Kepala BNPT Suhardi Alius: Anak Teroris jangan Dimarjinalkan
JAKARTA, Indonesia Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius langsung tancap gas sejak diangkat oleh Presiden Joko Jokowi Widodo pada 20 Juli 2016. Setiap pekan dia berkeliling ke berbagai daerah untuk mengecek situasi terkini para narapidana kasus terorisme.
Ada 242 napi teroris yang tersebar di 70 lembaga pemasyarakatan dan dua rumah tahanan, kata Suhardi dalam wawancara khusus dengan Rappler, Rabu pagi, 12 Oktober 2016. Suhardi baru kembali dari menghadiri serah terima jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Suhardi Alius pernah menduduki jabatan ini dua tahun lalu.
Selain memantau pembinaan terhadap narapidana teroris, Suhardi melanjutkan pekerjaan yang dirintis pendahulunya dalam program deradikalisasi. Tetap ada dua pendekatan, yaitu pendekatan penindakan (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach). Tapi bisa saya katakan, kami fokus kepada pendekatan lunak, yang dikemas betul-betul menyentuh kepada semua variabel yang menyebabkan tindakan terorisme, ujar Suhardi.
Selain deradikalisasi untuk para napi, BNPT juga melakukan kontra radikalisasi bagi mereka yang belum terpapar melakukan tindakan teror. Ini mencakup keluarga, yaitu istri dan anak, pula masyarakat sekitar di mana mereka tinggal. Tengoklah kisah dalam film Jihad Selfie. Itu belum terpapar, tapi doktrin terorisme, bisa diakses melalui media sosial, kata Suhardi.
Dia juga cemas melihat usia pelaku terorisme yang kian belia. Mereka yang dalam usia belia banyak mengakses informasi dari internet. Data BNPT menunjukkan orang Indonesia dalam rentang usia 15-30 tahun menghabiskan sedikitnya tiga jam berselancar di dunia maya menggunakan telepon pintar.
Tabel 1. Peta Sebaran Narapidana Terorisme
Menangani masalah sosial bagi keluarga dan anak agar tidak tergoda mengikuti jejak ayahnya menjadi teroris, perlu peran kementerian sosial. BNPT kemudian mengkoordinasikan 17 kementerian dan lembaga untuk terlibat aktif. Kita harus tangani dari hulu. Dari penyebab, sampai ketika napi kembali ke masyarakat, kata Suhardi. Dia menggarisbawahi pendekatan lunak menjadi kunci mencegah aksi berikutnya. Mengurangi keinginan orang bergabung dengan organisasi teroris. Anak napi teroris jangan dimarjinalkan. Harus kita rangkul. Jadikan anak asuh. Keluarga diberikan penghidupan yang layak, kata Suhardi.
Dari lapangan dan data yang ada, kita mengetahui salah satu penyebab adalah soal ekonomi. Itu yang antara lain menjadi motif mereka yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan Islamic State of Iraqi and Syria (ISIS). Meskipun para anggota ISIS mendapatkan tekanan berat belakangan ini, minat orang Indonesia berangkat ke Suriah masih ada. Kementerian Luar Negeri mencatat ada 300 warga Indonesia yang dideportasi balik ke Indonesia. Ini harus kita tangani juga, ujar Suhardi. Di sini peran lembaga imigrasi yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Kementerian Agama dilibatkan untuk menerjunkan ulama yang bisa mendampingi petugas dan mantan jihadi dalam program deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Ada pula Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan yang memonitor lalu-lintas pendanaan untuk kegiatan teroris.
No Comment