Uji Coba Resep Pemulihan Ekonomi Indonesia
Pemerintah mencoba beragam cara, dari buyback saham BUMN sampai kemudahan investasi. Punya uang banyak bukan jaminan pemulihan ekonomi.
Saya berada di Beijing, Tiongkok, ketika bursa saham di Tiongkok anjlok, pada 27 Juli 2015. Itu bukan yang pertama, dan ternyata bukan yang terakhir. Kemarin (24/8), Indeks Saham di Bursa Shanghai melorot 8,5 persen, dan melibas selisih kenaikan yang terjadi selama 2015. Black Monday, demikian dunia bisnis menyebut goncangan yang menjalar ke bursa saham di Eropa dan AS.
Dua pekan di Negeri Tirai Bambu saya bertemu dengan beragam narasumber, mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha dan media. Dalam berbagai pertemuan, jika narasumbernya pas untuk ditanyai, saya selalu menanyakan, bagaimana situasi bisnis setelah goncangan di pasar saham mereka? Apakah itu akan menganggu perencanaan ekonomi termasuk investasi?
“Jangan khawatir. Pemerintah kami punya banyak uang. Apa yang terjadi di bursa Shanghai, goncangan di pasar modal, adalah bagian dari proses yang harus dialami, termasuk oleh investor dan spekulan yang membeli saham dengan duit pinjaman.” Ini disampaikan oleh pejabat senior di National Development & Reform Comission (NDRC), semacam kementerian perencanaan dan pembangunan di sana. NDCR adalah kementrian yang dianggap paling berkuasa dalam menentukan strategi dan implementasi pembangunan ekonomi di Tiongkok.
Bertemu dengan masyarakat biasa yang kebetulan menemani saya menikmati TV Tower di Shanghai, atau pejabat di provinsi otonomi Xinjiang, saya mendapat jawaban yang mirip-mirip. Sinyalemen bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicatatkan Tiongkok selama ini sebenarnya rentan, sudah lama saya dengar. Bubble economy, demikian analis menyebutnya. Ada banyak informasi mengenai hal ini di internet, ketikkan kata “China Bubble”, Anda bisa membaca beragam analisa. Saya kutipkan salah satunya di sini, dari laman Business Insider. Ada kutipan dari analis yang menyebutkan,” “In our view, China is in the midst of a triple bubble, with the third biggest credit bubble of all time, the largest investment bubble (proxied by the investment share of GDP) and the second biggest real estate bubble,” Credit Suisse analyst Andrew Garthwaite wrote in a recent note.
Kita punya cukup banyak uang. Kata-kata ini kemarin muncul dalam sidang kabinet antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan pengusaha dan BUMN membahas ekonomi. Presiden Jokowi yang menyampaikan hal itu, untuk menenangkan publik, melalui dunia usaha. Yang diundang adalah konglomerat dan bos BUMN sahamnya sudah tercatat di bursa saham. Jokowi meminta agar sektor pemerintah, termasuk pemerintah daerah, serta sektor swasta dan BUMN segera menggelontorkan duit belanja untuk kegiatan investasi.
Tindak lanjutnya cukup kongkrit. Beberapa jam setelah pertemuan, media memberitakan informasi dari Menteri BUMN Rini Soemarno, soal alokasi duit Rp 10 triliun untuk membeli kembali (buy back) saham BUMN di Bursa Efek Indonesia. Pada perdagangan 24 Agustus 2015, Indeks BEI turun 3,97 persen. Kurs rupiah terhadap dolar AS melewati angka Rp 14.000. Pagi ini, meskipun bersliweran beragam isu yang bikin degdegan, indeks harga saham gabungan di BEI naik 18 poin saat pembukaan pasar.
Isu yang bikin degdegan? Ya, sejak semalam media memberitakan anjloknya bursa saham Wall Street, New York, sebanyak 4 persen. Lalu di berbagai grup beredar rekomendari dari lembaga investasi yang menyarankan menjual obligasi Indonesia. “Sell Indonesia Bonds, Rupiah, NOW”. Semalam, JP Morgan menyarankan investor melepas portofolio sahamnya di Indonesia.
Sampai tengah malam saya berdiskusi dengan beberapa pebisnis yang juga ahli dalam pasar uang dan pasar modal. Saya menanyakan pendapat mereka soal perkembangan terakhir di dua pasar itu. Jawabannya bikin saya tambah degdegan. “The worst is yet to come.,” katanya. Waduh! Lebih muram lagi ketika mereka rata-rata menyebutkan dana Rp 10 triliun untuk buy back saham BUMN dan Rp 3 triliun untuk memborong kembali Surat Berharga Nasional (SBN), disebut belum cukup untuk mendukung pemulihan IHSG dan menguatkan nilai Rupiah.
