HomeBukuDi Balik Kejatuhan Gus Dur, Peran Arifin Panigoro Naikkan Megawati (1)

Di Balik Kejatuhan Gus Dur, Peran Arifin Panigoro Naikkan Megawati (1)

Ilustrasi dari buku Sidarto Danusubroto, Dari Ajudan ke Wakil Rakyat

Beberapa kali ada yang “menyenggol” saya di Twitter, soal peran ikut menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.  Ingin rasanya tertawa #ngakak.  Jurnalis, tidak punya kekuatan politik.

Tapi, ya saya maklumi.  Kurang informasi lantas merumuskan konklusi memang berbahaya.

Di tahun reformasi1998, saya bekerja di Majalah Panji Masyarakat, sebagai wakil pemimpin umum. Tahun 1999 saya menjadi pemimpin redaksi.  Majalah ini sangat kritis kepada Soeharto dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang notabene gabungan antara tiga angkatan di Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi.

Saya dan tim redaksi Panji meliput dari dekat peristiwa reformasi Mei 1998, termasuk rapat-rapat di balik layar para top politisi dan tokoh-tokohnya.  Saya tergabung dengan Editor’s Club, sebuah organisasi tanpa bentuk (OTB), komunitas pemimpin redaksi, editor eksekutif dan senior media.

Kami bertemu rutin, off the record, dengan sejumlah petinggi, tokoh penting dalam gerakan reformasi. Kami  mengikuti kisah di balik layar transisi pemerintahan dari Soeharto, ke Gus Dur, lantas ke Megawati Soekarnoputri.

Laporan jurnalistik yang kami buat ada di Majalah Panji, yang sayangnya tidak ada dalam bentuk digitalnya.  Saya  pun tidak menyimpan bundel majalah karena menumpuk, menghabiskan rak buku. Mengandalkan ingatan saja tak cukup.

Untuk memberikan gambaran pergolakan politik saat itu, termasuk peristiwa “impeachment” terhadap Presiden Gus Dur, saya membagikan kisah yang dimuat oleh Sidarto Danusubroto, dalam buku berjudul, “Dari Ajudan Sampai Wakil Rakyat”. Buku ini diterbitkan tahun 2003 oleh Pustaka Sinar Harapan.

Pak Darto kemudian kita kenal sebagai politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati. Sidarto adalah seorang pensiunan polisi, yang pernah bertugas menjadi ajudan Presiden Sukarno pada 6 Februari – Mei 1967.  Hanya dua minggu pertama dia mendampingi Sukarno dalam posisi presiden aktif. Dia adalah saksi saat Sukarno dihabisi kekuasaannya oleh Soeharto.

Tidak heran, Sidarto lantas dianggap dekat dengan Megawati.  Dia bergabung dengan PDIP, kemudian pernah menjadi anggota DPR RI.  Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengangkat Sidarto menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2019-2024).

Mengenai transisi dari Gus Dur ke Megawati, dia menuliskan seperti ini:

Dalam buku “Polri dalam Cobaan” yang disunting oleh Jenderal Pol (Pur) Kunarto, halaman 56 tertulis sebagai berikut:

“Gus Dur sebenarnya memiliki legitimasi yang kuat, karena ia terpilih hasil Pemilu yang demokratis.  Namun, sayangnya langkah dan tindakannya banyak yang kontroversial.  Kabinet yang dibentuknya, misalkan, langsung mengundang debat politik dan demonstrasi.  Ini terjadi karena ia melikuidasi Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.  Inti perdebatan pada waktu itu adalah : Bolehkah Presiden dengan hak prerogratifnya membubarkan institusi pemerintah yang eksistensinya didasarkan kepada UU?

Reaksi keras yang timbul, akhirnya berhasil juga diredamnya. Gus Dur tampak makin percaya diri.  Ia sepertinya sangat yakin bahwa banyak persoalan bangsa yang bisa diatasi dengan baik.

Ada kehebohan lain, Gus Dur memecat menterinya, Hamzah Haz, Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla (April 2000), dengan alasan yang tidak meyakinkan.  Pemecatan itu berakibat ia mulai kehilangan dukungan dari PPP, PDI Perjuangan dan Golkar, sekaligus memicu keretakan dengan Wapres Megawati maupun Ketua DPR Akbar Tanjung.

Akibat dari pemecatan beberapa menteri Kabinet di atas, mulai timbul kedekatan antara PDI Perjuangan, F-PG dan F-PP.  Kontak-kontak antar Fraksi  dan pertemuan mulai dibangun oleh Saudara Arifin Panigoro, yang kemudian dikenal sebagai pertemuan Lintas Fraksi. 

