Alwi Shihab: Tragedi Mina karena Minimnya Disiplin Jemaah Haji
Jemaah haji membayar makin mahal dan karenanya menuntut fasilitas yang nyaman.
Penyebab tragedi Mina yang menewaskan lebih dari 700 orang pada Hari Raya Iduladha 1436 H kemungkinan besar diduga akibat lemahnya disiplin jemaah haji.
“Mereka mengejar keutamaan melontar jumrah ba’da Dzuhur, sebagaimana di zaman Nabi Muhammad SAW, “ kata Alwi Shihab, utusan khusus Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk Timur Tengah.
Menurut Alwi, agama mengajarkan bahwa ibadah dilakukan sesuai dengan kemampuan.
“Agama datang untuk memberikan kenyamanan, bukan justru menyulitkan umatnya. Situasi saat ini berbeda dengan di zaman Rasulullah,” ujar Alwi, yang pernah menjabat menteri luar negeri di pemerintahan Presiden Abdurrachman “Gus Dur” Wahid, ketika dikontak Rappler, Jumat pagi, 25 September.
Tiga jemaah haji asal Indonesia meninggal dunia dalam Tragedi Mina 2015. Satu orang dalam kondisi kritis.
Menteri Agama Lukman Saifuddin mengatakan belum mendapatkan informasi mengenai korban luka-luka.
Perkembangan terakhir mengenai Tragedi Mina dapat diikuti di LIVE BLOG Rappler.com di sini.
Alwi mengungkapkan, secara umum, disiplin jemaah haji Indonesia selalu dipuji oleh penyelenggara haji.
“Rata-rata orang Indonesia itu taat aturan saat haji. Patuh pada pemimpin kloter, dan selalu bersama-sama dalam rombongan. Kalaupun ada yang melanggar, sangat sedikit. Disiplin juga ditunjukkan dengan menggunakan gelang tanda pengenal, juga tanda pengenal yang dikalungkan di leher,” tutur Alwi.
Ini yang tidak dilakukan para jemaah haji dari negara Afrika dan Mesir.
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan bahwa dalam Tragedi Mina yang terjadi di Jalan 204, ketika ratusan jemaah haji terinjak-injak, korban paling banyak berasal dari Afrika dan Mesir.
Mengapa tidak diantisipasi?
Menurut Alwi, antisipasi sudah dilakukan pemerintah Saudi Arabia dengan mengatur jadwal.
Pemerintah Indonesia juga sejak Tragedi Mina 1990 telah mengatur agar jemaah haji Indonesia melontar jumrah di saat yang relatif sepi, di pagi hari atau sore menjelang Maghrib. Bangunan tempat melempar jumrah juga sudah ditambah beberapa tingkat.
“Sembilan tahun kita menikmati ketenangan dalam melontar jumrah,” kata Alwi Shihab.
Alwi yakin bahwa pemerintah Arab Saudi akan mengevaluasi faktor keamanan dan kenyamanan dalam melontar jumrah. “Mungkin perlu menambah jalur jalan ke sana, agar lebih longgar, misalnya dengan membangun jalur jalan di atas rute 204, ” kata dia.
Ribuan orang berebut mendekati monumen yang menggambarkan setan dalam ritual melontar jumrah memang memiliki risiko tinggi. “Berebut zakat yang cuma ratusan orang saja ada korban jiwa karena tidak disiplin mengaturnya,” ujarnya.
Suhu udara di Mekah dalam hari-hari pelaksanaan ibadah haji memang menyengat, sekitar 50–52 derajat celcius. Kelelahan fisik setelah melakukan wukuf di Padang Arafah, biasanya memang membuat jemaah haji menurun kondisinya, padahal harus melaksanakan melontar jumrah.
“Jemaah Indonesia biasanya diminta beristirahat dulu secara cukup. Apalagi yang usia tua, badan kecil, kalau berdesak-desakan, kesenggol saja mudah jatuh. Kalau satu sudah jatuh, biasanya rentetannya panjang,” kata Alwi.
Tragedi Haji terjadi akibat komersialisasi?
Musibah yang terjadi dalam musim haji kali ini juga memunculkan kontroversi komersialisasi haji. Media menulis bagaimana kota suci Mekah bertransformasi menjadi Las Vegas karena dikepung dengan hotel dan mal mewah.
Menurut Alwi, pembangunan fasilitas mewah itu keniscayaan.
“Jemaah haji menuntut kenyamanan fasilitas. Tahun 70-an, kami wukuf di Arafah menggunakan tenda tanpa AC. Sekarang kan semua jemaah maunya pakai AC,” katanya.
Jemaah Haji ONH Plus harus membayar puluhan ribu dolar AS untuk menikmati ibadah haji yang nyaman. Makanan berlimpah. Kamar yang luas dan nyaman. Hotel terdekat dengan Masjidil Haram, kalau perlu halaman hotel menyatu.
“Ada tuntutan dari jemaah haji. Pemerintah Arab Saudi merespon tuntutan itu. Ini yang saya maksudkan dengan keniscayaan,” kata Alwi.
Situasi ini juga berlaku untuk tuntutan meningkatkan kuota haji, karena tingginya keinginan melaksanakan ibadah haji.
Alwi mensinyalir, separuh dari jemaah haji berasal dari kelas menengah ke atas yang sangat peduli dengan kenyamanan dalam beribadah. Sisanya dari kelas menengah ke bawah yang harus menabung tahunan untuk beribadah haji.
“Yang begini ada dari Indonesia, tapi paling banyak dari Afrika dan negara berkembang lain,” kata Alwi.
No Comment