Kita Tak Perlu Malu-malu Akui Potensi Warga Tionghoa
Di hari raya Imlek, kita perlu waspada terhadap kesenjangan ekonomi yang kian melebar
Ketika saya menulis catatan ini, hujan deras mengguyur Jakarta dan daerah sekitarnya. Bagi warga Tionghoa, hujan di hari pertama tahun baru kalender Lunar, atau kita kenal dengan Lebaran Imlek, adalah pertanda berkah melimpah selama satu tahun ini, tahun Monyet Api.
Saya yakin warga bukan Tionghoa seperti saya ikut mensyukuri berkah hujan, karena baik untuk pertanian. Hujan yang cukup memberi harapan hasil panen produk pangan yang baik. Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan para menterinya merumuskan strategi stabilisasi harga pangan.
Harga produk pangan memang merambat naik belakangan ini. Padahal kehidupan petani tetap saja miskin, bahkan ikut kena imbas kenaikan harga karena petani juga menjadi konsumen. Asosiasi petani mencurigai ada permainan harga yang dipicu kongkalikong para importir.
Jokowi merespons dengan memerintahkan TNI dan Polri untuk rajin turun ke lapangan memonitor harga pangan, termasuk mencermati kemungkinan pelanggaran hukum terkait permainan harga dan pasokan.
Saya termasuk yang optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan membaik pada 2016. Proyek infrastruktur digenjot. Mestinya lapangan pekerjaan bertambah, konsumsi naik, pada ujungnya akan menggairahkan ekonomi. Tetapi, saya juga khawatir bahwa perbaikan kondisi ekonomi tidak dibarengi dengan distribusi pendapatan dan kekayaan yang membaik.
Di sini saya teringat pada diskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketika bertemu dengan Forum Pemimpin Redaksi di kediaman resmi Wapres, pada 22 Desember 2015.
“Saya risau dengan angka yang diterbitkan Bank Dunia, bahwa 1 persen orang Indonesia menguasai 50 persen kekayaan Indonesia,” kata Pak JK. Dia merujuk kepada Laporan Bank Dunia yang berjudul Kesenjangan di Indonesia Meningkat. Laporan diluncurkan pada awal Desember 2015.
Bank Dunia mencatat tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya pun paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Kondisi ini bisa menimbulkan dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi konflik sosial.
Menurut data Bank Dunia, angka Koefisien Gini yang menunjukkan ketimpangan ekonomi terus meningkat, dari 30 poin pada 2000 menjadi 41 pada 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Koefisien Gini Indonesia sekarang sama seperti Uganda dan Pantai Gading, serta lebih buruk dari India.
Saya duduk satu meja dengan Pak JK saat makan malam itu. Kami membicarakan bahwa rumah-rumah di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, misalnya, kian banyak berpindah ke tangan pengusaha keturunan Tionghoa. Dulunya, rumah-rumah itu dimiliki pejabat era Orde Lama dan Orde Baru.
Setelah pensiun, mereka tak lagi mampu membayar pajak tanah dan bangunan dengan nilai yang makin tinggi. Mereka lantas memilih “melepaskan” rumah di kawasan elit itu dan pindah ke kawasan lain yang lebih murah.
Saya belum sempat mengecek datanya, misalnya, ke Kelurahan Menteng. Kediaman resmi Wapres ada di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Saya berasumsi bahwa Wapres JK mengetahui “peta” kepemilikan rumah mewah yang notabene adalah tetangganya juga.
“Pentingnya memperbaiki segera kondisi ekonomi juga dipicu masalah kesenjangan ini. Kita tidak mau apa yang terjadi pada 1998, kerusuhan sosial, terulang lagi,” kata Pak JK.
Potensi konflik sosial makin besar ketika harga pangan kian meningkat dan tidak terjangkau. Menurut saya, hal ini disadari oleh Jokowi sehingga menugasi TNI. Panglima TNI Gatot Nurmantyo kebetulan sangat peduli dengan bahaya politik yang dipicu oleh harga pangan.
Dalam wawancara saya dengan Gatot saat masih menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, dia mengatakan bahwa kelangkaan pangan dan kenaikan harga yang dipicu oleh permainan impor, adalah isu proxy-war.