Arifin Panigoro, seorang pengusaha terkemuka, alumni ITB, yang mempunyai pergaulan yang luas, saya kenal sejak dia bergabung dengan PDI Perjuangan menjelang Pemilu 1999, pada kesempatan pelantikan yang bersangkutan di Alun-Alun Cipanas, di muka massa PDIP di daerah Bogor.  Sementara itu Menteri Kwik Kian Gie mengundurkan diri dari Kabinet Gus Dur pada bulan Juli 2000, sikap ini di follow-up oleh Kwik Kian Gie dengan menggelar Forum Curhat (curah pendapat) Lintas Partai pada 11 November 2000.

Forum curhat ini kemudian secara berkala ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan Lintas Fraksi. Arifin Panigoro pada titik berat masalah-masalah sosial politik nasional.  Yang aktif hadir hampir sama dengan Forum Lintas Fraksi Arifin Panigoro.  Saya aktif di dalam kegiatan di kedua acara Lintas Fraksi tersebut.

Sementara itu muncul kasus lain yang menimpa Gus Dur, yaitu tentang kebocoran dana Bulog sebesar Rp35 miliar, yang melibatkan tukang pijatnya Suwondo.  Suwondo sempat melarikan diri dan menjadi buron.  Akhirnya dapat ditangkap dan mengaku kemana saja uang itu dibagikan.  Dari sini melahirkan “Bruneigate” dan “Buloggate”,  dilanjutkan dengan pembentukan  Pansus Buloggate I, yang digalang oleh tiga partai besar, PDI Perjuangan, Golkar dan PPP.

Pansus Buloggate memicu  diterbitkannya Memorandum I sebagai hasil Sidang Paripurna tentang Buloggate, Bruneigate, pada  1 Februari 2001, yang di dalam Harian Rakyat Merdeka 2 Februari 2001 ditulis sebagai berikut:

  • Dewan menerima secara utuh kesimpulan Pansus Buloggate – Bruneigate yang menyatakan bahwa:
  1. Patut diduga bahwa Presiden Gus Dur telah berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog
  2. Adanya inkonsistensi pernyataan Presiden Gus Dur tentang masalah bantuan Sultan Brunei Darussalam, menunjukkan bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat.

  Keputusan tersebut diambil melalui voting dengan hasil sebagai berikut:

  1. Menerima kesimpulan Pansus : 393 suara berasal dari 8 fraksi, termasuk fraksi TNI/Polri
  2. Menolak kesimpulan Pansus : 4 suara berasal dari Fraksi PDKB
  3. Walkout dari sidang : 50 suara semuanya dari Fraksi PKB. Gus Dir adalah inisiator pembentukan PKB, partai yang diniatkan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU)

Memorandum I memberikan waktu tiga bulan kepada Gus Dur untuk  memberikan penjelasan.  Ternyata waktu yang disediakan tidak diindahkan oleh Gus Dur.

DPR menindaklanjuti dengan melahirkan Memorandum II pada 30 April 2000, dengan voting 363 suara setuju, 52 suara menolak dan 42 suara abstain, yang memberikan waktu satu bulan untuk  Gus Dur agar mengindahkan Memorandum II tersebut. 

Kondisi ini lebih diperburuk dengan ancaman Dekrit dari Presiden yang arahnya akan membubarkan DPR sebelum berlangsungnya Sidang Istimewa. 

Dekrit Presiden baru efektif kalau  memperoleh dukungan TNI dan Polri, yang kala itu sangat disangsikan.  Upaya-upaya untuk menggolkan Dekrit Presiden dilakukan dengan mengganti Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono dengan Agum Gumelar.

Juga akan dilakukan penggantian KSAD dari Jenderal Endriartono Sutarto maupun Kapolri Jenderal Pol Bimantoro. Upaya penggantian KSAD tidak berhasil dilakukan karena kompaknya sikap jajaran Angkatan Darat. 

Upaya penggantian Kapolri dilakukan dengan pengangkatan Mayjen Chaeruddin Ismail sebagai Wakapolri pada tanggal 1 Juni 2001, satu jabatan yang sudah dihapuskan di dalam struktur organisasi kepolisian yang baru. 

Di dalam buku “Polri dalam Cobaan”, di halaman 77 ada bagian yang membahas perihal pelantikan Wakapolri tersebut :

Dengan pertimbangan bahwa perkembangan akhir-akhir ini membutuhkaan segera adanya penyesuaian Polri, Presiden kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 40 dan 41/Polri/2001 yang menonaktifkan Jenderal Surojo Bimantoro sebagai Kapolri.  Selanjutnya terhitung sejak 1 Juni 2001, wewenang dan tanggungjawab Kapolri dilaksanakan oleh Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin.

