Perempuan di Parlemen, Pergulatan Melawan Stigma
Selain perlu membekali diri dengan penguasaan materi atas penugasan di komisi, perempuan di parlemen masih hadapi “musuh dalam selimut”.
“Kalau kita vokal sedikit, kita bisa dimusuhi. Bukan dimusuhi fraksi lain, apalagi mitra kerja. Kita bahkan dimusuhi fraksi sendiri, atau rekan satu partai.” Ini keluhan salah satu perempuan politisi, anggota dewan perwakilan rakyat daerah di salah satu kabupaten di wilayah Sumatera Utara. Senin malam (8/6), selama dua jam saya berdiskusi dengan puluhan perempuan politisi di kawasan ini. Keluhan soal bagaimana persepsi politisi laki-laki dan elit partai politik cuma salah satunya. Faktor budaya juga masih kuat, bahwa perempuan “tidak boleh terlalu maju, apalagi menghabiskan energi dan waktu terlampau banyak di kegiatan luar rumah”.
“Keluarga, terutama suami dan anak adalah faktor pendukung terbesar bagi perempuan berkarir, termasuk politisi. “Tapi, suami juga bisa menjadi musuh paling berat juga, dan bermasalah dengan pasangan sungguh menghabiskan energi,” keluh salah satu perempuan politisi dalam sesi diskusi yang cukup blak-blakan. Semacam musuh dalam selimut. Citra perempuan politisi juga dianggap masih negatif, apalagi ketika sejumlah kasus korupsi yang ramai diberitakan media massa melibatkan perempuan sebagai pelaku. Padahal, dibandingkan dengan pelaku tindak pidana korupsi laki-laki, jumlah perempuan yang terseret kasus, jauh lebih kecil.
Apalagi? Oh, iya. Ini yang juga jadi kendala. Di era politik pencitraan, peerempuan politisi relatif sepi dari peliputan media. Situasi “kurang diliput media” ini juga didukung oleh masih enggannya perempuan politisi berhadapan dengan pers.
Dalam diskusi yang juga melibatkan Koalisi Perempuan Politisi Indonesia itu. Gaptek, alias gagap teknologi informasi juga menambah sulitnya perempuan politisi mengoptimalkan saluran media berbasis internet, seperti media sosial.
No Comment