Garuda Pancasila Kepalanya Pernah Gundul
Presiden Jokowi memimpin upacara Hari Lahir Pancasila, pada 2017. Sumber foto: www.presidenri.go.id
HARI ini, 1 Juni 2018, adalah hari libur nasional. Sesuai Keputusan Presiden Jokowi, yang ditetapkan pada 2016, Hari Lahir Pancasila dinyatakan sebagai hari libur. Masyarakat diminta merayakan hari kelahiran ideologi negara itu.
Ketika Pancasila dipidatokan oleh Bung Karno, dalam pidato 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, belum terbayang bagaimana lima asas negara itu akan disimbolkan. Bahkan pada 18 Agustus 1945, hari pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi negara, negara baru Indonesia juga belum memiliki lambang negara.
Lambang Indonesia, ketika itu masih Hindia Belanda, 1800-1949.
Di era Perang Kemerdekaan, 1945-1949, lambang negara Indonesia sama dengan lambang Kerajaan Belanda. Barulah setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, menyusul Konperensi Meja Bundar pada 1949, Pemerintah Indonesia memikirkan perlunya Indonesia, ketika itu masih berbentuk serikat, memiliki lambang negara. Koordinatornya adalah Menteri Negara Tanpa Portofolia, Sultan Hamid II. Panitia teknisnya: Ketua, Muhammad Yamin; anggota: Ki Hadjar Dewantara, MA Pelupessy, Moh. Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka.
Sultan Hamid II adalah raja Kesultanan Pontianak. Ia diangkat menjadi menteri Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949. Mohammad Yamin adalah bekas anggota BPUPKI yang banyak berperan dalam sidang-sidang perumusan dasar negara Indonesia. Salah saatu gagasnnya adalah perlunya hak asasi manusia dimasukkan ke dalam dasar negara. Ia juga menggagas, wilayah Indonesia setelah merdeka haruslah mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya (ketiganya kini masuk Malaysia), Timor Portugis (kini Timor Leste), dan semua wilayah Hindia Belanda.
Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh pendidikan dan kebudayaan, MA Pelupessy adalah tokoh pergerakan dari Indonesia Timur, Moh. Natsir adalah tokoh Islam yang kemudian menjadi perdana menteri. Adapun RM Ng. Poerbatjaraka adalah ahli sastra Jawa kuno, yang kemudian mengajar di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Universitas Udayana.
Ada dua rancangan lambang negara yang masuk, tetapi usulan Sultan Hamid II yang diterima. Rancangan Mohammad Yamin ditolak karena dinilai terlalu kental unsur Jepang-nya: ada garis-garis sinar matahari, mirip yang ada di bendera Jepang.
Burung garuda di era Republik Indonesia Serikat.
Rancangan Sultan Hamid II mengalami beberapa perubahan, hingga mencapai bentuk sekarang. Mula-mula Garuda Pancasila mencengkeram pita merah putih, pitanya diganti warna putih bertuliskan ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’; adanya tangan dan bahu manusia mencengkeram perisai, dihilangkan. Perisainya cukup menempel di dada; kepala burung yang tidak berjambul kemudian, atas instruksi Bung Karno, pelukis Istana, Dullah, memberinya bulu-bulu, sehingga lebih enak dilihat.
Bila kepalanya tanpa bulu, burung Garuda akan mirip dengan elang yang jadi lambang negara Amerika Serikat. Apalagi, tulisan di pita, ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’, maknanya sama dengan yang tertulis di pita elang lambang Amerika Serikat: E Pluribus Unum, satu dalam keberagaman.
Sketsa awal burung Garuda Pancasila.
Adapun ide perisai di dada Garuda Pancasila, menurut Sultan Hamid, muncul ketika merancang lambang negara, ia teringat pada ucapan Presiden Soekarno yang meminta hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia. Sila-sila dasar negara, harus divisualisasikan dalam lambang negara.
Presiden Soekarno pertama kali memperkenalkan Garuda Pancasila di Hotel Des Indes, pada 15 Februari 1950. Hotel Des Indes kini sudah tidak ada. Ia kalah bersaing dengan Hotel Indonesia, dan pada 1971 dihancurkan, diubah menjadi perkantoran Duta Merlin.
Penggunaan burung Garuda Pancasila sebagai lambang negara, diputuskan Bung Karno melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara. Bila Anda ingin membaca peraturan itu secara lengkap, silakan klik di sini.
Sultan Hamid dan istri.
Sultan Hamid, sang perancang lambang negara, sayangnya harus mengalami masa hidup kurang menyenangkan. Ia dituduh mendalangi pergerakan pasukan Westerling. Pada 22 Januari 1950, sekitar 800 tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling bikin ulah. Mereka menduduki sejumlah tempat penting di Bandung, setelah membunuh 60 anggota pasukan Republik Indonesia Serikat.
Westerling kemudian merencanakan melakukan kudeta di Jakarta. Gagal, karena rencana itu bocor. Penyelidikan Pemerintah RIS menyimpulkan, dalang semua gerakan ini adalah Sultan Hamid II. Ia pun ditangkap, dan dihukum 10 tahun.
Setelah era reformasi bergulir, intelektual dari Pontianak mengadakan penelitian. Hasilnya, tidak ada bukti bahwa Sultan Hamid akan melakukan kudeta. Pengadilan tak berhasil membuktikan tuduhan itu. Oleh karena itu, vonis bersalah terhadap Sultan Hamid sebetulnya merupakan keputusan yang bisa diragukan kebenarannya. Sultan Hamid wafat di Jakarta pada 1978.
No Comment