Banyak uang ternyata bukan obat mujarab. Perlu waktu untuk mengimplementasikan percepatan serapan anggaran dan belanja investasi. Sama halnya dengan yang dialami Tiongkok, pemerintah Indonesia tengah menghadapi turunnya kepercayaan publik, terutama investor. Salah satu dari tiga alasan JP Morgan memberi rekomendasi jual portofolio di Indonesia adalah, “kebijakan Pemerintah Indonesia juga tidak terlalu banyak membantu. Alih-alih melakukan reformasi fiskal, justru Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan defisit anggaran. Sebelumnya, kenaikan pinjaman sebesar 10 persen telah diumumkan dalam RAPBN tahun depan.”
Intinya kepercayaan publik menciut. Ada ketakutan, yang terutama dipicu oleh goncangan ekonomi di Tiongkok, negeri dengan ekonomi kedua terbesar di dunia. Reaksi Bank Sentral AS, Federal Reserve, yang melempar indikasi bakal menaikkan sukubunga acuan pertengahan September juga ditunggu. Dampaknya bisa ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Ketidakpastian global memicu pelambatan ekonomi. Ini berkali-kali ditekankan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang bersikukuh, kita tidak dalam situasi krisis keuangan. Tapi sebenarnya, pertemuan antara Jokowi dengan pengusaha dan BUMN, serta aksi buyback saham BUMN hari ini menunjukkan, krisis itu ada. Dan bisa memburuk kalau tidak segera ketemu resep penyembuhnya. Buy back, adalah upaya meredam panik aksi penjualan besar-besaran di pasar modal.
Hari ini Bloomberg mencatat bahwa nilai tukar rupiah di pasar spot ada di angka Rp 14.043. Kemarin, nilai tukar rupiah ditutup pada angka Rp 14.050. IHSG membaik, tapi rupiah masih loyo terhadap dolar AS. “Yang dilakukan pemerintah dianggap belum cukup,” kata seorang konglomerat, ketika saya kontak Selasa siang.
Ekonom Faisal Basri mengusulkan agar pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai stimulus bagi rakyat banyak, di tengah menurunnya daya beli. “Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk menolong rakyat. APBN sedang dalam tekanan. Penerimaan negara dari pajak dan dari minyak sangat tertekan. Belanja harus dipangkas. Pemerintah berkonsentrasi saja mengurus dirinya sendiri. Yang penting jangan ganggu konsumsi rumah tangga dan investasi swasta,” tulis Faisal seperti dikutip dalam blog pribadinya.
Faisal mengusulkan tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini. Selain menurunkan harga BBM bersubsidi dan mencermati harga BBM, kontrol terhadap impor produk seperti daging dan kemudahan investasi perlu dilakukan.
Ada juga yang mengusulkan agar ada relaksasi terbatas atas ekspor mineral, dengan saksi berupa tarif berupa bea keluar. Relaksasi bisa diberikan kepada pengusaha yang sudah menunjukkan investasi awal membangun smelter, tapi terganggu ditengah jalan karena anjlok-nya nilai tukar. Ini upaya mendapatkan devisa.
Di Kuala Lumpur, akhir pekan lalu, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyampaikan ide Indonesia agar perdagangan di kawasan ASEAN lebih banyak menggunakan mata uang Tiongkok, yaitu Yuan. “Ini cara kita sinkronisasi lebih dekat dengan mitra dagang terbesar ASEAN, yaitu Tiongkok,” kata Tom Lembong, sebagaimana dikutip laman The Jakarta Post. Menurut Mendag Tom Lembong yang juga bankir investasi ini, lebih banyak menggunakan mata uang Yuan akan melindungi mata uang negara anggota ASEAN.
Tom Lembong tengah menghadiri pertemuan ke-47 menteri ekonomi ASEAN, organisasi kerjasama negara di Asia Tenggara. Mata uang ringgit Malaysia paling melemah terhadap dolar AS, yaitu 4,18 ringgit per 1 dolar AS. Ini terburuk dalam 17 tahun terakhir. Mata uang rupiah ada di posisi kedua paling lemah sejak 1998, saat krisis moneter melanda kawasan ini.
Mendag Tom mengatakan, ide menggunakan lebih banyak mata uang Yuan dalam perdagangan dan pembiayaan di kawasan ASEAN masih dalam tahap awal diskusi, namun akan menjadi bahasan serius dengan menteri ekonomi di negara masing-masing. Perdengan dengan Tiongkok mencakup 14,5 persen dari total perdagangan dengan negara ASEAN, sementara dengan AS hanya 8,4 persen.
Kementerian Keuangan tak ketinggalan memberikan fasitas pembebasan pajak sementara , atau tax holiday kepada sembilan industri.
Ada banyak resep yang bisa dan sebagian tengah dicoba oleh pemerintah dalam memperkuat daya tahan ekonomi kita terhadap goncangan ekonomi global. Tapi, kuncinya ternyata ada pada bagaimana kemampuan membangun kepercayaan di dalam negeri. Kita berharap Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersatu-padu memimpin proses melalui turbulensi ekonomi ini. Catatan untuk para politisi di Senayan, juga para ketua umum partai politik, agar jangan ikut meruntuhkan kepercayaan publik dengan manuver politik, pun ekonomi. Harga runtuhnya ekonomi terlampau mahal bagi 250 rakyat Indonesia.###
No Comment