Berdasarkan Keppres itu pula,  Wakapolri Komisaris Jenderal Pol Panji Atmosudirjo, disebutkan akan segera memasuki usia pensiun, sehingga dipandang perlu mengangkat penggantinya,

Komisaris Jenderal Pol Chaeruddin Ismail dinilai memenuhi syarat untuk diangkat sebagai penggantinya.

Pembacaan Keppres itu dilaksanakan oleh Sesmil Presiden Marsdya TNI Budi Santosa.

Pelantikan Chaeruddin Ismail hanya dihadiri oleh Menko Polhukam Agum Gumelar, Mendagri Surjadi Sudirja, Menlu Alwi Shihab, Jaksa Agung Baharuddin Lopa, Kepala BIN Arie J. Kumaat.  Sedangkan Kapolri maupun para Kepala Staf Angkatan dan Panglima TNI tidak hadir.

Tentang penonaktifan dirinya, Bimantoro ketika ditanyai wartawan hanya menjawab singkat, “kita lihat nanti”. “. 

Sementara mengenai Wakapolri, dia menegaskkan berdasarkan validasi peraturan Polri yang baru, di dalam struktur tidak ada jabatan Wakapolri.  Ia menjawab tidak tahu ketika dia ditanya apakah ini merupakan strategi presiden menonaktifkan dirinya tanpa persetujuan  DPR.

Yang jelas, seperti ditulis Suara Pembaruan, 2 Juni 2001, Presiden dengan keputusan itu melantik Komisaris Jenderal Pol Drs Chaeruddin Ismail, sebagai Wakapolri menggantikan Komjen Pol Drs Pandji Atmasudirdja, ini telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri

Tiga jam sebelum pelantikan, saya menghubungi Brigadir Jenderal Yusuf Sudradjat, Wakasespim Polri, untuk disampaikan kepada Mayjen  Chaeruddin Ismail bahwa saya ingin bicara di telpon. Beberapa menit kemudian Mayjen Chaeruddin Ismail mengontak saya melalui telepon dan minta pendapat saya tentang rencana pelantikan siang hari itu sebagai Wakapolri.  Saya jawab bahwa Kapolri Bimantoro selama ini dikenal sebagai Pimpinan Polri yang menolak rencana Dekrit Presiden, kalau saudara Chaeruddin menerima pengangkatan Presiden sebagai wakapolri, akan menimbulkan kesan bahwa dia adalah pendukung Dekrit Presiden.  Saya sampaikan agar sebelumnya lapor kepada Kapolri Bimantoro.

Dijawab Chaeruddin Ismail, bahwa selama ini sulit mengadakan kontak telepon dengan Kapolri.  Sesaat setelah itu saya mengontak Kapolri Bimantoro mengenai upaya Saudara Chaeruddin untuk melapor pada Bimantoro, yang katanya sulit dihubungi.  Bimantoro menjawab bahwa justru sebaliknya dia yang sulit mengontak Chaeruddin Ismail.  Handphone-nya selalu dalam posisi tidak aktif.  Saya sampaikan upaya saya untuk mencegah acara pelantikan tersebut demi menjaga keutuhan Polri.

Penjelasan saya di atas sekaligus sebagai klarifikasi, dari apa yang ditulis oleh penyunting jenderal Pol (Purn) Kunarto dalam buku “Polri dalam Cobaan”, halaman 116, bahwa hubungan saya dengan Jenderal Chaeruddin Ismail terjadi sesudah, yang benar adalah sebelum yang bersangkutan dilantik di Istana. Keppres No. 40 dan 41 diikuti lagi dengan lahirnya Keppres No. 49 Tahun 2001, yang memberhentikan Bimantoro dari jabatan Kapolri, dan selanjutnya Wakapolri diangkat menjadi Pelaksana Tugas Kapolri. 

Bimantoro selanjutnya ditugaskan sebagai Dubes RI di Malaysia.

Perkembangan ini jelas mengarah kepada kebutuhan dukungan Dekrit Presiden dari jajaran Polri, di bawah kepemimpinan Pelaksana Tugas Kapolri Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail.  Dalam kegiatan Lintas Fraksi Arifin Panigoro melawan rencana Dekrit Presiden. 

Saya terlibat dalam kesibukan sebagai penghubung Lintas Fraksi dengan kubu Kapolri non aktif, Bimantoro, agar dia tidak menyerah dengan tekanan dari Presiden dan tetap bertahan pada jabatannya, menghindarkan serah terima jabatan maupun penyerahan tongkat komando.

Dalam rapat-rapat di Jalan Pattimura, kediaman resmi Kapolri, yang nampak masih aktif  bertahan dan mendukung kepemimpinan Bimantoro antaralain adalah : Kapolda Metro Jaya Sofyan Jacoeb, Deputi Operasional Polri Syahruddin Pagar Alam, Irjen (Pol) Didi Widayadi dan Irjen Pol Taufikurrahman.  Para perwira tinggi yang lain pada umumnya dalam posisi “standby” tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam pertempuran politik ini.

Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Senin dini hari Pukul 01.05 tanggal 23 Juli 2001 memberlakukan Dekrit.  Presiden meminta agar jajaran TNI dan Polri mengamankan Dekrit tersebut.  Isi Dekrit itu antaralain: membekukan MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Indonesia dan membentuk badan-badan yang diperlukan untuk mengadakan Pemilu dalam waktu satu tahun, menyelamatkan gerakan reformasi total dan membekukan Partai Golkar, sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung mengenai hal itu.

Pemberlakuan Dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid ternyata telah menggerakkan perkembangan politik secara cepat pada 23 Juli dini hari.  Kegiatan Lintas Fraksi di kamar kerja Arifin Panigoro (di gedung MPR) berlangsung sampai menjelang Subuh. Sebagai catatan, Arifin Panigoro adalah ketua fraksi PDIP di MPR.

Menurut rencana, Sidang Istimewa MPR akan dimulai pada Pukul 08.00 wib dengan tiga acara, yaitu Pidato Ketua MPR Amien Rais, Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dan Pengangkatan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Dekrit yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid Senin 23 Juli dini hari benar-benar tumpul.  Baik TNI maupun Polri yang diharapkan mengamankan Dekrit untuk mencegah Sidang Istimewa MPR, tidak menjalankan perintah Presiden Gus Dur.  Sebaliknya, MPR mempercepat Sidang Istimewa yang semula Pukul 10.00 wib, dimajukan menjadi Pukul 08.00 wib.

Sesuai dengan jadwal acara yang disepakati. Senin, 23 Juli 2001, Sidang Istimewa MPR mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk menyampaikan pertanggungjawaban, namun hingga Sidang dibuka Gus Dur tidak hadir karena menganggap Sidang Istimewa MPR tidak konstitusional.

Fraksi-Fraksi MPR secara serempak menolak Maklumat/Dekrit Gus Dur.  Dalam voting, 601 anggota MPR yang hadir, 599 menolak dan 2 abstain, termasuk Fraksi TNI/Polri sebanyak 38 anggota, dengan tegas menyatakan penolakannya yang disambut meriah dalam forum Rapat Paripurna tersebut. 

Berdasarkan hasil voting itu secara resmi MPR menolak Maklumat Presiden.  Senin sore hari itu juga, MPR memberhentikanAbdurrahman Wahid sebagai Presiden RP dan mengangkat Wapres Megawati sebagai Presiden sampai habis masa jabatan kepresidenan tahun 2004.

Di sini lah sejarah permainan politik kembali terulang.  Kalau pada pemilihan presiden 1999, Megawati tersingkir oleh Koalisi Poros Tengah, yang digalang Amien Rais, sekarang pada gilirannya Gus Dur tersingkir oleh Koalisi PDI Perjuangan dan kekuatan-kekuatan Golkar serta sebagian Poros Tengah. Harus diakui bahwa penggalangan Lintas Fraksi Arifin Panigoro dan Amien Rais sangat berperan di dalam menggalang kekuatan penggusuran Gus Dur. Dan juga bukan rahasia lagi bahwa sebagian tokoh-tokoh PDI Perjuangan ada yang tidak setuju Gus Dur dijatuhkan pada saat itu.  Mereka berpendapat bahwa melawan Gus Dur adalah melawan PKB yang merupakan “partner strategis” PDI Perjuangan.  Mereka ini condong kepada pandangan akan lebih baik Mega ditampilkan pada 2004.

Dalam politik, “there is no eternal friend, there is only eternal interest” (dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi).

Kelompok Lintas Fraksi Arifin Panigoro, di mana saya terlibat di dalamnya, berpendapat now or never, Mega harus takeover pemerintahan saat itu juga, pada saat sebagian besar Fraksi MPR RI mendukung Megawati, bahkan juga segenap jajaran TNI dan Polri kompak di belakang sikap DPR/MPR RI. 

“Sidang Istimewa 23 Juli 2001 merupakan suatu puncak dari akumulasi ketidakpuasan terhadap  pemerintahan Abdurrahman Wahid yang sering membuat statement-statement politik yang kontroversial, mencopot dan mengangkat menteri seenaknya sendiri, dan last but not least, mengacak-acak jajaran TNI maupun Polri.  Memorandum I dan II adalah media pintu jatuhnya Gus Dur,” demikian Sidarto.

(bersambung ke bagian II, soal peran Arifin Panigoro dan Lintas Fraksi)

 

 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Wapres AS Kamala Harris Soal Nilai-Nilai Yang Diwariskan Ibu dan Perempuan Pendahulunya
Next post
HUT, Bertambah Usia In The Time of Corona

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *