Gagal Paham Seruan Netralitas Media Meliput Pilkada 2020
Rabu pagi (21/10/2020) saya mendapat undangan via WhatsApp dari pejabat hubungan masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia. Perihal di undangan yang diberi tanggal 14 Oktober 2020 itu adalah : Undangan Forum Koordinasi dan Konsultasi Informasi Publik dan Media Massa. Undangan diteken oleh Deputi Bidang Koordinasi, Komunikasi, Informasi dan Aparatur, Marsda TNI Rus Nurhadi Sutedjo.
Undangan ditujukan kepada Kepala Biro Humas/Kepala Biro Komunikasi/Kepala Pusat Penerangan/Kepala Pusat Komunikasi, untuk hadir di acara FF membahas tema: “Independensi dan Netralitas Media Massa dalam Pilkada Serentak 2020”.
Bertindak sebagai pembicara adalah Ketua Dewan Pers, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Ketua Komisi Pemilihan Umum dan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia, serta akademisi.
Dalam daftar undangan ada 126 pihak, meliputi wakil kementerian dan lembaga, dinas kominfo seluruh Indonesia dan 16 pemimpin redaksi media massa. Ada 26 peserta diundang ikut secara langsung di acara yang digelar di Hotel Rancamaya, di Bogor itu. Selebihnya mengikuti acara lewat virtual.
Nama IDN Times tidak ada di deretan media yang diundang. Maka saya heran mengapa pejabat humas kemenkopolhuman mengirimkan undangan dan tautan Zoom untuk ikut di acara itu. Saya coba masuk ke tautan, tapi kesulitan. Mungkin karena acara yang dimulai Pukul 08.30 wib itu sudah dipenuhi peserta. Seperti acara-acara serupa yang diadakan pihak pemerintahan, pusat maupun daerah, biasanya acara penuh dan peserta rajin meminta tautan daftar hadir untuk diisi. Nampaknya ini hal penting.
Sore hari saya menerima keterangan tertulis dari kemenkopolhukam soal acara ini:
*Pemerintah Dorong Media Berikan Pemahaman dan Edukasi Tentang Demokrasi Pada Pilkada 2020*
Polhukam, Bogor – Pemerintah mendorong media massa untuk terus memberikan pemahaman tentang demokrasi dan memberikan edukasi kepada masyarakat agar Pilkada Serentak 2020 nanti hasilnya berkualitas. Selain itu juga perlu melibatkan Lembaga/Dinas yang berwenang dalam mendayagunakan Kelompok Informasi Masyarakat (IKM).
Demikian pernyataan Menko Polhukam Moh. Mahfud MD yang dibacakan Deputi Bidang Komunikasi Informasi dan Aparatur Kemenko Polhukam, Rus Nurhadi pada acara FKK dengan tema Independensi dan Netralitas Media Massa Dalam Pilkada 2020 di Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/10/2020).
“Media massa melaksanakan fungsi dan peran melalui sajian pemberitaan harus bersifat netral dan independen, baik pemberitaan sosial, hiburan, dan yang terutama pada pemberitaan politik daerah, maupun nasional,” kata Rus Nurhadi.
Rus Nurhadi mengatakan, media hendaknya tidak menjadi instrumen propaganda dari calon tertentu. Di era globalisasi, media massa telah menjadi alat kontrol sosial dan pilar keempat demokrasi di mana kebebasan pers digunakan sebagai alat ukur untuk melihat demokratis atau tidaknya sebuah negara.
“Demikian juga Pilkada serentak 2020 yang diikuti 270 daerah, keterlibatan media sangatlah besar, karena perannya sebagai penyiar informasi dan isu-isu politik. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya dunia maya, penyebaran informasinya juga tambah meluas dan efektif,” kata Rus Nurhadi.
Namun, lanjutnya, keterlibatan media ini terkadang menjadi agak menyimpang karena penggunaan media yang ekploitatif untuk kepentingan tertentu. Netralitas atau indepedensi media hilang karena dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Hal ini terlihat sangat jelas menjelang agenda Pilkada di periode sebelumnya.
“Banyak media yang ikut menyebarkan berita politik dan kampanye. Proses kampanye di media terkadang tidak hanya hal-hal yang bersifat advertorial, tetapi sering kali juga bahasa-bahasa yang merendahkan calon tertentu,” kata Rus Nurhadi.
Tugas media haruslah sesuai koridornya sebagai penyampai informasi kepada publik yang lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai agen demokrasi. Fungsi ini memaksa media untuk tidak mengeksploitasi berita guna kepentingan tertentu. “Media sebagai agen sosialisasi informasi bagi masyarakat dituntut untuk mengedepankan profesionalisme dan idealisme, karena tanpa itu media akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat,” kata Rus Nurhadi.
Deputi Bidang Dukungan Teknis KPU RI, Eberta Kawima mengatakan KPU dan lembaga pemerintah lainnya bersama Media/Pers harus bersinergi dalam menghadapi hoaks dan isu yang berkembang namun tidak sesuai fakta. Dijelaskan bahwa KPU sendiri selalu menginformasikan update terkait Pilkada 2020 secara intensif kepada media lewat berbagai platform agar informasi terkait data pemilihan, sosialisasi, pendidikan pemilih, hingga informasi penting lainnya mampu menjangkau target-target pemilih melalui media nasional maupun lokal yang tersebar di 9 provinsi dan 270 kab/kota yang menyelenggarakan Pilkada serentak.