Saya teringat isu ini manakala kita merayakan kegembiraan Hari Raya Imlek. Ada rasa syukur bahwa satu isu yang paling krusial sebelum era reformasi, soal diskriminasi bagi warga Tionghoa, perlahan terkikis, dan semoga habis.
Lilyana Natsir, atlet nasional bulutangkis kita, mengakui bahwa pasca reformasi situasinya membaik bagi warga keturunan Tionghoa. Komika dan sutradara Ernest Prakarsa bisa mengangkat keseharian warga Tionghoa dalam filmnya. Serta generasi ketiga warga Tionghoa bisa merayakan Imlek tanpa perlu sembunyi di balik pintu rumah.
Adalah Presiden Abdurahman “Gus Dur” Wahid yang membuka jalan bagi warga Tionghoa untuk dapat merayakan Imlek secara terbuka, dan menikmatinya sebagai hari libur nasional. Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 yang memutuskan warga Tionghoa boleh merayakan Imlek sebagaimana di era Presiden Sukarno. Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional berlaku sejak 2003.
Jadi, sesudah era reformasi, Ernest Prakarsa dan jutaan warga Tionghoa tak perlu lagi mengajukan surat izin libur kepada sekolah atau perusahaan jika ingin libur di hari Imlek. Menurut Sensus 2010, ada 2,8 juta warga Tionghoa di Indonesia.
Namun pengusaha Sofjan Wanandi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, memperkirakan ada 10 juta warga Tionghoa. Sebagian besar enggan menunjukkan jati diri sebagai warga Tionghoa.
Mengapa sebagian besar enggan? Jawabnya beragam. Seorang pengusaha keturunan Tionghoa bercerita kepada saya bahwa keengganan antara lain dipicu oleh trauma kerusuhan sosial Mei 1998. Bekasnya memang masih ada.
Coba saja kita berkunjung ke perumahan di kawasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Di pemukiman yang mayoritas dihuni warga Tionghoa, pagar tembok atau besi melindungi rumah mereka. Pagar tinggi menunjukkan kewaspadaan tinggi.
Harus diakui, meskipun Konghucu sudah diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, dan Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional, sebagian masyarakat masih memandang curiga kepada warga Tionghoa. Kecurigaan dipicu oleh fakta bahwa sebagian besar orang kaya memang dari etnis Tionghoa. Ada kecemburuan.
“Padahal mereka adalah pekerja keras dan memang punya kemampuan tinggi dalam berbisnis. Ulet,” kata Pak JK. Saya sepakat. Dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes, hanya satu dari 20 orang di peringkat pertama yang dari pengusaha pribumi, yaitu Chairul Tanjung dari Grup Para dan Trans Corp.
Nostalgia Deklarasi Jimbaran
Di era Orde Baru, ketika kental nuansa “kerjasama” antara rezim Soeharto dan pengusaha, fakta bahwa sekitar 3 persen warga negara Indonesia menguasai 70-an persen kekayaan Indonesia menjadi sensitif. Ini memicu insiatif yang menurut saya gagal, tapi pernah dicoba oleh pemerintah Soeharto, yaitu Deklarasi Jimbaran.
Deklarasi Jimbaran diumumkan pada Agustus 1995 di Hotel Intercontinental, Jimbaran, Bali. Sebanyak 96 pengusaha, mayoritas para taipan keturun Tionghoa, mendapat “penataran” mengenai butir-butir Pancasila selama dua hari, lalu menandatangani persetujuan menyisihkan dua persen dari keuntungan bersih setelah pajak, untuk membantu usaha kecil dan menengah.
Jumlah duit yang bakal disalurkan oleh pengusaha yang mendukung rezim Soeharto itu sekitar Rp 100 triliun. Tujuannya menyukseskan target pertumbuhan ekonomi 7,2 persen dan investasi Rp 818 triliun.
Presiden Soeharto saat itu mendapat masukan bahwa kesenjangan ekonomi kian timpang. Jika tidak diatasi segera akan memicu konflik sosial. Entah mengapa para taipan saat itu sepakat. Juru bicara kelompok Jimbaran saat itu, Sofyan Wanandi, menggarisbawahi perlunya mengatasi kesenjangan. Caranya, ya pola karitatif itu, menggelontorkan dana yang disisihkan pengusaha kaya.
