Anak-Anak Yang Terlahir dengan Sendok Perak
Meraih nilai tinggi penting. Belajar tentang hidup perlu. Bagaimana caranya? Saya perlu belajar
Ini minggu kritis bagi sebagian besar rumah tangga keluarga di kota besar seperti Jakarta. Sepekan menjelang Hari Raya Iedul Fitri 1436 H, para asisten rumah tangga (ART) yang biasanya menjadi andalan mengurusi rumah tangga, termasuk mengurusi anak-anak, sudah mudik, pulang ke kampung halaman. Teman-teman saya mulai menulis status di akun media sosial-nya. Ada yang mengeluh abis, pusing tiada kepalang. Ada yang mengelolanya dengan berbagi kewajiban.
Ventura Elisawati, teman saya, menuliskan di status Facebook-nya, 12 Juli: Hari ini sudah resmi hand-over dr ART ke kami. Pembagian tugas hari ke 1 sdh berlangsung: anak wedok setrika, anak lanang ngepel, ayah nyuci, dan bunda masak. Done. Semua berjalan mulus so far. Saya yakin banyak rumah tangga yang menempuh solusi itu. Meskipun tidak sedikit yang berebut ART “infal”, pengganti sementara, terutama jika masih punya bayi, atau memilih “mengungsi” ke rumah orang tua atau hotel 😉
Born with a silver spoon in mouth. Dilahirkan dengan sendok perak di mulut. Ini istilah yang biasa dilekatkan kepada para pewaris kekayaan orang tuanya. Pewaris kerajaan, baik kerajaan dalam arti politik, maupun kerajaan ekonomi. Kalau kata kerajaan terlalu “grande” atau kegedean, mungkin anak yang lahir dari orang tua yang cukup kaya bisa juga dimasukkan ke kategori ini. Karena berkecukupan sejak kecil, sebagian dikuatirkan tidak mampu berkompetisi dalam dunia yang keras ini.
Saya ingat mendiskusikan hal ini juga dengan adik ipar saya, Atiek, saat ke Yogyakarta, dua pekan lalu.
Minggu lalu saya berbuka puasa di sebuah restoran Jepang di Mal Pacific Place dengan teman saya Jasmin S. Jasin @jazzyontwit dan Ardi Wirda Mulia @awemany. Kami kawan karib sejak sama-sama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Ardi satu angkatan di atas saya dan Jasmin. Ardi dan Jasmin sama-sama lulusan jurusan Statistika IPB, Ardi satu angkatan lebih dulu dari kami. Saya dan Jasmin satu angkatan.
Ardi kini doktor ilmu pemasaran dan mengelola sebuah lembaga riset konsumen. Jasmin, pernah menjadi direktur eksekutif Bina Antar Budaya, yayasan yang mengelola program pertukaran siswa AS Field Service (AFS), lantas setelah sembilan tahun di posisi itu mendirikan TK dan SD Gemala Ananda yang memiliki reputasi bagus.
Tanpa terasa obrolan selama 1,5 jam didominasi cerita tentang pendidikan anak. Formal maupun informal, di rumah. Usia anak-anak kami hampir sama. Beda 1-2 tahun saja dibanding usia anak saya. Secara ekonomi kami tidak berlebihan, tetap cukup mampu menyekolahkan anak-anak ke sekolah swasta, sejak masa pra-sekolah. Di rumah, anak-anak biasa diladeni oleh ART sejak kecil. Praktis, tanggung jawab anak-anak adalah belajar. Fokus di situ. Plus, beragam les.
Bisa dikatakan, saya, Jasmin dan Ardi adalah produk sekolah negeri, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Jumlah murid dalam satu kelas lebih banyak dibanding yang dialami anak-anak kami, yang biasanya hanya memiliki teman 19-24 orang dalam satu kelas. Diladeni dua guru kelas. Mendapatkan perhatian penuh, dan karenanya lebih kecil kebutuhan survival dibanding berada dalam satu kelas dengan 45-50 siswa, seperti yang kami alami dulu. Kami merasa kuatir juga.
Anak-anak kami memiliki nilai yang lumayan bagus. Tapi kami bertanya, “apakah itu cukup bagus? Benar-benar bagus? Apakah anak kami akan mampu berkompetisi dengan anak-anak pintar lainnya dalam jenjang berikutnya? Nilainya bagus, tapi kog seusia itu, perasaan dulu kami lebih tough dan jago matematika ya? Jangan-jangan bagus karena banyak dibantu les dan sebagainya?
Itu bagian dari kompetisi angka. Nilai-nilai ujian. Di luar itu kami juga berdiskusi. Apakah cukup hanya memacu anak-anak mendapatkan nilai tinggi di sekolah? Mencermati dan meyakinkan bahwa mereka belajar dengan baik untuk ujian. Lantas melupakan hal lain yang tidak kalah penting: pelajaran untuk hidup secara mandiri.
Kami lantas mendeteksi. Fenomena seperti ini mulai menguat dalam 25-30 tahun terakhir. Tahun 1990-an, saat kelas menengah Indonesia mulai tumbuh. Kondisi ekonomi membaik (meskipun sempat diterpa krisis ekonomi tahun 1997-1998). Kompetisi mendapatkan sekolah yang berkualitas baik kian ketat. Orang tua ikut stress mencarikan tempat di sekolah favorit.
