Naik ‘High Speed Train’ Shanghai-Beijing
Dalam waktu satu dekade Tiongkok membangun 17.000 km jalur kereta api super cepat. Perjalanan 1.318 kilometer antara Shanghai dan Beijing ditempuh kurang dari lima jam.
Jam digital di stasiun kereta api Beijing Nan (Beijing South) menunjukkan tepat jam 6:48 sore saat kereta api super cepat (the High Speed Train) yang membawa saya dari Shanghai tiba di tujuan, Senin, 27 Juli.
Stasiun kereta api di Beijing ini sangat luas dan modern. Saya merasa seperti di bandar udara. Papan petunjuk informasi tersedia secara digital, berisi jadwal keberangkatan dan ketibaan. Mesin pemesanan tiket ada di mana-mana, begitu pula berbagai kios dan toko. Benar-benar mirip bandara.
Ribuan penumpang memenuhi kursi tunggu. Di Tiongkok masih musim liburan sekolah. Semua tempat wisata penuh, begitu pula moda angkutan darat yang dianggap lebih murah ketimbang naik pesawat terbang.
Kereta api super cepat di negeri Tirai Bambu lazim disebut dengan HSR, alias High Speed Rail, dan dikelola dan dioperasikan oleh China Railway, badan usaha milik negara yang mengelola perkeretaapian, semacam PT Kereta Api Indonesia.
Kereta api super cepat jalur Shanghai-Beijing adalah bagian dari Jinghu HSR yang mulai beroperasi pada 30 Juni 2011. Sepanjang perjalanan dari Shanghai ke Beijing, yang notabene dua kota bisnis terpenting di Tiongkok, HSR berhenti di Nanjing, Jinan, dan Tianjin.
Setiap hari ada 35 jadwal HSR antara Shanghai-Beijing pulang pergi, dan mengangkut rata-rata 400.000 penumpang per hari. Semua gerbong biasanya terisi penuh saat akhir pekan atau musim liburan, sehingga disarankan pesan tempat duduk jauh hari. Untuk hari-hari normal pemesanan tiket bisa dilakukan langsung di stasiun keberangkatan.
Saya berangkat jam 2 siang waktu setempat dari stasiun Hoanqiau Shanghai. Udara panas menyengat, sekitar 35-36 derajat celcius, yang tengah mengepung Shanghai dan Beijing tak terasa sejak masuk ke gerbong kereta api. Tempat duduk empuk, kereta api bersih, suhu diatur sejuk. Nyaman.
Setiap waktu pramusaji yang cantik dan ramah mondar-mandir menawarkan makanan dan minuman. Saya senang karena di antara yang dijual di kereta, ada beragam buah segar. Satu kotak plastik buah apricot atau potongan papaya dijual seharga 35 Ren Min Bi (Yuan).
Dalam perjalanan itu saya sempat “inspeksi” dari gerbong ke gerbong. Toiletnya bersih dan wangi. Ada toilet khusus untuk pengguna kursi roda alias penyandang disabilitas. Di setiap gerbong tersedia keran air minum lengkap dengan gelas kertas. Kalau mau irit, ya minum saja dari situ. Ada air panas juga, yang bisa digunakan menyeduh mie instan.
Meskipun kereta api berjalan dengan super cepat, saya tidak merasakan goncangan berarti saat berjalan di atas kereta api. Beda banget dengan pengalaman naik kereta api di negeri sendiri.
Perjalanan 1.318 km antara Shanghai-Beijing ditempuh dalam waktu 4 jam 48 menit, sesuai jadwal dan petunjuk keberangkatan kereta api. Kecepatan High Speed Rail (HSR) kebanggaan negeri Tiongkok ini sekitar 300 kilometer per jam.
Sepanjang jalan saya memerhatikan papan informasi digital di semua pintu antar gerbong kereta. Ada informasi kecepatan saat itu dan informasi temperatur udara di luar. Di gerbong kelas satu, kursi duduk diatur dua-dua di kiri dan kanan, sedangkan di kelas dua, kursi diatur tiga-dua.
Ada colokan listrik untuk charging batere telpon seluler atau gawai lain. Sayangnya tidak ada wi-fi. Buat penumpang asli Tiongkok nampaknya tidak masalah, karena ponsel mereka terkoneksi dengan jaringan 3G atau 4G.
Kecepatan HSR bervariasi dari 278 km sampai 303 km per jam. Saya duduk di kelas satu HSR dengan harga tiket 933 Ren Min Bi (Yuan) atau sekitar US$ 130 dolar. Jika kita menggunakan kurs rupiah ke USD saat ini, sekitar Rp 13.300 per USD, harga tiket untuk perjalanan yang saya lakukan pada hari itu sekitar Rp 1,7 juta. Untuk kelas dua, harga tiket 533 Yuan, sedangkan kelas VIP, atau disebut business class/sight seeing, harga tiketnya 1.748 Yuan.
Harga tiket pesawat terbang dari Shanghai ke Beijing sekitar dua kali lipat dari harga kelas satu naik kereta super cepat. Masalahnya untuk naik pesawat kita harus ke bandara yang jaraknya lumayan jauh dari tengah kota, sekitar 45 menit – 1 jam, tergantung kondisi jalanan, yang biasanya macet.
Kita juga harus tiba satu jam lebih awal di bandara untuk lapor kedatangan alias check-in. Waktu terbang Shanghai-Beijing dan sebaliknya sekitar dua jam 20 menit. Naik kereta api super cepat 4 jam 48 menit. Dipikir-pikir, waktu tempuh akhirnya mirip-mirip juga.
Kelebihan naik kereta api super cepat ini adalah siap berangkat dalam keadaan cuaca apapun dan tepat waktu. Naik pesawat resiko pemunduran jadwal terbang sering terjadi. Begitu cuaca buruk, pesawat batal terbang.
Dalam perjalanan ke Tiongkok kali ini saya menyempatkan diri mencoba HSR, untuk membandingkannya dengan pengalaman naik kereta api super cepat Shinkansen di Jepang dan TGV di Eropa. Dari segi bentuk semua kereta super cepat mirip, karena moncong depan bagaikan peluru, makanya disebut bullet train.
Jepang membangun kereta api super cepat sejak 1960-an. Tiongkok memang baru belakangan membangun teknologi kereta api super cepat, termasuk membangun dan meningkatkan kualitas rel kereta apinya.
Masuk ke bisnis HSR belakangan, Tiongkok cepat mengejar kemampuan teknologi negara lain yang lebih dahulu membangun kereta api super cepat, termasuk Jerman, Perancis, dan Jepang. Tiongkok kini memiliki kereta api super cepat yang melayani 17.000 km jalur ke berbagai kota penting di seantero negeri. Akhir tahun ini akan bertambah menjadi 20.000 km.
Ini menempatkan Tiongkok sebagai negara dengan jalur kereta api super cepat terpanjang di dunia. Tahun lalu kereta api super cepat di Tiongkok mengangkut penumpang sebanyak 100 juta orang.
Teknologi kereta api super cepat Tiongkok akan berkompetisi dengan teknologi Jepang dalam kontes memenangi proyek pembangunan kereta api super cepat Jakarta-Bandung yang akan dimulai tahun depan.
No Comment