Bangkitnya Industri Pesawat Terbang Jepang dan Tiongkok
Blogpost November 23, 2014 , oleh Pak Jusman Syafii Djamal, mantan Menteri Perhubungan RI
Saat ini jika bicara Industri Pesawat terbang, semua mata tertuju pada kekuatan duopoli Boeing di Amerika dan EADS di Eropa. Jarang yang peduli bahwa kedua industri penerbangan raksasa itu fokusnya pada pesawat terbang besar dengan kapasitas penumpang 150 keatas. Untuk kelas penumpang di bawah 150 ada duopoli lain yang bicara yakni Bombardier di Canada dan Embraer di Brazilia.
Akan tetapi dibalik keriuhan kompetisi diantara kedua raksasa industri itu, diam-diam ada tiga negara yang sedang berbenah diri. Pertama, Rusia dengan ambisi Presiden Putin yang melakukan proses konsolidasi dengan meleburkan 152 industri pesawat terbang kecil kecil milik mereka menjadi satu industri yang dipersiapkan untuk menembus duopoli Airbus dan Boeing. Serta Republik Rakyat Tiongkok dan Jepang.
Rusia sebelumnya memiliki program rancang bangun dan industri manufaktur nya sendiri, yang secara mandiri dari hulu ke hilir mampu melahirkan pesawat terbang versinya sendiri. Kini ia mengkonsolidasikan diri dan menjadikan program rancang bangun dan manufaktur pesawat terbang kelas 100 penumpang dengan nama Sukhoi 100, yang telah diproduksi dan digunakan dipelbagai airline termasuk di Indonesia.
Sukhoi 100 ini pesawat terbang canggih, full digital dan teknologinya merupakan hibrida dari kekuatan teknologi Barat dan teknologi Rusia. Semua komponen dan integrasi sistem berasal dari kemajuan teknologi Barat seperi kendali digital “fly by wire”, sistem propulsi (daya dorong) dan sistem avionikanya. Sementara untuk airframe adalah teknologi Rusia.
Kedua, pada tanggal 18 Oktober 2014, semua ahli industri pesawat terbang dapat kejutan, surprise!” ketika di Nagoya ada acara besar seperti yang sering disaksikan di Toulouse Prancis atau di Seattle Amerika. Di Nagoya dilakukan Roll out pesawat terbang yang meriah. Musik dan paduan suara anak anak disertai lampu warna warni dipadukan dalam upacara yang dihadiri oleh Pejabat Pemerintah dan CEO Maskapai Penerbangan.
Mitsubishi Aircraft Industry dengan bangga mempersembahkan pesawat terbang baru dengan kapasitas 92 penumpang. Pesawat terbang ini boleh dikatakan merupakan pesawat dengan teknologi mutakhir saat ini. Engine nya menggunakan Pratt and Whitney PurePower, yang mampu melahirkan tenaga dorong dengan efisiensi bahan bakar 20 % lebih rendah dibanding engine terbaru lainnya.
Sebelumnya Mistsubishi dikenal sebagai pemasok atau industri komponen Boeing. Sayap “full composite” dari Boeing 787 dimanufaktur di Mistsubishi. Kini ia pindah menjadi Sistem Integrator. Menciptakan pesawat terbang dari awal hingga akhir, karya cipta engineer nya sendiri. Mitsubishi secara dramatis ingin menunjukkan bahwa Jepang kini tidak boleh dipandang sebelah mata dalam industri pesawat terbang. Didukung biaya pengembangan pesawat sebesar US$ 1,7 milyar dolar, Mitsubishi Regional Jet (MRJ) dikembangkan mengikuti jejak filsafat rancang bangun Eropa dan Amerika, yakni “family concept”. Ada MRJ kelas 78 tempat duduk dan ada MRJ kelas 92 tempat duduk.
Ambisi Mitsubishi adalah ingin mendapatkan bagian dari kue pertumbuhan permintaan pesawat terbang di kawasan Asia Pacific, yang diprediksi hingga tahun 2033 sebesar US$ 5,2 triliun dolar. Sebanyak 33 % diantara permintaan pesawat terbang itu akan datang dari Asia Pacific. Ambisi Jepang dalam memperebutkan kue pertumbuhan industri maskapai penerbangan di Asia Pacific ini tidak berlebihan. Sebab dalam waktu yang hampir sama Tiongkok juga telah melahirkan pesawat Regional dalam kelas yang sama yakni 92 Penumpang.
Ketiga, Comac Industri Pesawat Terbang Tiongkok yang berlokasi di Xian, akhir tahun 2014 direncanakan akan men-deliver pesawat terbang ARJ21-700 ke maskapai penerbangan Chengdu. Kekuatan industri penerbangan Tiongkok dalam 15 tahun terakhir ini telah bangkit, tak dapat dipandang sebelah mata. di Tianjing, Airbus mendirikan pabrik perakitan Airbus A320 yang ketiga. Industri pesawat terbang Tiongkok, juga telah melangkah lebih jauh dengan merancang bangun dan memproduksi pesawat terbang 168 seater yang secara langsung akan “head to head” dengan Airbus dan Boeing. Pesawat terbang C919 direncanakan akan terbang perdana September 2015.
Perusahaan ini sedang membangun kawasan industri manufacture dengan kapasitas 150 pesawat pertahun di distrik Pudong, Shanghai. Tiga kali lipat dari kapasitas “assembly line” Airbus di Tiangjin. Kebetulan sudah dua kali saya diundang untuk menyaksikan kemajuan industri penerbangan Tiongkok ini. Sangat impressip. Terstuktur Sistematis dan Masif.
Kini Jepang dan Tiongkok sedang berlomba mempersiapkan diri untuk menjadi raksasa industri Pesawat Terbang baru di Asia Pacific. Mereka menantang kekuatan duopoli Airbus dan Boeing, Serta kekuatan duopoli lain Bombardier dan Embraer.
Pertanyaannya kemana ahli Aeronautika Indonesia akan melangkah?
Salah satu potensi yang dapat dibanggakan oleh Indonesia adalah kekuatan engineering yang dimiliki oleh insinyur Indonesia. Kelas keahlian dan kepintarannya sudah diakui dunia. Kini lebih dari 300 orang engineer aeronautics Indonesia bekerja di berbagai industri penerbangan dunia. Ada yang di Boeing, Airbus , Embraer dan Bombardier.
Generasi baru insinyur aeronautika Indonesia kini memiliki kesempatan mejadi “engineer of the world”, lapangan kerja di Mistsubishi Jepang dan Comac serta Russia terbuka. Tidak banyak negara memiliki potensi engineer aeronautik seperti yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam bidang rekayasa dan rancang bangun kita memiliki “competitive advantage”.
Meski kita memiliki ambisi untuk melahirkan pesawat terbang baru, akan tetapi tidak banyak Bank atau Investor yang mau mengucurkan dana sebesar satu hingga 2 miliar dolar AS untuk melahirkan pesawat terbang baru yang mampu menyaingi ambisi Jepang, Tiongkok dan Rusia untuk menaklukkan dominasi Bombardier, Embraer, Airbus dan Boeing. Di Rusia mereka memiliki Putin yang tak segan menggelontorkan “state budget” untuk itu, begitu juga di Tiongkok ada Presiden Xi JinPing dengan lompatan jauh kedepannya yang juga tidak segan untuk memproteksi kepentingan negaranya dalam menguasai teknologi dirgantara.
Sementara di Indonesia kita hanya memiliki orang yang pintar berdebat dan selalu bilang jangan begini, jangan begitu. Kita terlalu pintar menyusun siasat agar semua punya pendapat belum saatnya Indonesia membuat produk sendiri dan nanti saja. Lebih murah beli.
Kita selalu berhadapan dengan tembok berisi orang yang selalu memandang rendah keahlian insinyur Indonesia dan selalu berkata kelemahan terbesar Indonesia adalah Sumber Daya Manusia. Yang selalu diberikan contoh juga menarik, sepak bola aja ngga pernah menang. Sebuah pikiran yang terus akan membelenggu tekad generasi muda Indonesia untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mudah mudahan Revolusi Mental Presiden Jokowi bisa membalikkan mindset kita sebagai bangsa : Percaya kepada keahlian dan kepintaran Generasi Muda Indonesia yang saat ini banyak yang cemerlang, dan ber IQ sangat tinggi. Salam, lebih kurangnya mohon dimaafkan.
No Comment