Berhasil? Deklarasi Jimbaran ditindaklanjuti Soeharto dengan menerbitkan Instruksi Presiden No. 90 tahun 1995. Tapi tak pernah efektif. Karena banyak yang menganggap praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme yang terjadi saat itu yang membuat kesenjangan melebar.
Duit berapapun akan habis tak berbekas selama penguasa membiarkan praktek kartel, monopoli usaha, dan KKN merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin kian tergencet. Kemarahan yang menemukan puncaknya pada reformasi Mei 1998. Kemarahan itu tidak hanya kepada Soeharto, tetapi juga pendukungnya. Termasuk kalangan pengusaha dan masyarakat Tionghoa.
Ada lagi pola “injak-kaki” yang terjadi di era Soeharto. Dalam bukunya, Ethnic Chinese in South East Asians, Leo Suryadinata menceritakan berdirinya PT Dua Satu Tiga Puluh pada 16 Februari 1996. Perusahaan didirikan untuk menampung dana yang diperlukan untuk membangun pesawat N-2130, yang diproduksi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang saat itu dipimpin oleh BJ Habibie. Dana yang diperlukan Rp 4 triliun, sumbernya konglomerat.
Presiden Soeharto menyaksikan penandatanganan Memorandum of Understanding antara Saadilah Mursjid sebagai direktur utama PT 2130, dengan BJ Habibie sebagai dirut IPTN. Berdiri di samping Presiden Soeharto, pengusaha Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaja, Henry Pribadi, dan Prayogo Pangestu. Semua taipan keturunan, kecuali Sudwikatmono yang notabene masih saudara dengan Soeharto.
Saya teringat diskusi dengan pendiri dan pemimpin umum Koran Kompas, Pak Jakob Oetama, pada 2001, lima tahun setelah reformasi. Pak Jakob mengingatkan pelajaran mahal dari rusuh Mei 1998, dan praktek KKN yang terjadi selama Orde Baru.
Orang-orang kaya, terutama keturunan Tionghoa, diperlakukan sebagai “pundi-pundi” untuk mendukung proyek penguasa. Mereka pasrah, dan menuruti kehendak itu, selain karena menikmati keuntungan, juga karena memerlukan proteksi secara politik dan bisnis. Ini membuat rakyat marah.
Ironi, betapa selama berkuasa Soeharto ditopang oleh pengusaha keturunan, sementara hak-hak politik dan sipil warga Tionghoa justru dalam tekanan. Akibatnya mereka yang kaya mencari “perlindungan” dengan berkoalisi dengan kekuasaan di semua level, dari pusat sampai daerah. Bagaimana dengan yang hidup biasa-biasa saja bahkan kondisi ekonomi pas-pasan? Sebagian dari mereka ikut jadi korban rusuh Mei 1998.
Pak Jakob menyarankan agar pemerintah dan kita semua mengajak warga Tionghoa ke “tengah”, membuka semua akses, termasuk dalam proses politik, sehingga mereka terwakili. Mengajak ke tengah artinya melibatkan dalam semua kegiatan bernegara dan berbangsa, dilandasi aturan yang berlaku untuk semua.
Ada kesetaraan dalam regulasi dan penegakan hukum. Semua diperlakukan sama, apapun etnisnya. Tidak menjadikan mereka hanya sekedar pundi-pundi, sehingga terbuka peluang untuk meminta perlakuan istimewa, karena tidak ada makan siang yang gratis. Tetapi semua dibuat transparan dan terbuka.
Kita tak perlu malu-malu mengakui potensi mereka. Tetapi jika ada yang melanggar hukum dan aturan, penegakan dilakukan setara sebagaimana warga lainnya. Saya mengingat ini semua di hari Imlek.
Keadaan memang membaik. Bahkan kita punya gubernur memimpin ibu kota dari etnis Tionghoa. Anggota DPR. Bahkan menteri di kabinet. Tapi rasa curiga terhadap mereka, terutama kaum kaya, masih besar. Kecemburuan kental, dan biasanya warga Tionghoa yang jadi sasaran. Dan, celakanya, kesenjangan kian besar pula.
Bagaimana kita sebagai warga menyikapinya, ini perlu lebih dari sekedar ramai-ramai mengucapkan Gong Xi Fa Chai.
No Comment