Saya ingat, mendaftar ke SMP dan SMA sendiri saja. Tanpa didampingi orang tua. Paling janjian dengan teman. Memilih SMP dan SMA pun pertimbangannya: karena teman saya banyak masuk ke sekolah itu. Peran orang tua dibatasi, merestui dengan catatan itu sekolah bagus, dan membayar biayanya ;-). Kami cukup mandiri kan?
Karena kompetisi ketat itu, maka orang tua menggenjot anak-anaknya untuk meraih nilai ujian setinggi mungkin. Sekolah favorit menerapkan batas minimal angka hasil ujian. Anak-anak dibebaskan dari kewajiban yang pernah kami alami saat kecil. Ikut membersihkan rumah, minimal menyapu dan mengepel. Membantu Ibu memasak di dapur. Membantu ayah membenahi genteng bocor (karena kini tinggal panggil tukang, hehe).
Berapa banyak anak-anak keluarga kelas menengah di kota besar yang sudah bisa mencuci sendiri bajunya? Menyetrika? Membersihkan dan merapihkan kamarnya? By the way, jangan merasa tersindir ya, kami tengah membicarakan mengenai kami juga, alias #notetoself. Karena, apa yang terjadi dengan anak-anak, menjadi mandiri atau lebih bergantung kepada orang lain, sepenuhnya kesalahan pola asuh dari orang tuanya. Ini yang saya sadari betul dalam berbagai obrolan dengan suami.
Masalahnya, kapan sempatnya? Pelajar SD pun kini sampai di rumah Pukul 16.00 wib, dalam keadaan lelah setelah melewatkan waktu di sekolah sejak Pukul 07.00 wib pagi. Mau mengajak bebersih pun kasihan. Ini alasan pembenaran.
Saya dan suami adalah produk dari orang tua yang mengajari anak-anaknya untuk mandiri sejak kecil. Orang tua kami tidak pernah mempekerjakan ART. Pekerjaan di rumah tangga dibagi secara proporsional antara bapak-ibu dan anak-anak. Ibu suami saya adalah guru. Ibu saya tidak bekerja formal tapi aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi.
“Kita harus mulai dari sekarang. Mulai SMP, Darrel perlu belajar lebih mandiri. Tidak bergantung pada orang lain. Kenyamanan dan kemudahan saat TK dan SD harus mulai diseimbangkan dengan memberikan tanggung jawab lebih,” ini tema obrolan saya dengan suami. Kami ingin memberi pelajaran kehidupan. Ini yang juga menjadi salah satu tema diskusi bersama Jasmin dan Ardi.
Jangan sampai ketika mereka besar, dewasa, menikah, mengurusi rumah tinggal pun tidak cakap. Mulai dari mencuci dan mengelap sepeda. Mencuci sendiri piring dan gelas sesudah makan, meskipun ada Mbak-nya alias ART. Belajar membuat nasi goreng. Menata baju di lemarinya.
Tidak mudah. Anak-anak jaman sekarang membaca buku pun susah, kecuali buku yang diwajibkan oleh sekolah. Lebih suka berselancar di dunia maya. Mengkonsumsi informasi teks maupun video dari perangkat teknologi komunikasi dan informasi seperti iPad maupun telepon pintar. Lagi-lagi, saya dan suami mengakui, kesalahan ada pada pihak orang tua. Barangkali kami merasa lebih nyaman melihat anak mendekam di kamar seharian saat liburan, memelototi layar tablet, ketimbang beraktivitas di luar rumah. Lebih aman. Padahal belum tentu.
Dalam bentuk yang lebih sederhana, anak-anak kami bisa disebut born with a silver spoon in mouth. Saat lahir, orang tua sudah memiliki rumah dan mobil. Kedua orang tua bekerja dan memiliki penghasilan tetap yang, Alhamdulillah, lumayan. Tapi, hidup tidak selamanya mulus. Saya mulai bilang ke anak saya, bagaimana kalau nanti tidak ada ART? Misalnya karena mudik? Atau kami tak mampu menggaji ART?
Saya ingat membicarakan hal ini saat bersama Darrel menonton “Interstellar”. Ingat adegan ketika Cooper, pemeran utama film itu yang dimainkan oleh Matthew McConaughey mengalami bocor ban mobil saat berkendara dengan putranya Tom (Timothee Chalamet). Cooper meminta remaja Tom menambal ban. Tom bertanya, mengapa harus dia? Cooper, sang ayah, menjawab, “ karena aku tidak akan bisa selalu bersamamu, Nak.” Nah.
Lagi-lagi, tidak mudah bagi saya menerapkan kemandirian secara tegas ke Darrel, yang notabene anak tunggal. Tapi, saya belajar dari Jasmin yang anak tunggal juga. Bagaimana dia dididik, dan kini mendidik anaknya.
Ini klise. Mengakhiri tulisan dengan menuliskan sebuah puisi karya Kahlil Gibran yang paling popular, mengenai anak. Tapi saya ingin menuliskannya di sini sebagai pengingat, bagi diri saya sendiri. Dan semoga bermanfaat bagi pembaca.
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu bersemayam di rumah masa depan, yang tak pernah data engkau kunjungi, meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur, tidak pula berada di masa lalu.
Dst…..(tidak semua saya tulis, karena mudah dinikmati di ranah maya).
Membaca puisi itu saya diingatkan untuk tidak mengukur apa yang saya alami dulu dengan apa yang perlu diterapkan ke anak saya. Tapi saya yakin belajar kehidupan itu perlu, dari masa ke masa. Mungkin caranya yang berbeda. Variasinya. Ada yang mau berbagi dengan saya? ###
No Comment