Jurnalisme Verifikasi, Hilangnya Makna Objektivitas
Catatan: Ini bagian (1) dari serangkaian artikel soal jurnalisme verifikasi yang saya kutip seutuhnya dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach & Tom Rosenstiel)
Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Hal ini yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Hiburan (entertainment) dan sepupunya (infotainment), berfokus kepada hal-hal yang menggembirakan hati. Propaganda menyeleksi fakta demi kepentingan yang lain – persuasi dan manipulasi. Fiksi mengarang skenario untuk sampai pada kesan yang lebih personal dari apa yang disebut kebenaran.
Hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya.
Verifikasi selalu berada di dalam fungsi pokok jurnalisme. Walter Lippman, seorang jurnalis senior, dalam sebuah tulisan berjudul “Public Opinion”, pada tahun 1922 mengatakan, “sebuah komunitas tak bisa merdeka bila kekurangan informasi, karena dengan informasii yang cukup, kebohongan bisa dideteksi.”
Barangkali karena disiplin verifikasi sangat bersifat pribadi dan begitu sering secara serampangan dikomunikasikan, ia menjadi salah satu sebab kebingungan terbesar dalam jurnalisme : konsep objektivitas. Makna asli dari pemikiran ini sering disalahpahami, dan sebagian besar malah hilang.
Saat konsep tersebut pertama kali berkembang, objektivitas tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa wartawan bebas dari bias. Justru sebaliknya. Istilah ini mulai muncul sebagai bagian dari jurnalisme pada awal abad lalu, terutama pada tahun 1920-an, ketika ia tumbuh dalam suasana di mana wartawan penuh dengan bias, seringkali tanpa sadar. Objektivitas meminta wartawan mengembangkan sebuah metode untuk secara konsisten menguji informasi -pendekatan transparan menuju bukti-bukti- dengan tepat sehingga bias personal dan bias budaya tidak melemahkan akurasi kerja mereka.
Pada akhir abad ke-19, konsep yang sering disebut wartawan adalah realisme, bukan objektivitas. Realisme adalah pemikiran bila seorang reporter menggali fakta dan meruntutkannya secara kronologis, kebenaran akan dengan sendirinya terungkap. Realisme mulai muncul ketika jurnalisme mulai terpisah dari partai-partai politik dan membuatnya kian akurat. Secara kebetulan munculnya realisme bersamaan dengan hadirnya sebuah inovasi yang disebut sebagai “piramida terbalik”, di mana wartawan menulis berita dengan cara menyusun fakta-fakta dari yang dianggap paling penting dan berturut-turut dengan yang kurang penting, harapannya hal ini bisa membantu pembaca memahami persoalan dengan sendirinya.
Jurnalisme, kata Lippmann, dipraktikkan oleh, “saksi kebetulan yang tidak terlatih”. Niat baik, atau yang oleh beberapa orang disebut “upaya jujur” yang dilakukan wartawan, tidaklah cukup. Keyakinan dalam individualisme yang ulet dari seorang reporter yang tangguh, yang oleh Lippman disebut sebagai, “sinisme dari bisnis ini” juga tidak cukup. Tidak pula dari sejumlah inovasi baru, dari waktu ke waktu, seperti pencantuman penulis (byline), ataupun penunjukan wartawan menjadi kolumnis.
Solusinya, kata Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan…There is but one kind of possible in the world as diverse as ours. It is but one kind of unity than aim the unity diciplined experiment”. Yang dimaksudkan oleh Lippmann adalah jurnalisme harus menginginkan adanya “suatu kesamaan metode intelektual dan suatu kesamaan wilayah untuk fakta yang valid.” Pendidikan jurnalisme harus dijadikan pelajaran tentang pembuktian dan verifikasi sebagai unsur terpentingnya.
“Tak jadi masalah jika berita itu tidak bisa dianalisis secara matematis. Faktanya, justru karena berita bersifat kompleks dan licin, laporan yang bagus memerlukan pemberlakuan kaidah ilmiah tertinggi,” kata Lippmann.
Dengan kata lain, dalam konsep asli, metodenya lah yang objektif, bukan si wartawan. Kuncinya adalah disiplin dalam metode, bukan dalam tujuannya.
Poin ini punya sejumlah implikasi penting. Salah satunya adalah sikap imparsial (tak berpihak) yang digunakan banyak organisasi berita – atau seringkali disebut dengan sikap penulisan yang netral – bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Pemakaian kata “netral” agaknya sering digunakan sebagai alat bantu bagi organisasi berita untuk mempromosikan diri bahwa mereka berupaya menghasilkan sesuatu yang diperoleh dengan metode objektif.
Implikasi kedua adalah, sikap netral ini, tanpa disiplin verifikasi, sebenarnya hanya menghasilkan liputan yang kosong.
Dalam perkembangannya, ada yang berangggapan bahwa yang objektif adalah wartawannya. Perguruan tinggi dan redaksi dalam perkembangannya kemudian merumuskan bagaimana metode kerja verifikasi itu.
No Comment