“Bagi KPU, media juga berperan sebagai alat untuk meningkatkan partisipasi publik dalam demokrasi terutama dari stigma negatif pasca pandemi Covid-19 yang lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan,” katanya.
Sementara itu, Komisioner Koordib. Pengawasan Isi Siaran KPI, Mimas Susanti menegaskan bahwa lembaga penyiaran mengedepankan prinsip berimbang dan proporsional selama masa kampanye. Selain itu, tidak memihak pada salah satu pasangan calon Pilkada, turut serta menjaga kondusifitas di masa tenang, dan tidak mempengaruhi preferensi pemilih pada hari “H” pemungutan suara.
“Lembaga penyiaran juga harus mengawal hasil pemilihan dalam proses penghitungan suara manual berjenjang dan menjadi instrument resolusi konflik pasca pemilihan,” katanya.
Keterangan pers saya muat sepenuhnya di tulisan blog ini.
Catatan saya adalah:
- Dari judul acara, nampak bahwa pengundang tidak paham soal media massa, apalagi jurnalistik. Tidak ada prinsip netralitas dalam jurnalistik. Gagal paham banyak pihak termasuk pejabat dalam soal media massa ini sifatnya sudah akut. Jurnalis dan media massa diwajibkan untuk bersikap obyektif dan independen. Ini panduan yang bersifat universal. Implementasinya adalah menjalankan Kode Etik Jurnalistik yang disepakati bersama oleh komunitas pers, dan ditetapkan sebagai peraturan Dewan Pers.
- Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik memuat:
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsirannya:
- Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
- Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi
- Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara
- Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
- Dari informasi di atas, jelas bahwa tidak ada netralitas dalam jurnalistik, dan media massa tidak pernah netral. Media harus berpihak kepada kepentingan publik, karena jurnalis diharapkan bekerja untuk kepentingan publik.
- Lantas, mengapa pemerintah dan banyak pihak selalu gembar-gembor soal “netralitas media” apalagi saat jelang Pemilihan Umum? Saya menduga ini adalah sikap yang dipicu oleh bawah sadar. Para politisi, apalagi yang pernah dan sedang duduk di kursi kekuasaan, paham bagaimana salah satu yang harus mereka kendalikan adalah media. Caranya? Macam-macam, termasuk membangun “koalisi” dengan pemilik media dan atau pemimpin media. Untuk media yang dimiliki dan dikendalikan pemilik yang punya kepentingan politik, bahkan menjadi pemimpin parpol, prosesnya lebih mudah. Bangun koalisi, dan media massa itu masuk dalam kelompok propaganda politiknya. Pengalaman ini muncul ketika pemilu digelar. Pernah “berkoalisi” dengan media untuk mendukung kepentingan politiknya, jadi perlu mengingatkan agar media massa netral. Minimal jangan mendukung pihak yang berseberangan dengan kepentingan politiknya, kali ini. Siapa kah media yang dimaksud? Dalam konteks Indonesia jumlahnya menurut Dewan Pers tak kurang dari 47 ribu media. Sebanyak 43 ribu diantaranya adalah media daring. Siapapun bisa membuat media. Termasuk kontestan pemilu dan pilkada.
- Tugas media dalam meliput apapun, adalah menjalankan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik. Untuk meliput pemilu, penekanan kepada memberikan kesempatan yang sama, mengecek rekam jejak kontestan dan menyajikannya kepada pembaca setelah proses verifikasi.
- Pilkada Serentak yang akan digelar 9 Desember 2020, menuai kritik, karena kekuatan politik di pemerintah maupun parlemen bersikeras menjalankan pilkada di tengah situasi pandemi COVID-19. Pemberitaan saat kampanye yang sudah dimulai sejak 26 September sampai 5 Desember 2020. Pemberitaan banyak berkutat soal bagaimana kampanye kerumunan masih dilakukan oleh kontestan yang memperebutkan posisi kepala daerah di 270 kabupaten/kota. Data KPU menunjukkan bahwa 77 persen kampanye masih dilakukan secara tatap muka, membahayakan kesehatan saat pandemi. Satu bulan pertama kampanye, ada 375 pelanggaran protokol kesehatan. Hanya 30 persen calon kepala daerah melakukan kampanye daring, dengan alasan masyarakat belum tertarik metode ini. Pandemi juga membuat kemampuan media massa mengawasi jalannya kampanye tidak memadai.
- Rabu malam saya mengontak Wens Mangut, Ketua Umum AMSI yang menjadi salah satu pembicara. Wens mengatakan, “diskusinya mengarah kepada peran media memberantas hoaks saat Pilkada ini. Kami juga menyampaikan bahwa tidak ada netralitas dalam jurnalistik. Media harus berpihak, kepada kebenaran. Menilai sebuah media tidak boleh hanya dari satu tulisan. Harus membaca semua tulisan yang berkaitan dengan topik tersebut.” Saya setuju dengan pendapat ini.
No Comment