalists are some of the most credible people out there. You have an important story to convey. That story will push people to do something for those who need help the most,” kata Frost. Ini yang dilakukan wartawan, termasuk di redaksi ANTV. Mencari data di lapangan, melaporkan kondisi korban secara akurat, sehingga menggerakkan empati publik untuk menolong. Dalam konteks tragedi, peran wartawan dan media adalah melayani publik dengan informasi dan mendorong penanganan serius oleh pihak aparat (kekuasaan).
Rasa takut bahkan harus dikalahkan saat terjadi gempa. Farid Hasan, presenter kami, sedang siaran Topik Petang saat Jakarta kena dampak guncangan gempa Tasikmalaya tahun 2007. Lampu di studio news bergoyang, dan kameraman ketakutan, nyaris meninggalkan studio kami yang terletak di lantai 19 Gedung Sentra Mulia. Tanggungjawab kepada publik mengalahkan rasa takut. Sambil bergetar, Farid mengabarkan gempa ke pemirsa, kamera mengarah ke lampu yang bergoyang cukup kencang. Pengelola gedung memberikan aba-aba turun via tangga darurat, begitu juga direksi dan manajemen ANTV yang saat itu berkantor di lantai 16. Di redaksi kami pasrah. Semua menunggu sampai Topik Petang selesai siaran, bahkan kian sibuk menyiapkan Breaking News susulan. Bagi wartawan, setiap bencana artinya siap-siap menginap di kantor, atau ditugaskan ke lapangan.
Dari gempa Yogya, Banjir besar di Jakarta 2 Februari 2007, Gempa Tasikmalaya, Gempa Mentawai, Gempa Wasior hingga Letusan Merapi 2010, redaksi ANTV mencoba menjalankan peran yang diharapkan publik itu. Bill Kovach dan Tom Ronsenstiel dalam buku terbarunya, BLUR: How To Know What’s True in The Era of Information Overload, mengatakan, di era digital saat ini, wartawan harus bersikap melayani publik yang menginginkan informasi. Bukan lagi mengajari publik dengan informasi. Melayani informasi berarti menjawab keingintahuan publik, public needs to know. Ada jutaan informasi yang bersliweran di jagat maya, di ruang publik saat ini, tugas wartawan kian berat karena diharapkan menjadi “trusted guide”, membantu publik dalam memilih informasi yang benar dan akurat. Dengan semangat itu, redaksi ANTV menjalankan esensi jurnalisme;
“Menyampaikan informasi kepada publik, sehingga publik dapat mengambil keputusan yang bermanfaat dan berakibat baik bagi hidupnya” (Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2006)
Malam tahun baru 2012, Pukul 23.46 Wib. Pesan masuk di BB Mesenger saya, dari Jendral yang sama, yang rupanya harus berjaga juga memonitor situasi keamanan. “Ada bom di jalan Suryodiningratan Yogya. Sedang ditangani gegana.”. Oh, malam kian panas.
Beberapa jam kemudian setelah masuk ke tahun baru, 1 Januari, masuk lagi pesan. “Ada OTK (organisasi tak dikenal, red), berondong orang di Aceh Utara. 1 tewas, 1 kritis.”
“Dimana persisnya?” tanya saya.
“warkop desa Seureke, Langkahan,” jawabnya.
This is, 24/7 news cycle…!
Selamat Ulang Tahun Ke-19, ANTV
Tulisan ini dimuat dalam buku Ultah ke-19 Tahun ANTV
No Comment